close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo membacakan putusan uji materi Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1). /Foto dok. MK
icon caption
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo membacakan putusan uji materi Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1). /Foto dok. MK
Politik
Jumat, 03 Januari 2025 12:00

Saat MK membolehkan semua orang jadi calon presiden...

Putusan MK punya dampak positif dan negatif. Yang terburuk praktik jual-beli parpol bakal marak.
swipe

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20% yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) inkonstitusional. MK mengabulkan gugatan yang dilayangkan Enika Maya Oktavia dalam perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024. 

Tanpa adanya ambang batas pencalonan, menurut Wakil Ketua MK Saldi Isra, maka semua parpol peserta pemilu nantinya bisa mengajukan calon presiden. Ia meminta KPU membuat aturan turunan UU Pemilu supaya jumlah kandidat yang bakal berlaga di Pilpres 2029 tak membengkak. 

"Dalam hal ini, misalnya, jika jumlah partai politik peserta pemilu adalah 30, maka terbuka pula potensi terdapat 30 pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan partai politik peserta pemilu," kata Wakil Ketua MK Saldi Isra di Gedung MK, Kamis (2/1).

Dosen hukum tata negara Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Agus Riewanto mengatakan putusan MK terkait ambang batas pencalonan presiden bakal signifikan berdampak pada konfigurasi politik jelang Pemilu 2029 mendatang. Apalagi, putusan teranyar ini dirilis setelah MK menolak 36 kali permohonan uji materi pasal yang sama. 

"Sebelum-sebelumnya, putusan MK selalu mengatakan kalau itu (syarat ambang batas) merupakan kebijakan yang tergantung pada pembuat undang-undang yaitu DPR. Hari ini MK membuka kotak pandora terkait presidential threshold," kata Agus kepada Alinea.id, Kamis (2/1).

Putusan MK, lanjut Agus, bisa meminimalisasi eksistensi kartel politik atau oligarki partai. Selama ini, hanya parpol-parpol besar yang mengendalikan sosok-sosok yang potensial dicalonkan. Parpol-parpol kecil cenderung hanya jadi penggembira. 

"Maka munculah kartel dan oligarki di tingkat partai. Putusan MK nomor 62 ini akan membuat pilpres menjadi menarik karena persaingan menjadi makin bebas, tidak ada batasan tertentu," kata Agus. 

Namun demikian, Agus menilai putusan itu juga punya sisi negatif. Salah satunya ialah biaya pemilu semakin mahal karena jumlah kandidat yang bertarung banyak. Tak tertutup kemungkinan fenomena politisi kutu loncat alias politisi pindah partai kian marak lantaran sang politikus berharap tiket dari parpol tertentu. 

"Dampaknya tentu ideologi kepartain itu makin kurang karena orang tidak lagi mengidentifikasi diri ke partai tertentu atau partai id menjadi lemah. Asal populer saja. Itu dampak negatif yang mungkin bisa terjadi ke depan. Jadi, orang populer saja, dia bisa membeli partai atau dibeli partai. Jadi, praktik jual beli partai nanti juga tinggi," ucap Agus.

Skenario lainnya ialah parpol-parpol baru bermunculan dibentuk pengusaha berkantong tebal. Mereka membentuk parpol atau membeli partai politik demi memuluskan dirinya atau jagoannya untuk maju sebagai kandidat capres atau cawapres. 

"Pokoknya dia lolos verifikasi partai berbadan hukum di Kemenkumham, lalu lolos verifikasi partai peserta pemilu oleh KPU. Berapa pun hasil pemilunya, dia bisa mencalonkan diri. Misalnya partainya Harry Tanoe, Perindo. Begitu juga PBB dan Partai Garuda," kata dia.

Peneliti politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Aisah Putri Budiatri menyambut gembira putusan MK nomor 62. Menurut Aisah, syarat ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden yang didasarkan pada hasil Pileg pada periode sebelumnya cenderung tidak relevan. 

Aisah merinci tiga alasan yang mendasari syarat ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden harus ditiadakan. Pertama, peta politik saat pelaksanaan pilpres sudah akan berbeda dengan peta politik lima tahun sebelumnya. 

Kedua, ambang batas 20% terlalu tinggi sehingga sulit bagi partai politik mencalonkan kandidatnya sendiri tanpa koalisi. Jika merujuk pada hasil Pileg 2024, maka tidak ada partai yang bisa mencalonkan sendiri sehingga harus berkoalisi. 

"Koalisi partai pada akhirnya pun terbangun lebih pada lobi politik pragmatis, bukan pada agenda dan visi-misi bernegara. Dalam konteks itu, koalisi umumnya lebih ditentukan oleh partai besar atau partai yang punya kandidat pilpres popular atau berpotensi kuat menang," kata Aisah kepada Alinea.id. 

Kedua, syarat ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden membuat "jatah" pencalonan presiden dan calon wakil presiden hanya milik segelintir elite politik. Imbasnya, publik tidak diberikan pilihan terbaik. Bukan tidak mungkin pula memunculkan calon tunggal. 

"Oleh karena itu, keputusan MK tentu memberikan ruang bagi partai politik dan setiap individu terbaik untuk mempersiapkan diri dalam pilpres ke depan. Siapa pun individu saat ini pun punya peluang untuk menjadi kandidat pilpres asalkan memiliki dukungan partai,"

Di sisi lain, Aisah mengingatkan agar partai politik menjalankan kaderisasi partai yang baik dan matang. Dengan begitu, kandidat yang dicalonkan di pilpres ialah orang-orang pilihan yang memang punya kapabilitas untuk jadi pemimpin bangsa. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan