Ruang gerak caleg muda bersaing pada 2024
Sekitar empat tahun lalu, Manik Marganamahendra dikenal sebagai aktivis mahasiswa yang vokal menolak rencana pengesahan RUU KUHP dan revisi Undang-Undang KPK. Saat itu, Manik yang menjabat sebagai Ketua BEM Universitas Indonesia turun ke jalan, menggelar aksi bertajuk “Reformasi Dikorupsi” di depan Gedung DPR, Jakarta.
Pemuda kelahiran Bogor, 11 Desember 1996 itu kembali bersentuhan dengan dunia politik, usai memutuskan menjadi caleg DPRD DKI Jakarta dari Partai Perindo. Ia bakal bertarung di dapil DKI Jakarta VI, yang meliputi Kecamatan Makasar, Cipayung, Ciracas, dan Pasar Rebo.
Postulat politikus muda ini maju sebagai caleg adalah merasa perlu ada ide segar dari kalangan muda dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Ia menilai, banyak aspirasi masyarakat yang hanya dianggap angin lalu oleh sebagian politikus senior.
"Sebagai contoh, banyak aturan dan undang-undang yang memang mengesampingkan suara publik," kata Manik kepada Alinea.id, Kamis (3/8).
Isu yang bakal dibawa
Manik memilih bergabung dengan Partai Perindo karena menganggap partai politik besutan Harry Tanoesoedibjo itu masih bersih dari dosa politik kekuasaan. Selain terbuka juga untuk kalangan aktivis muda dan tak terlalu menonjolkan senioritas.
“Saya juga merasa punya kesempatan di partai ini," ucap Manik.
Sementara pilihannya menjadi caleg di DPRD DKI Jakarta karena rutinitasnya yang banyak berkutat dalam aneka persoalan di Jakarta. "Saya bekerja di kota ini sejak lulus kuliah. Mondar-mandir di Jakarta. Dari situ, saya merasa cukup memiliki pengetahuan mengenai persoalan Jakarta," ucap Manik.
Dari sekian banyak problem yang ditemukan selama berjumpa warga, ia memutuskan bakal menyuarakan isu perumahan bagi milenial dan generasi Z. "Apalagi bagi mereka yang hanya punya gaji UMP (upah minimum provinsi) Jakarta dan generasi sandwich yang menanggung keluarga. Mereka kesulitan untuk punya rumah," kata Manik.
Menurut Manik, perlu terobosan dari segi kebijakan untuk menjamin akses rumah layak bagi milenial dan generasi Z. Manik pun akan mengusung isu lingkungan, seperti perubahan iklim, krisis pangan, dan energi terbarukan.
Salah satunya, ia bakal mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk menekan polusi udara yang sudah terlampau parah, jika lolos ke DPRD DKI. Ia pun bakal mendorong lebih masifnya penggunaan energi terbarukan untuk transportasi publik. Meski Pemprov DKI Jakarta sudah memiliki beberapa aturan pengendalian polusi udara, namun Manik menilai, sejumlah aturan ada yang kurang adaptif.
"Salah satu yang menurut saya krusial adalah tentang pembakaran sampah di lingkungan masyarakat. Itu ternyata menyumbang sekitar 11% polusi udara yang ada di Jakarta," ucap Manik.
Sedangkan soal isu pangan, ia mengatakan, bertalian dengan masalah stunting warga Jakarta. Menurutnya, warga Jakarta perlu distimulus untuk menanam tanaman pangan di sekitar lahan yang tersisa atau urban farming. Perlu juga bekerja sama dengan provinsi terdekat, seperti Banten dan Jawa Barat, untuk membuka lahan pertanian sebagai pasokan bahan pangan ke Jakarta. Hal itu harus perlahan dilakukan agar warga Jakarta tak gagap menghadapi ancaman krisis pangan.
"Pemberian bibit tanaman pangan harus dilakukan kepada warga," ucap Manik. "Kualitas SDM kita tentu bisa lebih baik karena terhindar dari stunting.”
Di samping mengoptimalkan strategi pemenangan melalui media sosial, ia juga bakal turun langsung ke lapangan. Sebab, ia mengakui, banyak warga Jakarta Timur yang menjadi wilayah dapilnya, belum mengenal sosoknya sebagai caleg.
"Pada pemilu kali ini, saya ingin mengatakan kalau caleg muda juga harus diberikan kesempatan masuk ke DPRD. Caleg muda perlu diberi kesempatan untuk menandingi caleg petahana, jadi jangan dijegal," ujar Manik.
Manik tetap akan fokus menyasar pemilih muda, yang dianggapnya tak lagi memilih atau loyal terhadap partai politik. Namun, berdasarkan pertimbangan rasional.
"Banyak dari mereka yang swing voters. Artinya, cara mereka menyaring informasi itu juga menjadi catatan bagi saya,” ucapnya.
“Saya harus terus memaksimalkan media sosial untuk menyampaikan isu-isu dan keresahan yang menurut mereka penting."
Menyasar pemilih muda, ia mengaku optimis mampu meraup 20.000 suara. "Mudah-mudahan kerja pemenangan saya mencapai angka ini," ujar Manik.
Adi Surya, 38 tahun, juga akan maju sebagai caleg DPRD Kota Tangerang Selatan dari PDI-P. Ia mengaku tengah rutin turun ke lapangan, menjumpai masyarakat Tangerang Selatan. Segala retorika bernuansa keberpihakan pada wong cilik ia dengungkan untuk merebut hati warga. Ketertarikannya terjun ke politik sebagai caleg, didorong rasa bosan hanya menjadi penonton.
"Saya punya keyakinan, perubahan hanya bisa kita lakukan kalau bisa ada di kekuasaan. Saya berusaha masuk sistem untuk bisa mengubah keadaan," kata pria yang akrab disapa Ucok itu, Kamis (3/8).
Alumnus ilmu kesejahteraan sosial Universitas Padjadjaran (Unpad) ini ingin mengadvokasi isu pendidikan dan kesehatan. Menurutnya, dua isu itu masih menjadi sedikit masalah distribusi keadilan sosial di Tangerang Selatan.
"Saya ingin mengakomodasi isu ini karena banyaknya pungutan-pungutan yang memberatkan, seperti biaya wisuda ataupun biaya sekolah," ucap Adi.
Menurut Adi, masih cukup banyak siswa di Tangerang Selatan yang luput dari Program Indonesia Pintar. Ia ingin mengadvokasi program itu ke konteks lokal Pemkot Tangerang Selatan.
"Tapi saya tetap ke tiga tugas pokok, yakni pengawasan, membuat aturan daerah, dan merancang anggaran yang pro-rakyat," katanya.
Adi optimistis mampu meraup sebanyak 5.000 suara dari segmen pemilih dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah di Tangerang Selatan.
“Perlu diketahui, Kota Tangerang Selatan termasuk kota yang baru berdiri tahun 2008, sehingga masih banyak yang harus dibenahi,” tuturnya.
“Ketimpangan pembangunan antara komplek perumahan dan permukiman warga umum juga memiliki problematika tersendiri. Karena itu Tangerang Selatan menjadi daerah yang saya pilih.”
Terpisah, Kosim Rahman, memilih maju sebagai caleg PPP untuk DPRD Kabupaten Bangkalan (Madura, Jawa Timur) dengan alasan ingin melanjutkan perjuangan keluarga. Keluarganya merupakan simpatisan PPP sejak Orde Baru.
"Orang tua dan kakek saya itu kader kultural PPP, makannya saya melanjutkan perjuangan mereka," kata Kosim, Sabtu (5/8).
Domisili menjadi alasan Kosim maju memperebutkan kursi DPRD Bangkalan. Ia pun mengaku, sudah cukup mengenal isu yang menjadi persoalan pelik di Bangkalan. Pria 30 tahun ini bakal menyasar pemilih muda untuk meraup suara. Kosim bahkan sudan mendekati kantong pemilih muda di banyak desa di Bangkalan.
"Saya dekati mereka melalui sarana olahraga dan juga local wisdom," ucap Kosim.
Pengelolaan bonus demografi yang cukup besar merupakan salah satu isu yang akan didorongnya. Ia memandang, bonus demografi bisa jadi bencana, bila dikelola serampangan.
"Bonus demografi ini kan bukan hanya soal banyaknya generasi muda. Tapi bagaimana aspirasi anak-anak muda ini bisa ditampung dan menjadi satu rangkaian kegiatan untuk memajukan anak-anak muda," ucap Kosim.
Isu krisis pangan dan perubahan iklum dalam lingkup kehidupan masyarakat Bangkalan juga bakal ia bawa. Ancaman nyata dua isu itu, katanya, sudah terlihat di Madura.
"Krisis iklim ini sudah benar-benar terjadi. Perlu ada sinergi yang berkesinambungan antara pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi ini,” ucapnya.
“Sebagai contoh, petani di Bangkalan ini harus diberikan akses untuk kemudian pertanian maju.”
Kekeringan juga menjadi momok petani di Bangkalan. Maka dari itu, ia ingin mengadvokasi isu tersebut agar petani terbebas dari gagal panen dan mencegah dampak turunannya, yakni krisis pangan.
Peluang caleg muda
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarak, memandang kemunculan caleg muda yang lumayan banyak menjadi kabar gembira. Kesadaran mereka masuk ke parlemen merupakan sinyal positif adanya usaha sirkulasi elite politik.
“Mereka melihat partisipasi dalam demokrasi sangat penting dan sadar bahwa politik saat ini memang perlu perubahan,” kata Zaki, Kamis (3/8).
“Setidaknya dari perspektif aspirasi pemuda (milenial dan gen Z), merasa representasi politik mereka sangat minimal.”
Kehadiran caleg muda di beberapa partai politik, menurut Zaki, perlu diapresiasi. Sebab, dalam kadar tertentu, bisa mengimbangi pola pikir politisi tua yang cenderung sudah tak punya gagasan segar.
"Dalam budaya politik, ini disebut sebagai tumbuhnya political efficacy, di mana anak-anak muda menyadari posisinya penting dan yakin dapat memengaruhi kebijakan,” ucap Zaki.
“Mereka masuk ke gelanggang bukan lagi dengan tangan kosong, tapi sudah membawa konsep.”
Zaki melihat, ide yang diusung caleg muda cukup menantang dan segar karena menyentuh persoalan substansial tentang lingkungan, perubahan iklim, dan krisis pangan. "Isu-isu ini kurang tersentuh dalam politik konvensional," katanya.
Kendati demikian, bukan perkara gampang bagi caleg muda bertarung di politik praktis. Sebab, sistem di sejumlah partai politik dikendalikan politisi senior. Zaki mengatakan, agar bisa bersaing dengan politisi senior, caleg muda perlu membuat terobosan. Misalnya, membuat kaukus caleg muda sebagai jejaring untuk memperkuat posisi politik.
"Tantangannya tidak mudah. Mereka masuk dalam ruang yang sudah lama dicengkeram oleh para politikus yang lebih senior dengan pengalaman, pengaruh, dan sumber daya finansial yang lebih kuat,” tuturnya.
Selain membuat kaukus, terobosan yang harus dilakukan para caleg muda adalah mengefektifkan media sosial.”Jika pendekatannya biasa-biasa saja, sulit bisa menembus tembok politisi senior," ucap Zaki.
Sejauh ini, Zaki memandang, regenerasi politik di sejumlah partai politik memang tersendat. Soalnya, banyak politikus senior ogah turun kasta diganti posisinya oleh politikus muda. Masih banyak politikus dan anggota DPR, ujar Zaki, yang sudah muncul sejak pemilu pertama setelah reformasi pada 1999.
“Ini jelas tidak sehat,” tuturnya. “Isu Indonesia membutuhkan regenerasi politik untuk demokrasi yang sehat harus diangkat oleh caleg- caleg muda.”
Bagi Zaki, caleg muda sangat berpeluang meramaikan kursi di DPR dan DPRD, jika berhasil meraup suara kalangan pemilih muda yang populasinya lumayan besar. "Dengan jumlah pemilih muda (milenial dan gen Z) yang sekitar 60%, jika dapat digerakkan akan menjadi gelombang besar perubahan,” kata dia.
Senada, peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati menilai, kemunculan caleg muda bisa dimaknai sebagai sinyal positif estafet kepemimpinan. Akan tetapi, ia melihat, saat ini caleg muda yang muncul berasal dari kalangan menengah ke atas, bagian dari keluarga elite partai politik, dan belum mencerminkan masyarakat arus bawah.
"Latar belakang inilah yang mungkin belum banyak mewakili generasi milenial Indonesia, yang sebagian besar masih menengah ke bawah," ucap Wasisto, Rabu (2/8).
Di sisi lain, Wasisto memandang, kemunculan caleg muda di sejumlah partai politik erat kaitannya dengan strategi merebut hati pemilih muda, yang mendominasi Pemilu 2024. "Perlu dilihat pula, preferensi politik milenial sendiri juga masih menyasar pada caleg generasi senior," kata Wasisto.
Ia menganggap, tindak tanduk caleg muda masih akan dikendalikan politisi senior. Kemunculan caleg muda, kata Wasisto, lebih memperlihatkan hubungan lingkar politik lama partai.
"Regenerasi memang mulai terlihat, namun perlahan. Karena akses untuk bisa (naik ke) panggung politik masih terbatas pada lingkar elitis," kata Wasisto.