Presiden ke-6 RI sekaligus Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mempertanyakan strategi Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait pemindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan.
Menurutnya, masih ada sejumlah hal yang ingin diketahui masyarakat secara rinci mengenai pemindahan ibu kota negara tersebut.
"Konsepnya seperti apa? Timeline-nya seperti apa? Berapa besar biaya yang digunakan? Dari mana anggaran itu diperoleh? Apakah betul ada pemikiran untuk menjual aset-aset negara, dan bahkan utang ke luar negeri untuk membiayainya?" kata SBY saat berpidato di Jakarta Convention Center, Rabu (11/12). Pidato itu merupakan refleksi pergantian tahun Partai Demokrat bertajuk Indonesia 2020, Peluang, Tantangan dan Harapan.
Menurut SBY, pemindahan ibu kota negara merupakan sebuah proyek besar yang tak boleh gagal. Karena itu perlu kesiapan matang terkait anggaran.
"Kami pelajari, dalam APBN 2020 belum secara gamblang dan signifikan dicantumkan anggaran awal untuk pembangunannya," kata dia.
SBY menambahkan, banyak contoh di dunia, negara yang berhasil maupun gagal dalam membangun ibu kota baru. Tentu, kata SBY, harapan yang sama agar Indonesia juga berhasil dalam membangun ibu kota baru ini.
"Di tengah perkembangan ekonomi global yang tidak menggembirakan, dan juga ekonomi Indonesia sendiri yang menghadapi tekanan, perencanaan dan kesiapan pemerintah harus paripurna. Memindahkan dan membangun ibu kota baru adalah sebuah mega proyek. Tidak boleh meleset, harus sukses," jelas SBY.
SBY mengaku memahami rencana Jokowi. Sebab, rencana itu sebenarnya pernah digagas saat ia memimpin Indonesia. Namun soal konsep dan lokasi, dia mengaku berbeda dengan Jokowi.
"Pusat pemerintahan baru yang kami pikirkan dulu terletak di kawasan Jawa Barat, dengan jarak tempuh sekitar 1,5 jam dari Jakarta, menuju ke arah timur. Konsep ini seperti yang dilakukan Malaysia, yang membangun Putra Jaya sebagai pusat pemerintahan baru, di luar Kuala Lumpur," tuturnya.
Setelah dua tahun menimbang rencana pemindahan ibu kota, SBY mengaku memutuskan untuk membatalkannya.
"Pertimbangan kami waktu itu adalah anggaran yang sangat besar belum tersedia, sementara banyak sasaran pembangunan yang lebih mendesak. Di samping itu, ada faktor lingkungan (amdal) yang tidak mendukung, yang tentu tidak boleh kami abaikan," kata SBY.
Politik identitas
Sementara itu, pemenang pemilihan presiden secara langsung dalam dua periode berturut-turut itu juga menyoroti Indonesia selamat dari perpecahan gara-gara-gara Pemilu 2019.
Menurut dia, suasana Pemilu 2019 diwarnai politik identitas yang melebihi takaran. Termasuk juga, kata dia, pertama kalinya terjadi banyak korban jiwa, baik karena kekerasan maupun bukan.
"Yang buruk, pertama kali dalam sejarah, pemilu kita diwarnai oleh politik identitas yang melebihi takarannya. Juga pertama kali terjadi banyak korban jiwa, baik karena kekerasan maupun bukan," kata SBY di depan ratusan kader Demokrat.
Kendati demikan, kata SBY, kabar baiknya adalah ketika berada di ambang perpecahan dan bahkan benturan fisik pascapemungutan suara, semua sadar dan terpanggil. Menurut dia, publik terpanggil untuk menahan diri dan tetap menjaga keutuhan Indonesia.
"Alhamdulillah, mimpi buruk itu tidak terjadi. Kita memilih persatuan, bukan perpecahan," ujarnya.
Oleh karena itu, SBY mengatakan perlunya evaluasi menyeluruh tentang sistem, undang-undang dan penyelenggaraan pemilu perlu dilakukan. Terutama menurut SBY bagi pihak pemerintah, parlemen dan penyelenggara pemilu.
"Tujuannya, pemilu di masa mendatang bisa berlangsung lebih baik. Yang sudah baik kita pertahankan, yang belum baik kita perbaiki. Itulah harapan Partai Demokrat. Saya yakin itu pula harapan rakyat kita," tegasnya.
Menurut SBY, rivalitas Pilpres 2019 sudah selesai dan saatnya bersatu membangun bangsa. Dia mengatakan tidak etis untuk memulai rivalitas menyambut Pilpres 2024.
"Tak baik dan malu kepada rakyat, kalau saat ini kita memulai lagi kontestasi baru. Apalagi jika semangat dan nafsunya adalah untuk mendapatkan kekuasaan di tahun 2024. Juga tidak etis, karena pemerintahan Presiden Jokowi yang kedua, baru mulai melaksanakan tugasnya. Mari hormati pemerintah kita, dan tentunya rakyat kita," katanya.
Presiden RI ke-6 ini menambahkan, partainya mendorong semua pihak untuk bersatu dan menghentikan politik identitas yang memecah-belah. Saatnya semua warga menghentikan politik yang membelah dan memisahkan.
"Saatnya pula, kita kembali membangun hubungan antar kekuatan politik yang lebih damai dan menyatukan. Hubungan yang bernuansa kawan dan lawan harus kita ganti dengan hubungan antar mitra. Kemitraan untuk membangun bangsa. Kemitraan dan kebersamaan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi rakyat. Rakyat menghormati negara dan pemimpinnya. Negara dan pemimpin sabar dan mengayomi rakyat dengan adil dan penuh rasa kasih sayang. Bersatu kita teguh. Bersama kita lebih kuat. Together we are stronger," kata dia.
SBY mengatakan sikap Demokrat tidak berubah yakni berada di luar pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Meski berada di luar, Demokrat berkomitmen mendukung pemerintahan Jokowi-Amin.
"Demokrat akan mendukung penuh keputusan dan kebijakan pemerintah yang tepat, dan sesuai keinginan rakyat. Namun, Demokrat akan mengkritisi keputusan dan kebijakan yang kami pandang keliru, dengan harapan dapat dilakukan koreksi dan perbaikan. Inilah tanggung jawab moral, sosial dan politik Partai Demokrat yang harus kami jaga dan laksanakan," pungkasnya.