close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika (tengah) berjabat tangan dengan Guru Besar IPB Hariadi Kartodihardjo (kiri) disaksikan Majelis Hukum dan Ham PP Muhammadiyah Muchtar Lutfi (kanan) seusai konferensi pers tentang Rancangan Undang-Undan
icon caption
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika (tengah) berjabat tangan dengan Guru Besar IPB Hariadi Kartodihardjo (kiri) disaksikan Majelis Hukum dan Ham PP Muhammadiyah Muchtar Lutfi (kanan) seusai konferensi pers tentang Rancangan Undang-Undan
Politik
Selasa, 03 September 2019 20:57

RUU Pertanahan bikin Jokowi bak Gubernur Jenderal Belanda

Presiden Jokowi diminta untuk tidak mengebut pembahasan RUU Pertanahan.
swipe

Substansi Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUU Pertanahan) dinilai mirip dengan semangat regulasi agraria pada masa kolonial Belanda. Menurut penasihat Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Muchtar Lutfi, Presiden Jokowi diposisikan layaknya Gubernur Jenderal Belanda jika mengacu pada substansi RUU tersebut. 

"Di dalam RUU Pertanahan tersebut, kelihatan Presiden nanti kedudukannya sama dengan Gubernur Jenderal Belanda, yaitu dapat menentukan hubungan khusus antara orang dengan tanah hanya dengan Perpres," ucap Muchtar dalam konferensi pers di kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (3/9).

Regulasi yang dimaksud Muchtar ialah Domein Verklaring. Regulasi itu berlaku pada era kekuasaan Van der Capellen dan Van de Bosch. Dalam regulasi itu disebutkan setiap pemilik tanah diwajibkan membuktikan kepemilikan tanahnya. 

Menurut Muchtar, Domein Verklaring diterbitkan lantaran kas Belanda mengalami kekosongan usai perang lima tahun dengan Pangeran Diponegoro pada periode 1825-1830. Dengan regulasi tersebut, Gubernur Hindia Belanda berusaha mengundang pemodal, baik dari Belanda maupun dari Inggris. 

"Tapi, bagaimana cara memperoleh tanah? Maka keluarlah Domein Verklaring yang intinya siapa-siapa saja pemilik tanah wajib membuktikan bahwa dia pemilik tanah. Jika tidak bisa membuktikan berarti itu milik negara," sambungnya.

Sekretaris Jendral (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan, RUU Pertanahan patut ditolak. Pasalnya, RUU Pertanahan tidak memuat jaminan hak atas tanah secara penuh bagi petani, masyarakat adat, masyarakat ekonomi lemah yang ada di pedesaan dan perkotaan. 

"Bahkan di dalam RUU Pertanahan ini di atur bagaimana pemutihan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh konsesi skala besar, termasuk ada rencana penerbitan-penerbitan hak milik bagi orang asing yang di UU Pokok Agraria justru itu dilarang dan hanya diizinkan melalui hak pakai dan hak sewa," imbuhnya.

RUU Pertanahan rencananya bakal dikebut pembahasannya oleh pemerintah dan DPR. Regulasi tersebut direncanakan bakal diketok pada 24 September 2019 atau bertepatan dengan momentum Hari Tani Nasional dan 59 tahun lahirnya UU Pokok Agraria. 

Dewi berharap rencana itu dibatalkan. Menurut dia, jika disahkan, pemerintah dan DPR menyakiti hati petani. "Maka catatan kami, (Jokowi) adalah presiden akan dicatat sebagai orang yang telah mencabut UU Pokok Agraria tahun 1960 yang merupakan warisan para pendiri bangsa," kata dia. 


 

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan