close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur nomor urut 2 Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elestianto Dardak berkolaborasi dengan grup musik Dewa 19 dalam pembuatan video klip untuk kebutuhan kampanye Pilkada Jawa Timur 2024./Foto Instagram @khofifah.ip
icon caption
Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur nomor urut 2 Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elestianto Dardak berkolaborasi dengan grup musik Dewa 19 dalam pembuatan video klip untuk kebutuhan kampanye Pilkada Jawa Timur 2024./Foto Instagram @khofifah.ip
Politik
Minggu, 27 Oktober 2024 06:23

Semarak politainment, gimik politik minim substansi

Politainment merupakan siasat komunikasi politik kontemporer yang menggabungkan unsur politik dengan hiburan.
swipe

Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur nomor urut 2 Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elestianto Dardak melibatkan grup musik Dewa 19 untuk membuat video klip lagu “Hidup Adalah Perjuangan” dari album Bintang Lima yang disiapkan untuk menghibur warga dalam masa kampanye Pilkada Jawa Timur.

Menurut Emil, dikutip dari Antara, pemilihan lagu itu sebagai materi kampanye sudah mendapat restu dari pentolan Dewa 19, Ahmad Dhani. Dalam video klip itu, Emil berduet dengan Khofifah, diiringi musik dari Dewa 19.

Selain lagu itu, digarap pula “Risalah Hati” yang juga dari album Bintang Lima. Konsep lagu tersebut dinyanyikan sendiri oleh Emil, dengan lirik yang sedikit diubah.

Strategi politik dengan melibatkan pelaku dunia hiburan belakangan dianggap ampuh menjaring pemilih. Strategi yang dikenal sebagai politainment—gabungan kata dari politics dan entertainment—merupakan siasat komunikasi politik kontemporer yang menggabungkan unsur politik dengan hiburan.

Politainment menuntut kandidat mengemas diri serupa tokoh populer seperti selebritas. Tentu siasat ini menjadi lebih mudah “dimainkan” oleh selebritas yang bertarung dalam pilkada. Sebab, dengan modal ketenaran, mereka punya modal mendekati pemilih lewat beragam saluran, seperti media sosial, dengan model kampanye penuh hiburan.

Tercatat, ada 13 pesohor dunia hiburan yang berkompetisi dalam pilkada, antara lain penyanyi Kris Dayanti yang maju sebagai calon wali kota Batu, komedian dan presenter Gilang Dirgahari yang menjadi calon wakil bupati Bandung Barat, penyanyi Rithcie Ismail alias Jeje Govinda yang menjadi calon bupati Bandung Barat, serta komedian dan presenter Ronal Sunandar Surapradja yang maju sebagai calon wakil gubernur Jawa Barat.

Lalu ada penyanyi Vicky Veranita Yudhasoka Shu atau Vicky Shu yang menjadi calon wakil bupati Cilacap, Hengky Kurniawan yang maju sebagai calon bupati Bandung Barat, aktor Sahrul Gunawan yang menjadi calon bupati Bandung, serta aktor Lucky Hakim yang menjadi calon bupati Indramayu.

Kemudian ada penyanyi dangdut Gitalis Dwinatarina alias Gita KDI yang menjadi calon wakil gubernur Jawa Barat, aktor Ali Syakieb yang menjadi calon wakil bupati Bandung, komedian Hendrianto alias Vicky Prasetyo yang menjadi calon bupati Pemalang, presenter Ramzi Geys Thebe yang maju sebagai calon wakil bupati Cianjur, serta aktor dan sutradara Rano Karno yang menjadi calon wakil gubernur DKI Jakarta.

Strategi penarik suara

Analis politik dari Universitas Indonesia, Yoga Putra Prameswari membenarkan saat ini strategi politainment sedang menjadi siasat komunikasi yang laku keras dalam pertarungan politik di Indonesia. “Yang harus diwaspadai oleh masyarakat adalah politainment ini cenderung minim gagasan dan mengerdilkan nalar kritis publik,” kata Yoga kepada Alinea.id, Jumat (25/10).

“Jadi, dia sederhananya adalah political gimmick.”

Menurutnya, politainment menjadi sering digunakan karena tidak lepas dari prakondisi yang mendukungnya. Yoga mengatakan, politik gimik yang minim substansi, tumbuh subur seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat dan juga populasi pemilih generasi Z yang dominan.

“Hal ini kadang tidak substantif secara gagasan, tetapi lebih menarik dan menjadi perbincangan khayalak ramai. Bahasa digital teknologi itu engagement kuat,” kata dia.

“Itu bisa dilihat pada Pilpres 2024, yang (kandidatnya) datang ke acara yang berating tinggi. Salah satunya Lapor Pak, yang ditayangkan di salah satu stasiun tv swasta.”

Yoga menilai, hubungan yang terbangun antara kandidat dan artis yang memoles citra juga didasari hubungan saling menguntungkan. Kandidat bisa mendongkrak citra dari sisi hiburan yang dilakukan artis, sedangkan artis bisa mendapatkan keuntungan timbal balik di kemudian hari, setelah kandidat terpilih.

“Ini bisa kita lihat bagaimana dalam penyusunan Kabinet Merah Putih, Prabowo-Gibran itu memasukkan influencer. Karena pada saat pilpres kemarin, mereka jadi vote getter yang bisa memengaruhi audiens dan memengaruhi pilihan. Kita bisa lihat Raffi Ahmad yang menjadi bagian dari kabinet,” ucap Yoga.

Yoga melanjutkan, strategi politainment juga tak bisa dilepaskan dari karakteristik pemilih di Indonesia yang masih didominasi pemilih dengan tingkat pendidikan rendah dan status ekonomi menengah ke bawah.

Karakteristik pemilih seperti ini, menurut Yoga, cenderung tidak menyukai pertarungan gagasan yang substantif terkait dengan program dan mazhab kepemimpinan politik. Mereka pada dasarnya lebih menyukai politik yang menghibur.

“Kalau kita lihat data dari Litbang Kompas pada 2022 itu ada 65 juta yang tidak atau belum sekolah, kemudian tidak tamat SD ada 36 juta, tamat SD 64 juta, tamat SMP 40 juta, yang lulus SMA 57 juta,” kata Yoga.

“Sementara yang pendidikan tinggi D1, D2 hanya 1 juta, D3 3-5 juta, S1 12 juta, lalu S2 800.000, dan S3 61.000. Sementara kelas menengah bawah juga mendominasi, ada 70%.”

Yoga mengatakan, masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah, terlebih lagi yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, cenderung tidak punya cukup waktu untuk mengurai dengan kritis program para kandidat. Waktu mereka tersita cukup banyak untuk bekerja dan terlalu lelah memantau dengan cermat visi-misi kandidat.

“Sehari-hari mereka sudah disibukkan ekstra keras untuk menghidupi keluarga. Menghidupi perekonomian keluarganya. Jadi ketika sudah lelah, mereka tidak akan melihat sesuatu yang serius,” ucap Yoga.

“Tapi yang santai dan gimik, atau mungkin drama. Dimensi politik itu menjadi sesuatu yang sangat signifikan mengapa politainment lebih mengena di masyarakat kita.”

Terpisah, Direktur Eksekutif Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai, politainment bukan teknik baru yang digunakan dalam pertarungan politik di Indonesia. Sejak lama artis memang sudah dilibatkan dalam pertarungan elektoral sebagai penarik suara.

“Cara semacam itu sebenarnya tidak ditujukan secara langsung untuk menggaet pemilih, melainkan untuk pengumpul massa. Ketika massa telah terkumpul, situasi ini digunakan untuk sampaikan pesan politik kandidat,” ujar Dedi, Jumat (25/10).

Dedi mengatakan, politainment hanya sebagai pelengkap dalam pertarungan elektoral. Bukan strategi yang paling menentukan. Sebab, magnet figur tetap akan memengaruhi keterpilihan kandidat.

“Andaipun ada pihak lain, itu lebih pada ketokohan yang memang punya basis pengaruh dan punya reputasi yang cukup baik di wilayah tertentu,” tutur Dedi.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan