Emosi calon presiden (capres) 2024 nomor urut 2, Prabowo Subianto, tampaknya belum reda akibat dikritisi pesaingnya, Anies Baswedan, dalam debat kedua capres, Minggu (7/1) malam. Pangkalnya, apa yang disinggung dalam forum itu kembali dibahasnya ketika berbicara di hadapan ribuan pendukungnya di GOR Remaja Pekanbaru, Riau, pada Selasa (9/1).
Mulanya, dalam segmen pertama debat, Anies menyinggung luas lahan 340.000 ha yang dikuasai Prabowo di saat lebih dari separuh prajurti TNI tidak memiliki rumah dinas. Anies menyampaikan, pernyataan tersebut menyitir argumen Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam debat pada 2019.
"Saudara-saudara, ada pula yang nyinggung punya tanah berapa, punya tanah ini. Dia pintar atau goblok, sih? Dia ngerti enggak ada HGU, hak guna usaha, hak guna bangunan (HGB), hak pakai? Itu tanah negara, saudara, tanah rakyat, tanah bangsa," ucap Prabowo saat berorasi.
Video pendek yang memuat penggalan pernyataan Prabowo tersebut pun viral di media sosial. Bahkan, ada lebih dari 25.000 kiriman (posting) di Twitter (X) sehingga "goblok" menjadi topik populer (trending topic).
Pandangan netizen atas pernyataan itu beragam. Mayoritas mengkritisi Prabowo. Akun @madarkham, misalnya, mengomentari dengan memberikan perbandingan antara Prabowo dan Anies dalam berargumen.
"Anies di acaranya mengajak penonton berlatih berpikir kritis dan ngajarin cara memahami data. Meanwhile, Prabowo di acaranya bikin penontonnya goblok-goblokin orang. Tahu, kan, sekarang mana yang berusaha mencerdaskan bangsa dan yang mendorong kemunduran bangsa?" cuitnya di X, Selasa (9/1).
Hal senada diutarakan akun @ekowboy2. Ia mentwit, "Menyebut Anies dengan 'goblok & tolol' di belakang sangat tidak pantas. Tuhan buka wajah aslinya!"
Potret politisi berbahaya
Ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, juga menyayangkan perangai Prabowo tersebut. Apalagi, Menteri Pertahanan (Menhan) itu juga sempat melontarkan umpatan "ndasmu etik", yang juga ditujukan kepada Anies dalam forum internal Partai Gerindra, Jumat (15/12), lantaran ditanya tentang etik dalam debat perdana capres, Selasa (12/12).
Menurut Reza, sikap Prabowo ini adalah potret praktik politik dan tindak tanduk politisi yang berbahaya. Padahal, Reza sempat berpikir ada nilai-nilai keteladanan dari Prabowo yang bisa disampaikan kepada keluarga dan anak-anaknya.
"Tapi, sekarang sudah jelas siapa politisi yang sepatutnya saya jauhkan dari mereka (anak-anak dan keluarga, red)," katanya kepada Alinea.id, Rabu (10/1).
Secara teori, Reza menilai sisi psikologi Prabowo dengan pendekatan Alfred Adler tentang perilaku manusia. Ia menyampaikan, Adler memandang hidup sebagai perjuangan kompensatoris sehingga seseorang akan berupaya mengatasi rasa rendah diri (inferioritas ekstrem) akibat gagal menyaingi kekuatan dan kemampuan orang lain dengan superioritas ekstrem.
Namun, sambungnya, executive functioning yang melemah sepertinya membuat frustrasi, letih, bahkan putus asa. Sebab, proses mengolah dan memproduksi informasi dirasakan terlalu berat atau otak bagian depan (lobus frontal) kecapaian.
"Stimulasi alhasil mengalir deras ke limbik. Ini bagian otak yang menjadi sentra emosi [dan] informasi. Akibatnya, memantik kerja otak yang manifestasinya berupa respons emosional," jelasnya.
Reza juga menyesalkan pernyataan tersebut dilontarkan Prabowo di Riau, tanah Melayu yang sarat ketegasan melalui pantun. Menurutnya, Ketua Umum Partai Gerindra itu mestinya mengedepankan santun dalam lisan. "Apalagi, pemimpin, lebih-lebih ketika bicara di hadapan orang banyak."
Reza, yang memiliki berdarah Riau, mengaku, tidak menilai ada tanda-tanda kecerdasan dari figur Prabowo dalam ucapan tersebut. Prabowo justru dinilai lupa dengan pepatah "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung". Ia pun menyarankan Prabowo agar belajar pantun dari masyarakat agar bisa menyampaikan emosinya secara cerdas.
"Sampaikan kebenciannya itu lewat pantun. Pesan sampai, tampak cerdas, kagum kita," ujarnya. "Budak Melayu asyik berpantun. Tampaklah gagah memakai tanjak. Kalaulah raja tak lagi santun, alamat rusak budi dan akhlak." Reza lantas mendorong Kominfo memblokir penyebaran tayangan tersebut karena dinilai berbahaya dan nir-kesantunan.