close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sejumlah tokoh dari berbagai elemen menyerahkan dokumen fisik dan bukti-bukti permohonan untuk uji materi Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 di kantor Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis, (21/6). (Robi Ardianto/Alinea)
icon caption
Sejumlah tokoh dari berbagai elemen menyerahkan dokumen fisik dan bukti-bukti permohonan untuk uji materi Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 di kantor Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis, (21/6). (Robi Ardianto/Alinea)
Politik
Kamis, 21 Juni 2018 16:51

Sembilan alasan perlunya uji materi Presidential Threshold

Ada sembilan alasan mengapa aturan Presidential Threshold harus ditentang.
swipe

Setelah mendaftarkan permohonan uji materi Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang ambang batas presiden (Presidential Threshold) pekan lalu, sejumlah tokoh masyarakat kembali mendatangi kantor Mahkamah Konsititusi (MK) hari ini. Mereka menyerahkan dokumen fisik dan bukti-bukti permohonan lanjutan untuk uji materi pasal tersebut.

Salah satu pemohon, mantan Ketua KPU Haidar Gumay menandaskan, ia dan rekan-rekan koalisi tolak pasal ini, merupakan pihak- pihak nonpartisan yang tidak memilik kepentingan terhadap paslon atau parpol tertentu.

"Ini adalah permohonan yang setidaknya sudah diajukan sepuluh kali. Karena kami menganggap ini merupakan sesuatu yang sangat penting, maka kami mengajukannya kembali, jelang masa pendaftaran capres dan cawapres," katanya, Kamis (21/6).

Pengajuan kembali itu, imbuhnya, sangat dimungkinkan, sebab ada argumentasi yang berbeda dengan dalih pelaporan sebelumya.

Ia menyebut, ada sembilan alasan mengapa Pasal 222 ini dinilai inkonstitusional. Alasan pertama, pengaturan syarat pencapresan bertentangan dengan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, yang hanya mendelegasikan pengaturan "tata cara" setingkat UU.

Alasan kedua, lanjutnya, pengaturan pendelegasian "syarat" capres ke UU tidak terkait pengusulan oleh parpol. Pasal 222 yang mengatur pencapresan oleh parpol juga bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945.

Kemudian, pengusulan capres semestinya dilakukan parpol peserta pemilu yang akan berlangsung, bukan hasil pemilu anggota legislatif sebelumnya. Alasan keempat, syarat pengusulan capres oleh parpol seharusnya adalah close legal policy bukan open legal policy.

Alasan berikutnya, lanjut Haidar, penentuan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya adalah irasional sekaligus menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu. Oleh karenanya, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945.

Ketujuh, presidential threshold menghilangkan esensi pemilihan presiden (pilpres), karena lebih berpotensi menghadirkan capres tunggal, sehingga bertentangan dengan pasal 6A ayat (1), (3), dan (4) UUD 1945

Kedelapan, kalaupun pasal tersebut dianggap tidak langsung bertentangan dengan konstitusi, quodnon, tetapi potensi pelanggaran konstitusi sekecil apapun harus diantisipasi, guna menghindari ketidakpastian hukum. Kesembilan, pasal ini disebut-sebut bukanlah constitutional engineering, tetapi justru constitutional breaching. Pasalnya, melanggar Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 22E ayat (1) dan (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

"Penting pula kami garis bawahi permintaan agar Mahkamah Konstitusi segera memberikan putusan atas uji konstitusionalitas ini," tegasnya.

Menurutnya, perkara ini sangat penting dan strategis bagi terwujudnya pemilu dan pilpres yang demokratis, sehingga negara harus memberi keputusan. Kemudian, menimbang kredibilitas MK yang pernah dengan bijak memutus perkara-perkara pemilu dengan cepat. Misalnya, soal KTP sebagai alat verifikasi pemilu, yang diproses dalam beberapa hari, dan diputus dua hari menjelang pemilu. Jika MK segera mengetok palu, sebelum proses pendaftaran capres pada 4-10 Agustus 2018, maka menunjukkan kesungguhan KPK mewujudkan pemilu yang adil.

"Kami juga memohonkan agar pembatalan Pasal 222, yang menghapuskan syarat ambang batas capres dapat diberlakukan segera, atau paling lambat sejak pilpres 2019. Bukan diberlakukan mundur untuk pilpres selanjutnya, sebagaimana putusan terkait pemilu serentak di putusan MK 2014. Dengan demikian, kerugian konstitusional para pemohon betul-betul terlindungi, dan pelanggaran konstitusi tidak dibiarkan berlangsung dan mencederai pelaksanaan pilpres mendatang," urainya.

Adapun sejumlah tokoh yang datang ke MK dan mendorong uji materi ini, di antaranya mantan Ketua KPK dan Ketua KY, M Busyro Muqoddas, mantan Menteri Keuangan M. Chatib Basri, akademisi Faisal Basri, mantan pimpinan KPU Hadar N. Gumay, mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto, Rocky Gerung, Robertus Robet, Direktur Pusako Universitas Andalas Feri Amsari, 

Selain itu, Angga Dwimas Sasongko yang berasal dari profesional dan juga sutradara film, Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak, Direktur PerludemTiti Anggraini ,dan juga Hasan Yahya juga turut mendukung uji materi ini. Ada pula pihak ahli yang mendukung permohonan tersebut, yakni Refly Harun, Zainal Arifin Mochtar, dan Bivitri Susanti. 

img
Robi Ardianto
Reporter
img
Purnama Ayu Rizky
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan