Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia (SE Kapolri) mengenai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE, diapresiasi.
Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menilai, SE bernomor: SE/2/11/2021 itu berpihak pada rakyat. Menurutnya, kehadiran penanganan kasus dalam SE tersebut akan menjaga iklim demokrasi Indonesia agar tetap sehat.
"Ini angin segar bagi rakyat, yang selama ini merasa ketakutan, dihantui oleh penafsiran penegak hukum atas UU ITE yang sudah banyak salah kaprah," ujar Ujang, kepada Alinea.id, Selasa (23/2).
Hanya saja, sambung Ujang, SE yang ditandatangani langsung oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo itu harus diimbangi dengan perbaikan pada aspek regulasi. Pasalnya, dia merasa masih ada celah untuk membungkam kebebasan berekspresi melalui UU ITE.
"Jika aturan Kapolrinya bagus, namun UU ITE-nya masih belum direvisi, tetap akan ada celah bagi penegak hukum untuk menafsirkan seenaknya. Dan jika UU ITE tak direvisi, rakyat masih akan tetap dihantui ketakutan dalam bayang-bayang UU ITE yang telah banyak memakan korban dari rakyat kecil," pungkas Ujang.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan SE mengenai penananganan kasus yang diduga melanggar Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE.
Surat bernomor: SE/2/11/2021 itu ditandatangani langsung oleh Sigit pada Jumat, 19 Februari 2021. SE itu menekankan kesadaran budaya beretika untuk mewujudkan ruang digital Indonesia yang bersih, sehat, dan produktif, yakni:
a. Mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus berkembang dengan segala macam persoalannya.
b. Memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisir berbagai permasalahan dan dampak yang terjadi di masyarakat.
c. Mengedepankan upaya preemptif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.
d. Dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat dengan tegas membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana untuk selanjutnya menentukan langkah yang akan diambil.
e. Sejak penerimaan laporan, agar penyidik berkomunikasi dengan para pihak terutama korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi.
f. Melakukan kajian dan gelar perkara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani dengan melibatkan Bareskrim/Dittipidsiber (dapat melalui zoom meeting) dan mengambil keputusan secara kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang ada.
g. Penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.
h. Terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme
i. Korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan namun tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali
j. Penyidik agar berkoordinasi dengan JPU dalam pelaksanaanya, termasuk memberikan saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan
k. Agar dilakukan pengawasan secara berjenjang terhadap setiap langkah penyidikan yang diambil dan memberikan reward serta punishment atas penilaian pimpinan secara berkelanjutan.