RUU Ciptaker: PP dan Perpres akomodatif hanya angin surga dari Jokowi
Di tengah letupan aksi unjuk rasa di berbagai daerah, naskah final Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) akhirnya tiba di meja kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi), Rabu (14/10) lalu. Naskah RUU kontroversial itu diantarkan langsung oleh Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar.
Sebelum sampai ke meja Jokowi, naskah itu diterima Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno di Gedung Setneg, Jakarta Pusat. Tebalnya 812 halaman atau terpangkas sebanyak 83 halaman jika dibandingkan draf final yang beredar saat RUU itu disahkan di Gedung DPR pada 5 Oktober lalu.
Diteken atau tidak oleh Jokowi, RUU Ciptaker sudah pasti bakal berlaku. Sesuai aturan, sebuah RUU bakal resmi berlaku 30 hari setelah disahkan di rapat paripurna DPR. Apalagi, Jokowi tidak berencana menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk membatalkan RUU itu.
Dalam pidato perdana setelah gelombang aksi unjuk rasa besar membekap Jakarta pada 6-9 Oktober lalu, Jokowi hanya mengatakan pemerintah bakal menampung semua saran dan kritik terhadap substansi RUU Ciptaker. Soal peluang Perppu sama sekali tak dibahas.
Ketika itu, Jokowi juga hanya sibuk membantah hoaks dan memuji beragam keuntungan yang bakal muncul karena pemberlakuan RUU Ciptaker bagi masyarakat dan dunia usaha. Salah satunya ialah terkait kemudahan berusaha dan berinvestasi di Indonesia.
"Regulasi yang tumpang tindih dan rumit dipangkas. Perizinan usaha untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) tidak diperlukan lagi. Hanya pendaftaran saja, sangat simpel," kata Jokowi dalam konferensi pers yang disiarkan di akun YouTube Sekretariat Presiden, Jumat (9/10).
Lebih jauh, Jokowi mengatakan, pemerintah setidaknya memerlukan 40 aturan turunan untuk melaksanakan mandat RUU Ciptaker, yakni 35 peraturan pemerintah (PP) dan 5 Perpres. "Jadi, setelah ini akan muncul PP dan Perpres yang akan kita selesaikan paling lambat 3 bulan setelah diundangkan," kata Jokowi.
Sesuai instruksi Jokowi, sejumlah kementerian sudah mulai menggodok rancangan peraturan pemerintah (RPP). Di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) misalnya, setidaknya ada 4 RPP yang tengah dibahas secara intensif.
Keempat RPP itu, yakni RPP tentang penggunaan tenaga kerja asing; RPP terkait dengan waktu kerja, waktu istirahat, hubungan kerja dan pemutusan hubungan kerja (PHK); RPP tentang pengupahan; dan RPP tentang jaminan kehilangan pekerjaan.
Kepada Alinea.id, Sekretaris Jenderal Kemenaker Anwar Sanusi mengatakan, salah satu upaya menyusun RPP itu dilakukan dalam pertemuan tripartit di Royal Hotel, Jakarta, Selasa (20/10) lalu. Menaker Ida Fauziyah turut hadir membuka acara tersebut.
Anwar menyebut pertemuan tripartit ini dihadiri perwakilan dari sejumlah serikat buruh. Namun, tidak ada perwakilan dari Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pimpinan Andi Gani dan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) pimpinan Said Iqbal. Kedua serikat buruh itu merupakan motor aksi unjuk rasa menolak RUU Ciptaker.
"Tapi, prinsipnya kami tetap menunggu. Kalau Bu Menteri tadi mengatakan, lambat ada yang ditunggu, cepat ada yang dikejar. Artinya, tetap kita berjalan, monggo. Kita istilahnya sangat terbuka dengan masukan-masukan dari siapa saja," kata Anwar melalui sambungan telepon, Selasa (20/10).
Anwar optimistis bisa mengejar tenggat waktu yang ditetapkan Jokowi dalam penyusunan RPP. "Nah, kalau drafnya sudah selesai, sudah terkonsolidasi, kita ada satu lagi tahapan yakni kita sampaikan sampling (percontohan) ke perguruan tinggi, kemudian ke daerah," katanya.
Selain membuka ruang bagi publik dalam pertemuan tripartit, Anwar mengatakan pemerintah membentuk satuan tugas (satgas) di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Perekonomian. Satgas itu bertugas menyerap beragam usulan dari pemerintah daerah dan DPRD.
"Ini mereka juga memberikan masukan-masukan. Kalau masukan-masukan ini tidak kita kanalisasi dengan baik, menurut saya, sesuatu yang mubazir, ya. Karena masukan-masukan itu kan sesuatu yang selalu berisi terutama terkait pandangan-pandangan yang berkaitan dengan aturan," jelasnya.
Naskah final masih bermasalah
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid menyatakan pesimistis aturan turunan RUU Ciptaker yang dibikin pemerintah bakal mengakomodasi kepentingan publik. Ia terutama menyoroti poin-poin yang ditentang kaum buruh selama ini.
"Karenanya saya memahami serikat pekerja tidak mau diajak untuk membahas PP dan Perpres. Karena mereka sudah sangat paham, ini yang terbuka (pembahasan di DPR) aja enggak diakomodasi. Apalagi, yang tertutup. Gimana diakomodasinya?" ujar Hidayat kepada Alinea.id, Selasa (20/10).
Keraguan PKS, lanjut Hidayat, juga muncul karena ada indikasi isi naskah final RUU Ciptaker yang diserahkan kepada pemerintah berbeda dengan yang disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 5 Oktober lalu. Hal itu diketahui Hidayat dari rekan sesama partai yang bertugas di Baleg DPR, Mulyanto.
"Beliau (Mulyanto) sudah menyampaikan ke publik bahwa kami menemukan indikasi terjadi perubahan, dari draf tanggal 5 Oktober itu kemudian diserahkan tanggal 13 Oktober ke Setneg. Draf tanggal 5 dan tanggal 13 itu ada beragam perubahan," kata Hidayat.
Saat diserahkan ke Istana, RUU Ciptaker diketahui hanya berjumlah 812 halaman. Pada 18 Oktober, naskah final RUU Ciptaker itu kemudian disebar Mensesneg Praktino ke PP Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Jumlah halamannya bertambah menjadi 1.187 halaman.
Secara khusus, MUI memang pernah mempersoalkan isi RUU Ciptaker karena dianggap bakal menggerus kewenangan lembaga tersebut dalam mengelola sertifikat halal. Agustus lalu, rombongan petinggi MUI bahkan mendatangi DPR untuk meminta klarifikasi terkait itu.
Polemik sertifikasi halal terutama berasal dari wacana pemberian kewenangan pada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) untuk menerbitkan sertifikat halal jika sidang fatwa MUI molor. Perdebatan itu terekam dalam naskah "mentah" RUU Ciptaker bertanggal 30 September yang diperoleh Alinea.id.
Dokumen itu umumnya berisi perdebatan-perdebatan di level Panitia Kerja (Panja) RUU Ciptaker yang belum tuntas dan seharusnya digarap oleh tim perumus dan tim sinkronisasi RUU. Total ada sekitar 6.200 kata yang diberi tanda merah atau mesti dibenahi dalam dokumen tersebut.
Disebutkan pada Pasal 35 A dalam naskah mentah RUU Ciptaker, "Dalam hal MUI tidak dapat menerbitkan Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana dimaksud Pasal 33 sesuai dengan jangka waktu dalam norma, standar, prosedur, dan kriteria maka BPJPH dapat mengeluarkan penetapan kehalalan produk setelah syarat-syarat terpenuhi."
Namun, isi pasal 35 A pada naskah final RUU Ciptaker bunyinya berbeda jauh. Pasal itu berbunyi: "Apabila LPH (lembaga penjamin halal) tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal, LPH tersebut akan dievaluasi dan/atau dikenai sanksi administrasi."
Selain perbedaan yang kentara antara dokumen tim penyusun dan naskah 5 Oktober, perbedaan juga terlihat antara naskah yang diserahkan kepada pemerintah pada 13 Oktober dan naskah yang dikirimkan Praktikno kepada MUI dan Muhammadiyah.
Menurut laporan CNN, Pasal 46 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi hilang dari naskah RUU Ciptaker yang berjumlah 1.187 halaman. Selain itu, ditemukan juga perubahan-perubahan penempatan bab di naskah teranyar.
Hidayat mengatakan terus berubahnya jumlah halaman naskah final bikin PKS kian curiga ada pasal-pasal yang sengaja diotak-atik untuk mengakomodasi kepentingan pihak-pihak tertentu. "Itu kan juga gimana ini memastikan yang otentik dan tambahan. Itu kan rumit juga," kata Wakil Ketua MPR RI itu.
Ketika dikonfirmasi Alinea.id, anggota Baleg DPR Mulyanto membenarkan ada indikasi perubahan dalam draf RUU Ciptaker rapat paripurna dan yang diserahkan kepada pemerintah. Namun demikian, ia mengaku masih belum bisa mengungkapkannya ke publik. "Masih bersifat sementara," kata dia.
Alinea.id berulang kali mencoba menghubungi Ketua Panja RUU Ciptaker Supratman Andi Agtas untuk mengklarifikasi dugaan perubahan-perubahan pasal di RUU sapu jagat tersebut. Namun, politikus Gerindra itu hingga kini tidak merespons.
Janji manis akomodasi
Pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia (UI) Said Salahuddin mengatakan mustahil aturan turunan dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam RUU Ciptaker. Menurut dia, janji pemerintah untuk memperbaiki masalah-masalah dalam RUU Ciptaker hanyalah "gula-gula".
"Suatu aturan haruslah dibentuk dengan mendasarkan pada aturan di atasnya dan aturan yang dibentuk tersebut tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi," kata Said kepada Alinea.id, Selasa (20/10).
Disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kedudukan PP, Perpres, dan Permen berada di bawah undang-undang. Dengan demikian, Said menjelaskan, aturan turunan yang tengah disusun pemerintah tidak boleh menyimpang dari UU yang berlaku.
"Mau setransparan dan seakomodatif apa pun pemerintah dalam proses penyusunan produk regulasi tersebut, hasilnya kelak akan sama saja. Norma yang diatur dalam PP, Perpres, dan Permen sulit diharapkan dapat memulihkan kerugian konstitusional masyarakat, terutama elemen buruh, atas berlakunya UU Cipta Kerja," jelas dia.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie meminta Jokowi tak terburu-buru mengebut perumusan aturan turunan RUU Ciptaker. Menurut Jimly, Jokowi sebaiknya malah menangguhkan pemberlakukan RUU Ciptaker lewat rapat paripurna istimewa di DPR.
"Sebab menyusun PP dan Perpres itu kan enggak sebentar. Sekaligus, karena udah ramai begini, sebaiknya (pembahasannya) melibatkan publik. Nah, masa tangguh satu tahun itu dimanfatkan untuk sosialisasi undang-undang itu," kata Jimly saat dihubungi Alinea.id, Rabu (21/10) malam.
Jimly mengatakan, ada tiga kemungkinan yang terjadi jika penangguhan ini disetujui Presiden dan DPR. Pertama, ditambahkan 1 ayat peralihan atau dirumuskan di kalimat penutup bahwa RUU Ciptaker berlaku bukan sejak ditandatangani Presiden, tapi mulai tahun depan.
Kedua, aturan turunan disusun dengan melibatkan para ahli dan publik. "Jadi, betul-betul kita membuat sejarah arah baru kebijakan pembangunan ekonomi nasional. Jadi, satu tahun itu banyak menyelesaikan banyak kisruh dan pertentangan pendapat," jelas dia.
Yang ketiga, lanjut Jimly, pemerintah berdebat terbuka dengan publik dalam forum uji materi di Mahkamah Konstitusi. "Biar MK yang menilai mana yang konstitusional, mana yang tidak. Yang tidak konstitusional dicoret, yang konstitusional jalan terus, baik materil maupun formilnya," jelas dia.