Pemerintah bersama DPR RI dan lembaga penyelenggara pemilu menyepakati pelantikan kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2024 akan dilakukan secara bertahap mulai 6 Februari 2025. Untuk tahap pertama, sebanyak 296 kepala daerah bakal dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto.
Mereka yang dilantik perdana ialah kepala daerah terpilih yang hasil pilkadanya tak digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah gelombang pertama, pelantikan gelombang kedua digelar untuk kepala daerah terpilih yang sengketanya ditolak MK. Terakhir, pelantikan untuk kepala daerah yang sengketanya diputus MK.
Kesepakatan itu diambil dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (22/1). Meskipun disetujui mayoritas fraksi di DPR, kesepakatan itu melanggar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XXII/2024.
Putusan itu menyebutkan kepala daerah hasil Pilkada 2020 dapat menjabat sampai pelantikan kepala daerah hasil Pilkada 2024 dengan batasan maksimal lima tahun masa jabatan. Pelantikan kepala daerah yang tidak serentak menyebabkan kepala daerah yang terpilih pada 2020 terpangkas masa jabatannya.
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati menilai pelantikan kepala daerah secara tidak serentak sangat jelas mengingkari putusan MK terkait keserentakan pilkada. Bukan tidak mungkin muncul gugatan dari kepada daerah yang saat ini menjabat.
"Bagaimana mungkin pelantikan dilakukan, sementara sisi lain, persidangan di Mahkamah Konstitusi masih berlangsung. Keputusan pemerintah dan DPR dinilai mengingkari putusan MK. Hal ini justru akan mendistorsi desain keserentakan pilkada itu sendiri untuk pengambilan sumpah/jabatan dan pelantikan," kata Neni kepada Alinea.id, Rabu (28/1).
Neni berkata pelantikan kepala daerah terpilih hasil Pilkada Serentak 2024 merugikan kepala daerah yang saat ini masih menjabat. Semestinya, DPR dan pemerintah tak hanya fokus pada kepentingan politik semata. Pemerintah dan DPR juga tak boleh bersembunyi di balik dalih penghematan anggaran.
"Penghematan anggaran bisa dilakukan dengan banyak hal, tetapi tidak perlu memotong masa jabatan kepala daerah yang masih menjabat. Ini menjadi tidak adil. Tidak boleh mengingkari putusan MK karena para kepala daerah yang terpilih hasil Pilkada 2020 akan juga serentak mengambil tindakan jika kemudian desain keserentakan ini justru malah diingkari atas dasar kepentingan semata," kata Neni.
Total ada 545 daerah yang ikut Pilkada Serentak 2024. Rinciannya, sebanyak 37 pilkada di tingkat provinsi, 415 pilkada di tingkat kabupaten, dan 93 di tingkat kota. Di MK, setidaknya ada lebih dari 200 gugatan diajukan oleh kubu calon kepala daerah yang kalah di pilkada serentak.
Analis politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Bakir Ihsan menilai penetapan pelantikan kepala daerah bertahap alias tidak serentak telah mengingkari semangat dan tujuan pilkada serentak. Secara teknis, pelaksanaan pelantikan bisa dilaksanakan serentak sepanjang tidak melampaui tahun 2025.
"Bisa menunggu sampai semua persoalan hasil Pilkada Serentak 2024 sudah selesai di MK, baru dilakukan pelantikan. Dengan demikian, bangunan kebersamaan pemerintahan daerah bisa berjalan bersama sebagai semangat dari pilkada serentak," kata Bakir kepada Alinea.id.
Sejumlah kepala daerah sudah menyatakan kekecewaan mereka terhadap percepatan pelantikan kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2024. Salah satunya ialah Bupati Indramayu, Nina Agustina.
Menurut Nina, pelantikan kepala daerah secara bergelombang tak hanya melanggar putusan MK, tetapi juga keputusan Mendagri Nomor 131.32-266 Tahun 2021 yang menyatakan masa jabatan bupati adalah 5 tahun dan dihitung sejak pelantikan.
”Pasti akan digugat, bisa akan digugat (kepala daerah hasil Pilkada 2020). Putusan MK itu adalah putusan tertinggi yang harus kita hormati,” kata Nina seperti dikutip dari Kompas.id.