Debat perdana Pilgub DKI Jakarta 2024 berlangsung di Jakarta International Expo (JIExpo) Kemayoran, Jakarta Pusat, Minggu (6/10) malam. Dengan tema “Penguatan Sumber Daya Manusia dan Transformasi Jakarta Menjadi Kota Global” masing-masing pasangan calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub) Jakarta, yakni Ridwan Kamil-Suswono, Dharma Pongrekun-Kun Wardana, dan Pramono Anung-Rano Karno saling beradu gagasan selama kurang lebih dua jam.
Menurut Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro, pasangan Pramono-Rano tergolong sukses menjadi pembeda. Sebab, dari sisi seragam yang dikenakan—kemeja putih dengan unsur oranye, peci hitam dan merah—pasangan nomor urut 3 ini lebih terlihat menampilkan simbol Betawi. Kostum yang berbeda ini, kata dia, bisa berpengaruh dalam menjaring pemilih secara psikologis.
“Di situ ada nilai tambah. Warna orange itu identik dengan the Jak Mania (pendukung Persija Jakarta). Dari segi penampilan, saya memberikan poin plus kepada Pram-Rano,” ujar Agung kepada Alinea.id, Minggu (6/10).
Namun, secara substansi, pada sesi pertama debat, sebenarnya pasangan Ridwan-Suswono sudah tampil baik. Sayangnya, saat Suswono ingin membacakan pantun, waktu tidak cukup, sehingga antiklimaks. Sementara pasangan Dharma-Kun, Agung menilai, masih terlihat gagap. Pasangan Pramono-Rano pun terkesan tampil lepas pada sesi pertama, meski belum terlihat kemampuannya.
“Pada sesi ketiga, saat yang tampil para cawagub, Bang Rano terlihat sekali unggul. Pada sesi keempat dan lima, saya melihat seimbang semuanya. Lebih menonjol antara RK (Ridwan Kamil) dan Pram (Pramono Anung), tapi tipis,” ucap Agung.
“Jadi kalau boleh diakumulasikan, nilainya sebenarnya unggul Pram dan Rano, dibanding RK-Suswono, tapi tipis.”
Sedangkan pasangan Dharma-Kun, menurut Agung tidak bisa disepelekan. Apalagi saat bisa tampil beda ketika menyinggung mengenai pelayanan kesehatan masyarakat terkati pandemi Covid-19 dan keamanan data pribadi.
“Pasangan Dharma-Kun ini harus lebih baik di debat kedua dan ketiga, sehingga menjadi lebih maksimal tampilnya,” kata Agung.
Selain itu, Agung melihat, pasangan Pramono-Rano tidak menyinggung janji program dalam bentuk kartu, seperti Ridwan-Suswono yang menyinggung Kartu Kamu (Jakarta Maju)—yang terdiri dari gabungan Kartu Pelayan Rumah Ibadah dan Kartu Anak Yatim. Sedangkan Dharma-Kun dengan Kartu Jakarta Aman.
“Tapi (Pramono-Rano) main tagline ‘Jakarta Menyala’. Kalau ditanya dari sesi satu sampai sesi enam, ya saya memberikan kredit kepada Pram-Rano yang unggul dibanding RK-Suswono,” ujar dia.
Agung mengatakan, dari sisi program pun, Pramono-Rano lebih terlihat memformulasikan program yang bersifat bottom up alias memberdayakan masyarakat akar rumput. Bukan top down, yang bergantung pada gelontoran anggaran semi bantuan sosial.
“Seperti dalam soal gen Z, RK ngomongnya akan memberi bantuan tiga bulan buat mereka yang di-PHK. Itu akan cukup enggak? Tapi kalau Pram-Rano ngasih perhatian,” tutur Agung.
Terpisah, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah menyebut, ketiga kandidat pemimpin Jakarta baru sebatas berbicara program. Namun, tidak disertai rumusan kemampuan anggaran Pemprov DKI Jakarta.
“Semisal mau memberi uang selama tiga bulan kepada gen Z yang di-PHK, itu anggarannya apa cukup? Kemudian juga sesumbar berjanji akan membuat program setiap RW mendapat anggaran Rp100 juta hingga Rp200 juta, itu buang-buang anggaran,” kata Trubus, Minggu (6/10).
“Padahal peran RT/RW sekarang sudah tidak seaktif dulu, yang mengurus administrasi kependudukan. Sekarang serba online dan semua orang melaporkan kondisi di RT/RW. Jadi, jangan main gelontorkan uang.”
“Di samping itu, ketiga kandidat juga masih berkutat pada memberikan pelatihan kerja untuk mengatasi pengangguran di Jakarta. Padahal, masalah utama dari pengangguran bukan sumber daya manusia yang rendah, tetapi ketersediaan lapangan kerja.
“Setelah dapat pelatihan, mau disalurkan ke mana? Itu kan masalahnya. Kalau cuma dilatih, tapi tidak ada lapangan pekerjaan, agak sulit,” tutur Trubus.