Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan dukungannya terkait wacana menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam amandemen UUD 1945.
Hal tersebut diutarakan Ketua MPR Bambang Soesatyo usai berdikusi singkat dengan SBY di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Rabu (16/10) malam.
Bamsoet dan sejumlah Wakil Ketua MPR menyambangi SBY guna mengundang Ketua Umum Partai Demokrat itu menghadiri pelantikan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024.
"Pesan beliau, kalau ada gagasan, ada pemikiran, ada aspirasi terkait amandemen UUD 1945 khususnya tentang GBHN jangan dipadamkan. tampung semua itu," kata Bamsoet menirukan pernyataan SBY.
Menurut Bamsoet, SBY meminta MPR untuk membuka ruang diskusi bagi masyarakat luas terkait perubahan konstitusi ini.
"Beri kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memberikan masukkan atas perkembangan zaman dan perlu tidaknya UUD dilakukan perubahan kembali," jelas politikus Golkar ini.
Namun demikian, belum jelas apakah SBY mendukung GBHN untuk mengembalikan mandataris MPR yang berwenang untuk memilih Presiden. Bamsoet hanya menyebut jika SBY menghendaki agar adanya penyempurnaan di dalam UUD 1945.
"Dalam bahasa beliau, hanya ingin menyebutnya sebagai penyempurnaan," kata Bamsoet.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan mengatakan dukungan SBY terhadap amandemen UUD 1945 ialah mendorong MPR untuk membuka ruang diskusi bagi masyarakat luas.
SBY, kata dia, belum bersikap apakah amandemen dilakukan secara menyeluruh atau hanya sebagian.
"Pada dasarnya Pak SBY mengharapkan, kalau ada masyarakat demikian maka lebih bagus kita dengarkan. Ini kan masih ada pro dan kontra. Kita kaji dan telaah bagaimana ke depannya," kata Syarief dalam kesempatan yang sama.
Sebelumya, politikus senior Partai Golkar Akabar Tanjung mempertanyakan urgensi amandemen UUD 1945 yang diwacanakan MPR. Dia khawatir, revisi konstitusi justru membuat Indonesia kembali ke era Orde Baru di mana Presiden merupakan mandataris MPR.
Menurut Akbar, MPR bisa melakukan amandemen UUD 1945 sejauh didukung oleh alasan-alasan yang kuat. Hal itu terjadi ketika MPR melakukan amandemen UUD 1945 pada 1999-2002, atau masa Reformasi awal.
"Seperti era reformasi, kita melakukan amandemen. Karena kita mengubah sistem yang lebih baik dari sistem yang sebelumnya yang cenderung itu tadi, pemerintah yang tertutup, pemerintah yang katakanlah otoritarian," kata Akbar di Jakarta.