close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kanan). /Foto Instagram @prabowo
icon caption
Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kanan). /Foto Instagram @prabowo
Politik
Sabtu, 13 Juli 2024 12:00

"Cek kosong" untuk Prabowo dalam revisi kilat UU Wantimpres

Jumlah anggota Wantimpres tak lagi dibatasi. Prabowo bebas pilih.
swipe

DPR RI sukses merampungkan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (UU Wantimpres). Dibahas hanya beberapa jam di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (9/7), Badan Legislatif (Baleg) DPR sepakati hasil revisi UU tersebut dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan. 

Setidaknya ada dua poin utama yang direvisi dalam UU Wantimpres. Pertama, penamaan Wantimpres diubah menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Kedua, jumlah anggota lembaga tersebut tak lagi dibatasi hanya 8 orang, tetapi sesuai dengan kebutuhan presiden.

Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas mengklaim poin-poin revisi UU Wantimpres merupakan aspirasi dari semua fraksi yang ada di DPR. Ia membantah ada arahan dari presiden terpilih Prabowo Subianto untuk merevisi UU tersebut.

"Semua fraksi tadi menyetujui seperti (perubahan nomenklatur dan penambahan jumlah anggota) itu, tetapi fungsinya (Wantimpres) sama sekali tidak berubah," ujar Supratman kepada wartawan di DPR. 

Pakar hukum tata negara, Refly Harun berpendapat tak semestinya nomenklatur Wantimpres diubah. Menurut dia, DPA punya konotasi negatif. Di era Orde Baru, DPA bahkan kerap dipelesetkan sebagai Dewan Pensiunan Agung karena dianggap tak berguna.

“Kalau masih menggunakan (nomenklatur) Dewan Pertimbangan Agung, khawatirnya orang berpikir sama seperti Dewan Pertimbangan Agung sebelumnya,” kata Refly kepada Alinea.id, Rabu (10/7).

DPA pada era Orde Baru merupakan salah satu lembaga negara yang dihapuskan usai amandemen keempat UUD 1945. Sebelum dihapuskan, DPA dirinci dalam satu bab tersendiri di dalam konstitusi. Lembaga itu diatur sejajar dengan presiden. 

Tak hanya soal nomenklatur, Refly juga mengkritik dihilangkannya pembatasan terhadap jumlah anggota Wantimpres. Menurut dia, kesepakatan itu seolah Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah memberikan cek kosong kepada Prabowo supaya bisa merekrut orang-orang yang belum tertampung dalam kabinetnya. 

"Jadinya, dianggap sama seperti DPA dulu, Dewan Pensiunan Agung. Wantimpres menjadi tempat penampungan pensiunan tersebut membuat kondisi negara semakin kacau," ujar Refly. 

Menurut Refly, revisi UU Wantimpres merupakan satu dari sekian banyak kebijakan yang mengindikasikan kembalinya era Orde Baru. Di antara lainnya, ia mencontohkan rencana pembentukan kementerian baru dan upaya pemerintahan pusat menarik urusan-urusan yang ditangani daerah. 

"Misalnya, urusan tambang yang disebut banyak korupsi di sana. Alih-alih memberikan pengawasan dan penindakan, pemerintah justru mengambil alih prosesnya. Sekarang kita seperti mengulang romantisme Orde Baru,” imbuh dia. 

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie mengatakan perubahan nomenklatur Wantimpres dimungkinkan lantaran tidak diatur secara tegas dalam konstitusi. Pasal 16 UUD 1945 hanya menegaskan presiden berhak membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberi nasihat dan pertimbangan kepada presiden.

"Bahkan, redaksi penulisan dalam undang-undang tersebut dengan huruf kecil. Artinya, lembaga itu belum punya nama resmi yang ditentukan oleh undang-undang dasar," ujar Jimly kepada Alinea.id

Meski begitu, ia tak sepakat jika jumlah anggota Wantimpres atau DPA tidak dibatasi. “Sebaiknya tetap terbatas, yakni 8 orang dengan tambahan tugas yaitu mengkoordinasikan semua lembaga atau badan yang sudah ada yang juga berfungsi advisori kepada presiden,” imbuh dia.


 

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan