close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi generasi Z. Alinea.id/Firgie Saputra
icon caption
Ilustrasi generasi Z. Alinea.id/Firgie Saputra
Politik
Kamis, 10 November 2022 06:27

Generasi Z dan pesona parpol kekinian

Saat ini, ada sekitar 74 juta pemilih dari kalangan generasi Z. Suara mereka bakal menentukan peta Pemilu 2024.
swipe

Joedea Aris Theofilus, 23 tahun, kepincut berat dengan program magang yang digelar Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada 2021. Tak lama setelah ikut magang, Joe, sapaan akrab Joedea, memutuskan bergabung dengan parpol pimpinan Giring Ganesha itu. 

"Saat PSI buka magang, saya sudah mikirin untuk lanjut untuk menjadi kader PSI karena memang saya mau berkarier di partai politik," ujar Joe saat berbincang dengan Alinea.id, Senin (7/11).

Joe mulai tertarik terjun ke dunia politik saat masih berstatus sebagai mahasiswa Universitas Tarumanegara dan rutin turun ke gelanggang demonstrasi. Pada September 2019 lalu, Joe jadi salah satu mahasiswa yang ikut meramaikan gelombang unjuk rasa bertajuk Reformasi Dikorupsi di Jakarta. 

Ketika itu, Reformasi Dikorupsi digelar untuk menuntut pembatalan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan menolak rencana penngesahan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Meksipun berdarah-darah, rangkaian aksi unjuk rasa itu tergolong gagal. Revisi UU KPK tetap berlaku. Hanya revisi KUHP yang ditunda pengesahannya. 

"Sejak itu, saya merasa saya harus masuk ke partai politik. Sebab, aksi itu ternyata tidak membuahkan hasil dan memang, menurut saya, harus dari dalam kalau kita mau mengubah sesuatu supaya bisa berhasil," tutur pria yang kini didapuk jadi salah satu juru bicara DPP PSI itu. 

Setelah lulus kuliah pada 2020, Joe pun mencari cara untuk masuk ke dunia politik praktis. Saat PSI membuka program magang, Joe langsung mendaftar. Dalam program magang itu, Joe belajar banyak hal, mulai dari birokrasi pemerintahan, sistem kepartaian, urusan syarat keanggotaan parpol.

"Untungnya, program magang ini bukan program magang yang asal-asalan yang cuma nge-print, bikinin kopi. Tapi, kita benar-benar dilibatkan secara mendalam tentang bagaimana proses politik itu sendiri," kata Joe.

Joe memandang PSI parpol yang tepat untuk orang sepertinya. Selain awam dengan dunia politik, Joe juga bukan berasal dari keluarga politisi. Di PSI, ia merasa anak muda sepertinya tak hanya jadi penggembira, tapi benar-benar dilibatkan dalam aktivitas sehari-hari parpol.

Hal seperti itu, kata dia, tak bisa didapatkan di parpol-parpol besar yang sudah mapan. "Yang saya lihat di partai lama dan besar, itu anak muda hanya menjadi tempelan saja. Enggak benar benar diberikan ruang akses untuk berkembang," imbuhnya.

Meski masih tergolong politikus anyar, Joe punya mimpi jadi legislator di DPRD DKI. Saat ini, nama dia telah terdaftar menjadi salah satu bakal calon legislatif di PSI. Sebagai Ketua DPC PSI Matraman, Joe berencana maju sebagai caleg dari daerah pemilihan (dapil) Jakarta Timur.

"Saya ingin mengawal isu hak pendidikan bagi warga DKI Jakarta dan terutama di dapil saya di Jakarta Timur. Saya pengen anak Jakarta Timur itu bisa mengurus beasiswa dengan mudah. Sehingga mereka bisa akses pendidikan yang baik. Sebab, banyak warga DKI Jakarta yang bingung mengurus beasiswa," ucap Joe.

Semangat berkarier di parpol juga sedang membara pada diri Iffan Halid, 28 tahun. Sejak 2020, Iffan bergabung ke Partai Gelora. Iffan mengenal Gelora dari salah satu rekan kerjanya di sebuah perusahaan rintisan di Jakarta. 

"Sejak itu, saya mulai tertarik dengan politik praktis. Gelora merupakan partai baru, bergabung bersama Gelora memberikan tantangan dan pelajaran banyak bagi saya," kata Iffan kepada Alinea.id, Selasa (8/11). 

Saat ini, Iffan masih berstatus sebagai anggota biasa. Namun, ia meyakini bakal punya karier moncer di Gelora. Menurut dia, Gelora bukan partai yang kolot dan membuka ruang sebesar-besarnya bagi para anak muda untuk berkreasi.

"Partai yang ingin menjadikan Indonesia 5 besar dunia adalah semangat yang luar biasa dengan mengajak banyak anak muda bergabung serta dapat menerima aspirasi dari anak muda. Ini berbeda dengan partai yang lain," kata pria asal Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Di Gelora, Iffan mengaku ingin menyalurkan aspirasi masyarakat NTB. Ia terumata ingin NTB semaju provinsi-provinsi di Jawa dari sisi infrastruktur. Ia menyebut jumlah simpatisan Partai Gelora di NTB cukup besar.

"Dalam jangka panjang, saya ingin ada perubahan ke daerah yang lebih baik. Setidaknya daerah asal saya tidak ketinggalan jauh dari perkotaan di tanah Jawa. NTB bisa menjadi pusat pariwisata dunia dengan keindahan yang ada," kata Iffan.

Berbeda dengan Joe dan Iffan, Muhammad Ramzi Zimah, 23 tahun, memilih NasDem sebagai parpol tempat dia berlabuh. Agustus lalu, ia resmi bergabung dengan parpol besutan Surya Paloh itu. 

"Awalnya, hanya ingin mengisi waktu kekosongan dan ingin masuk organisasi yang bermanfaat dan ada benefit yang unggul. Dengan relasi dalam parpol, saya berharap bisa mengembangkan bisnis saya serta karier saya dalam berpolitik," kata Ramzi kepada Alinea.id, Selasa (8/11).

Ramzi punya cita-cita jadi pebisnis. Saat ini, ia tengah merancang rencana untuk membuka usaha. Ia berharap mendapat banyak ilmu dan jejaring dari para pengusaha muda yang kini berhimpun di Nasdem.

"Saya sudah memilih parpol yang benar. Saya tidak ingin pindah ke partai lain," tutur pria lulusan Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta itu. 

Saat ini, Ramzi masih sekadar anggota biasa. Namun, ia meyakini bisa naik pangkat jadi kader dan pengurus partai. Menurut dia, NasDem tak menutup peluang bagi kader muda untuk bersinar. "Saya juga punya rencana berkarier di legislatif," kata dia. 

Politikus muda Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Joedea Aris Theofilus (kanan) menunjukkan dokumen formulir pendaftaran bacaleg PSI. /Foto Instagram @joetheofilus

Preferensi generasi Z

Joe, Iffan, dan Ramzi ialah para pemuda dari kalangan generasi Z atau mereka yang lahir pada periode 1995-2010. Menurut catatan Badan Pusat Statistik, ada sekitar 74 juta orang dari kelompok generasi Z pada 2020. Itu sekitar 27% dari jumlah penduduk Indonesia.

Survei teranyar Kompas yang dirilis awal September menunjukkan adanya peningkatan preferensi generasi Z terhadap parpol papan tengah dan papan bawah. Sebanyak 33% responden dari generasi Z menyatakan bakal memilih parpol dengan tingkat keterpilihan di atas dan di bawah 3%. Itu peningkatan 6,6% dari survei serupa yang digelar Kompas pada Juni lalu.

Saat ini, ada lima parpol yang tergolong sebagai parpol menengah, yakni Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Keadilan Bangsa (PKB), Nasdem, dan Partai Amanat Nasional (PAN). Adapun yang termasuk partai kecil semisal Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Hanura, dan partai nonparlemen lainnya. 

Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis akhir Oktober lalu menunjukkan pola serupa. Meskipun PDI-P masih jadi parpol yang paling banyak diminati generasi Z, SMRC menemukan migrasi suara para pemilih pemula ke parpol-parpol gurem. 

"Kalau kita lihat dari data sekarang dan kecenderungannya semacam ini, kita bisa membayangkan kalau 2024 generasi Z ini lebih memilih partai yang relatif baru ketimbang partai yang lama," kata peneliti SMRC Saidiman Ahmad kepada Alinea.id, Senin (7/11). 

Sigi SMRC menunjukkan PDI-P meraup elektabilitas sebanyak 24%. Jika dirinci, menurut Saidiman, sekitar 11% di antaranya berasal dari suara responden dari kalangan generasi Z. Raupan sebesar itu terbesar jika dibandingkan dengan parpol-parpol lainnya. 

"Tapi, kalau dibandingkan dengan suara PDIP pada generasi yang lebih lama, misalnya, umur 55 tahun ke atas, ya, kelihatan lebih sedikit suara dari generasi Z itu," ucap Saidiman.

Menurut Saidiman, ada sejumlah faktor yang menyebabkan besarnya preferensi generasi Z terhadap parpol kecil dan baru. Pertama, karakter generasi Z yang terbuka, melek internet, dan menggandrungi media sosial. 

"Mereka memiliki akses internet yang lebih baik. Pergaulannya jauh lebih bebas. Kemudian lebih terbuka, dan mereka itu memiliki aspirasi yang condong pada kebaruan. Berbeda dari generasi sebelumnya. Tapi bukan berarti Gen Z semuanya ke partai baru," kata Saidiman.

Faktor lainnya ialah strategi parpol-parpol menggaet simpati lewat konten-konten di media sosial. Dalam hal ini, Saidiman mengatakan, PKS dan PSI jadi yang parpol yang paling kreatif. 

"Yang paling fenomenal itu PKS sebenarnya. PKS memang partai yang relatif baru (bermain medsos) dibandingkan yang lain. PSI juga demikian. Dia fokus ke generasi yang lebih muda. Jadi, kebijakan internal partai itu berpengaruh," kata Saidiman.


Ketua Bidang Rekrutmen Anggota DPN Partai Gelora Endy Kurniawan mengungkapkan bahwa Gelora sejak awal memang berniat merekrut anak muda untuk memperkuat partai, termasuk mereka yang berasal dari kalangan generasi Z. 

"Strategi kami, selain melibatkan fungsionaris dan merekrut anggota pada kelompok Gen Z, baik secara daring maupun face to face memanfaatkan struktur teritorial, Gelora juga menawarkan tema, tokoh dan isu yang secara karakteristik sesuai dengan kelompok tersebut," kata Endy kepada Alinea.id, Kamis (10/11). 

Dalam pedekate kepada generasi muda, menurut Endy, Gelora menggunakan platform-platform teknologi informasi yang digandrungi generasi Z. Beberapa program andalan Gelora, semisal Geloratalks yang digelar tiap pekan dan beragam festival digital. 

Dalam konten-konten yang rutin diunggah ke beragam platform itu, Gelora mengampanyekan isu-isu publik yang kerap jadi perhatian generasi Z, semisal olahraga dan gaya hidup, keterlibatan perempuan, seni budaya dan industri kreatif, lingkungan dan pelestarian alam, serta kesehatan.

"Bahkan, sejak awal rekrutmen Gelora menggunakan tema digital fest untuk memposisikan diri sebagi partai yang eksis di dunia digital dan teritorial. Kanal-kanal itulah yang dimaksimalkan oleh Gelora sebagai partai yang belum eksis keterwakilannya di politik formal dan belum memiliki wakil di legislatif," jelas Endy. 
 

Kader-kader dari Generasi Muda Partai Gelora meramaikan pendaftaran Partai Gelora sebagai peserta Pemilu 2024 di Gedung KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Agustus 2022. /Foto Instagram @gm_gelora

Masih dinamis

Direktur Riset Indonesia Presidential Studies (IPS) Arman Salam memandang wajar jika suara generasi Z bakal banyak berlabuh di parpol anyar atau parpol yang melek medsos. Menurut dia, para pemilih pemula lazimnya memang lebih tertarik dengan strategi kampanye yang necis dan modern. 

"Terutama pada pola dan program partai yang kekinian, dinamis, dan modern. Banyak partai besar atau partai tua masih terlena dengan pola dan program tradisionalnya sehingga minim bersentuhan dengan pemilih pemula yang serba canggih ini," kata Arman kepada Alinea.id, Senin (7/11).

Secara khusus, Arman menyoroti gimmick-gimmick politik yang rutin diumbar partai kecil dan partai baru di media sosial. Menurut dia, gimmick-gimmick itu terbilang cukup berhasil menyedot perhatian generasi Z lantaran dibuat mengikuti aspirasi-aspirasi yang menjadi perhatian pemilih pemula.

"Ini merupakan keuntungan partai kecil. Selain itu, partai kecil tidak terikat dengan kepentingan kekuasaan maupun sumber daya dari partai kecil tersebut yang memang rata-rata anak milenial yang paham betul dengan apa yang diminati kelompok generasi Z," ucap Arman.

Infografik Alinea.id/Firgie Saputra

Di sisi lain, Arman menilai fenomena "kedekatan" pemilih generasi Z dengan parpol-parpol anyar itu juga bisa merupakan tanda bila pemilih generasi Z sudah antipati dengan partai tua dan mapan. Apalagi, figur-figur parpol mapan kerap tak menunjukkan keberpihakan kepada pemilih pemula. 

"Adanya pengalaman buruk dari figur atau tokoh partai besar yang tersandung berbagai masalah dalam eksintensinya yang berada dalam lingkaran kekuasaan dan itu dilihat, diamati, dan disimpulkan sehingga tidak menutup kemungkinan terbangun resistensi terhadap partai besar bagi generasi Z," ucap Arman.

Meski begitu, Arman melihat sejauh ini belum ada figur-figur dari partai baru maupun partai lama yang menjadi idola kalangan pemilih generasi Z. Tanpa adanya tokoh yang jadi idola bersama, bukan tidak mungkin suara generasi Z bakal terdistribusi ke banyak partai pada Pemilu 2024.

Faktor lainnya yang bakal menentukan, lanjut Arman, ialah jaringan politik hingga ke akar rumput. Dalam hal ini, parpol-parpol mapan jauh lebih unggul ketimbang parpol kecil dan anyar. Jelang hari pemilihan, aktivitas politik di akar rumput bisa menentukan arah suara generasi Z. 

"Partai kecil belum memiliki instrumen ini sehingga masih belum bisa disimpukan kategori mana, dalam segmen usia tertentu lebih cenderung ke partai mana. Semua masih sangat dinamis. Terlebih, caleg-caleg yang akan diturunkan oleh partai juga cukup signifikan merubah perolehan suara suatu partai," kata Arman.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Berita Terkait

Bagikan :
×
cari
bagikan