Keputusan Panglima TNI, Jenderal Andika Perkasa, memperbolehkan keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI) mengikuti tes penerimaan prajurit pada tahun ini menuai apresiasi. Dukungan itu datang dari Setara Institute.
Wakil Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, menyatakan, langkah itu perlu didukung karena peristiwa 1965 terjadi lebih dari 50 tahun lalu dan keturunan PKI dan simpatisannya yang ada saat ini adalah generasi ketiga (cucu) dan keempat (cicit).
"Adalah tindakan yang irasional dan di luar perikemanusiaan apabila mereka tetap menanggung 'dosa turunan' dan diperlakukan tidak setara sebagai warga negara?" ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Alinea.id, Kamis (31/3).
Bonar menegaskan, sudah saatnya bangsa ini berdamai dengan sejarah masa lalu. baginya, setiap warga negara, apa pun latar belakang sosialnya, berhak menyumbangkan tenaganya menjadi bagian pertahanan Indonesia sepanjang tidak terlibat perbuatan melanggar hukum.
Oleh karena itu, Setara Institute berharap, keputusan Panglima TNI hendaknya menjadi terobosan baru bagi bangsa ini dalam melakukan refleksi dan rekonsiliasi atas peristiwa 1965.
"Sudah saatnya mata rantai stigma dan banalitas diakhiri, termasuk juga upaya untuk menjadikan peristiwa 1965 sebagai komoditi kelompok tertentu untuk menyudutkan kompetitor politiknya," serunya.
Panglima TNI diharapkan juga memperhatikan harapan kelompok penghayat yang ingin menyumbangkan tenaganya untuk menjadi militer. Dalam catatan Setara Institute, keturunan kelompok penghayat masih mengalami hambatan dan diskriminasi saat hendak mendaftar secara daring.
"Dikarenakan di formulir tersebut tidak ada kolom agama dan keyakinan untuk penghayat. Sehingga, kalaupun mereka bersikeras ingin menjadi prajurit TNI, mereka harus memilih agama dan keyakinan lain," bebernya.
Padahal, lanjut Bonar, di institusi pemerintah lain dan dan juga kepolisian, hambatan semacam itu tidak ditemukan. Karenanya, ketiadaan kolom bagi kelompok penghayat dalam formulir pendaftaran untuk menjadi prajurit TNI dinilai bertentangan dengan UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Adminduk dan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada November 2017, yang menyatakan warga negara berhak untuk mengisi kolom agama dan KTP sesuai kepercayaan masing-masing.
"Hendaknya Panglima TNI mengambil langkah perbaikan agar kelompok penghayat memiliki peluang dan kesempatan yang sama sebagai warga negara untuk menjadi prajurit TNI," pungkasnya.