close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti. Foto muhammadiyah.or.id
icon caption
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti. Foto muhammadiyah.or.id
Politik
Sabtu, 26 Februari 2022 16:31

Sekum Muhammadiyah ungkap spekulasi latar belakang wacana penundaan pemilu

Abdul Mu'ti mengharapkan agar semua pihak memikirkan konsekuensi politik dan moral dalam kontruksi ketatanegaraan.
swipe

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti menyebutkan, banyak spekulasi yang beredar mengenai latar belakang parpol mewacanakan pemunduran pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.

"Banyak spekulasi. Sebagian menyebut inisiasi dari partai politik itu sendiri. Tetapi saya mendengar suara-suara angin, yang bisa jadi angin ribut, mengenai adanya aspirasi dari orang tertentu yang ingin supaya pemilu ini ditunda pelaksanaannya. Orang tertentu ini tidak boleh disebutkan namanya. Tetapi saya sempat berkomunikasi dengan beberapa pihak katanya ada tekanan dari pihak tertentu kepada parpol agar bersuara tentang penundaaan Pemilu 2024," jelas dia dalam webinar Tolak Penundaan Pemilu 2024, Sabtu (26/2).

Dia pun berspekulasi kemungkinan terjadinya amandemen UUD untuk merealisasikan itu. Tetapi, jika itu menjadi pilihan, Abdul Mu'ti mengharapkan agar semua pihak memikirkan konsekuensi politik dan moral dalam kontruksi ketatanegaraan dan pertimbangan lain yang menyangkut kepentingan bangsa secara keseluruhan.

"Saya secara pribadi khawatir perpanjangan dan penundaaan pemilu akan berdampak pada semua jabatan politik dan jabatan publik yang terkait dengan itu. Sekaligus akan menimbulkan stigma politik yang sangat serius pada masa depan politik indonesia. Terus bagaimana nasib kepala daerah yang habis masa jabatannya karena pilkada baru dilakukan setelah pilpres?" tanya dia.

Dia menambahkan, persoalan menjadi serius ketika tidak ada pilkada dan semua daerah diisi oleh orang yang ditunjuk pemerintah. Apalagi jika penundaan pilpres dilakukan hingga 2027, yang artinya pejabat kepala daerah tersebut akan berkuasa lima tahun alias satu periode.

"Ini bisa menjadi persoalan yang sangat serius, bisa menjadi chaos politik. Makanya sebaiknya kembali paada konstitusi dan berupaya kembali menjadi negara hukum. Jadi persoalannya bukan boleh atau tidak boleh, bisa atau tidak bisa, tetapi etik dan etis. Ini harus dipikirikan sebagai bagian dari pertanggung jawaban kita untuk Indonesia," kata dia.

Sementara Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menegaskan, argumen stagnasi ekonomi dan kepuasan publik atas kinerja pemerintahan tidak bisa menjadi alasan penundaan pemilu atau perpanjangan jabatan presiden.

"Kalau gunakan alasan ekonomi itu sama sekali tidak masuk akal. Kenapa? karena kalau kita lihat berdasarkan data-data ekonomi, justru sekarang ekonomi sedang tumbuh dan membaik dibandingkan dengan 2020. Ketika 2020 year on year pertumbuhan ekonomi indonesia minus 2,07%. Sementara pada 2021 pertumbuhan ekonomi yoy 3,39%. Artinya ekonomi sedang membaik dan tumbuh. bahkan berdasarkan data resmi yang dilansir sejumlah lembaga independen misalnya BI memprediksi ekonomi bisa tumbuh 4,7-5.5% pada 2022. Artinya, penggunaan alasan ekonomi untuk mendorong perpanjangan ekonomi dan penundaan ekonomi, jelas tidak masuk akal," papar dia.

Mengenai argumen kedua yakni, kepuasan publik, dia mengaku, hal itu tidak masuk akal karena dalam ilmu sosial biasanya dalam mengecek pendapat populasi masyarakat umum secara luas mempergunakan survei opini publik yang representatif.

Di mana salah satu hasil survei yang dilakukan Indikator Politik menunjukan bahwa sebagian besar atau di atas 70% masyarakat, tidak setuju pada perpanjangan masa jabatan presiden atau masyarakat tetap mengginkan bahawa jabatan presiden itu hanya 10 tahun. 

"Disaat bersamaan mereka juga melakukan survei kepada kelompok elite. Justru penolakan terhadap kelompok elite tesebut terhadap wacana perpanjangan masa jabatan itu lebih tinggi lagi, yakni sektiar 90%. kalau data itu di-breakdown ketika berdasarkan pilihan pemilu sekitar 58% pemilih jokowi juga menolak. Jadi penggunaan alasan kepuasan publik tidak masuk akal karena berdasarkan survei itu tidak ingin perpanjang masa jabatan," tutur dia.

img
Hermansah
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan