PMA 29/2019: Saat rezim mendikte majelis taklim
Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi lagi-lagi bikin 'gaduh'. Tak lama setelah melontarkan wacana melarang penggunaan cadar dan celana cingkrang, Fachrul kembali mengeluarkan sebuah kebijakan kontroversial. Kali ini, majelis taklim menjadi sasaran Menag.
Lewat Peraturan Menteri Agama (PMA) No 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim, Fachrul mewajibkan semua majelis taklim mendaftarkan diri ke Kemenag. Fachrul mengatakan aturan yang diberlakukan sejak 13 November itu dimaksudkan untuk memudahkan Kemenag menyalurkan bantuan kepada majelis taklim.
"Selama ini kan majelis taklim ada yang minta bantuan. Ada event besar, mereka minta bantuan. Bagaimana kita mau bantu kalau data majelis taklim (tidak tahu) dari mana?" kata Fahcrul kepada wartawan di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Fachrul berkilah sertifikasi itu tidak wajib. Namun, bunyi PMA berkata sebaliknya. Pada Pasal 6 ayat (1) tertulis bahwa setiap majelis taklim harus terdaftar pada kantor Kemenag.
Selain kewajiban mendaftarkan diri, PMA tersebut juga mengatur mengenai jemaah majelis taklim, kriteria ustaz atau ustazah, syarat-syarat kepengurusan, domisili, dan materi pengajaran di majelis taklim.
Menurut Direktur Penerangan Agama Islam Direktorat Jenderal (Dirjen) Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas) Kemenag Juraidi, lima hal itu wajib ada sebagai syarat pembentukan sebuah majelis taklim.
"Lima hal tersebut saya istilahkan dengan rukun majelis taklim. Artinya, tidak bisa dinamakan majelis taklim kalau tidak ada salah satunya. Penguatan dari segi jemaah minimal 15 orang. Lebih banyak lebih bagus tentunya," kata Juraidi kepada Alinea.id di Jakarta, Selasa (3/12).
Dalam menyusun aturan tersebut, Juraidi mengklaim telah berdiskusi dengan pengurus organisasi majelis taklim, seperti Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT), Forum Komunikasi Majelis Taklim (FKMT), dan Muslimat NU. "Kita sudah mencoba menyusun modul bersama," imbuhnya.
Juraidi juga membantah sertifikasi majelis taklim merupakan upaya pemerintah untuk mengawasi penyebaran paham radikal di lembaga keagamaan sebagaimana yang pernah diungkapkan Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin. Menurut dia, PMA justru diterbitkan sebagai bentuk apresiasi bagi majelis taklim.
"Keberadaan majelis taklim justru menjadi benteng pertahanan yang melindungi dan memberikan advokasi masyarakat supaya tidak terpapar paham keagamaan yang intoleran dan destruktif," jelas Juraidi.
Ketua Umum BKMT Syifa Fauziah membenarkan organisasinya pernah dimintai masukan oleh Menag dalam penyusunan PMA. Dalam diskusi membahas PMA, menurut Syifa, Kemenag memang tidak mempersoalkan jika majelis taklim tidak mau mendaftarkan diri.
"Artinya, tidak ada sanksi untuk mereka yang memang tidak mendaftar. Namun, konsekuensinya mereka yang tidak terdaftar tidak bisa mendapatkan anggaran tersebut," ujar Syifa.
Syifa mengatakan, BKMT menyambut baik lahirnya PMA tersebut. Ia pun mempersilakan majelis taklim di bawah naungan BKMT untuk mendaftarkan diri ke Kemenag.
"Tapi, jika memang tidak atau belum membutuhkan (bantuan Kemenag) lantaran sanggup swadaya sendiri, ya, silakan. Tidak usah mendaftarkan diri," ujar perempuan lulusan Curtin University, Australia tersebut.
Ditolak ormas
Suara berbeda diutarakan Ketua Majelis Taklim Remaja Islam Masjid Ussisa Alattaqwa (Rismaula) Saefullah. Menurut dia, aturan tersebut bakal memberatkan majelis taklim kecil. Apalagi, ada aturan mengenai jumlah minimum jemaah.
"Sejauh pengalaman saya mengurus majelis taklim itu, sangat sulit menjaga istiqomah. Jadi, kalau nanti memang ada persyaratan yang ketat, akan sulit bagi majelis (taklim) yang kecil," ujar pria berusia 25 tahun itu.
Saefullah pun mempersoalkan aturan mengenai pembinaan majelis taklim oleh Kemenag yang tertulis pada Pasal 18 PMA tersebut. Menurut dia, pembinaan oleh Kemenag akan membuat model pengajaran majelis taklim menjadi kaku.
"Di tempat saya itu, (model belajarnya) mengalir saja mengikuti inisiatif yang muncul dari para pemuda. Kalau, misalkan, harus ada pembinaan itu, kayaknya menjadi berbelit kegiatan sosial keagamaan di majelis taklim," ujar Saefullah.
Lebih jauh, Saefullah tidak sepakat jika pemerintah memberlakukan sertifikasi karena khawatir penyebaran paham radikal di majelis taklim. "Kegiatan majelis taklim itu kelihatan langsung. Mereka terbuka. Jadi, menurut saya, anggapan itu tidak pas," ujar dia.
Kritik atas pemberlakuan PMA itu juga datang dari dua organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini, mengatakan PMA potensial mereduksi peran majelis taklim sebagai lembaga dakwah nonformal.
"Eksistensi majelis taklim sebagai salah satu media untuk memupuk tradisi keagamaan sudah berjalan dengan sangat baik. Adanya peraturan Menteri Agama yang mengatur majelis taklim sangat mungkin akan mereduksi perannya selama ini," ujar Helmy.
Menurut Helmy, Menag seharusnya tidak perlu repot-repot mengeluarkan PMA tersebut. Pasalnya, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) sudah mengatur tata cara pendaftaran majelis taklim sebagai ormas.
Helmy pun mempertanyakan kajian-kajian yang menjadi dasar keluarnya PMA tersebut. "Kebijakan yang tidak populis dan tidak berdasarkan kajian dan riset yang mendalam akan cenderung membuat kegaduhan di masyarakat," kata dia.
Kritik serupa juga disampaikan Sekjen PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti. Menurut Mu'ti, PMA tentang Majelis Taklim terlalu jauh mengatur kehidupan umat beragama.
"Jika serba diatur pemerintah secara detail atau berlebihan, nanti aktivitas sosial lainnya, seperti gotong royong dan aktivitas sosial di masyarakat luas maupun kegiatan keagamaan lainnya harus diatur pula," ujar dia.
Menurut Mu'ti, kebijakan tersebut kental nuansa diskriminasi terhadap umat Muslim. Apalagi, PMA itu dikeluarkan Menag Fachrul tanpa berbasis kajian-kajian yang terukur dan jelas.
"Kami sungguh tidak setuju dan menolak segala bentuk radikalisme yang mengarah pada ekstremisme atas nama apa pun dan oleh siapa pun. Namun demikian, semuanya perlu dasar pemikiran, rujukan, cakupan, dan langkah tentang radikalisme yang objektif, komprehensif, serta tidak parsial dan diskriminatif," tulisnya.
Bernuansa represif
Pakar gerakan Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Zaki Mubarak mencium ada kecurigaan berlebihan dari pemerintah terhadap kelompok Islam dalam pemberlakuan sertifikasi majelis taklim. Apalagi, pemerintah juga sempat mewacanakan larangan menggunakan cadar dan celana cingkrang.
"Coba saja balik kembali ke belakang, soal celana cingkrang dan cadar yang digembar-gemborkan Pak Menag. Tampaknya ada tendensi menganggap majelis taklim bisa (digunakan) sebagai sarang radikalisme sehingga kontrol dan pengawasan harus diperketat," jelas Zaki.
Menurut Zaki, wajar jika sertifikasi majelis taklim menuai polemik. Pasalnya, regulasi tersebut seolah membingkai kelompok Islam sebagai sumber masalah.
"Pola ini menunjukkan bahwa model pendekatan security approach masih sangat kental. Padahal, pendekatan ini sudah tidak relevan lagi dalam negara demokratis," ujarnya.
Pengamat terorisme Roby Sugara menilai ada maksud tertentu yang ingin dicapai Menag dengan mengeluarkan PMA. Menurut dia, aturan nantinya akan dipakai sebagai basis kerja sama antara pemerintah dan majelis taklim untuk mencegah radikalisme pada level terendah.
"Saat ini paham radikalisme itu sudah mulai diperbincangkan di meja makan keluarga. PMA ini dijadikan sebagai sandaran regulasinya. Ketika nanti ada pengeluaran uang untuk pemberdayaan, pendataan, itu tidak lagi menjadi persoalan," jelas dia.
Akan tetapi, menurut Roby, Kemenag salah sasaran. Ketimbang mengatur majelis taklim, Roby menyarankan agar Kemenag memperkuat pembinaan terhadap penyuluh agama yang saat ini jumlahnya mencapai 50 ribu orang.
Penyuluh agama, kata Roby, rata-rata bukan pegawai negeri sipil dan hanya digaji sekitar Rp1 juta per bulan. "Ketimbang menggunakan PMA 29/2019 untuk pendataan dan regulasi majelis taklim, lebih baik untuk regulasi penyuluh agama. Penyuluh agama itu juga menyasar majelis taklim," tutur dia.
Terpisah, Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos menilai kebijakan tersebut masih satu paket dengan keluarnya surat keputusan bersama (SKB) yang ditandatangani enam menteri dan lima kepala badan pada November 2019.
SKB itu mengatur penanganan radikalisme di kalangan aparatur sipil negara (ASN). "Ini inisiatif untuk menjamin Islam yang berkembang di masyarakat adalah Islam moderat. Saya lihat ini masih satu paket," jelas Bonar.
Namun demikian, Bonar sepakat aturan tersebut terkesan berlebihan. Apalagi, belum ada kajian yang menyimpulkan majelis taklim marak dijadikan pusat penyebaran paham radikal. "Meskipun ada, paling jumlahnya sedikit," kata dia.