Siapa sasaran tembak revisi UU MK?
Revisi keempat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) selangkah lagi bakal disahkan oleh DPR sebagai undang-undang (UU). Poin-poin revisi sudah disepakati pemerintah dan Komisi III DPR RI dalam rapat "rahasia" di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (13/5).
Setidaknya ada tiga pasal yang direvisi, yakni Pasal 23 27 dan Pasal 87. Pasal-pasal itu mengatur masa jabatan hakim konstitusi dan komposisi keanggotaan Majelis Kehormatan MK. Pasal 23 huruf a memangkas masa jabatan hakim konstitusi menjadi 10 tahun dengan kewajiban meminta persetujuan DPR untuk periode kedua jabatan.
Disebutkan pada Pasal 87 huruf A dalam draf RUU MK, hakim konstitusi yang telah menduduki jabatan selama lebih dari 5 tahun dan kurang dari 10 tahun harus mendapatkan persetujuan dari lembaga pengusul apabila hendak melanjutkan jabatannya hingga 10 tahun.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Agus Riewanto menyebut revisi UU MK bermasalah secara prosedural dan substansial. Secara prosedural, DPR menyalahi aturan karena membahas dan menyepakati poin-poin revisi dalam rapat yang digelar pada masa reses.
"Ini (pembahasan RUU MK) sudah salah secara prosedural karena masa reses itu adalah massa menampung aspirasi dan menjalankan peran pengawasan," ucap Agus kepada Alinea.id, Rabu (15/5).
Selain tertutup, rapat pengambilan keputusan tingkat I digelar pada hari terakhir masa reses. Tak satu pun anggota DPR RI dari fraksi PDI-Perjuangan yang hadir. Sebagian anggota Komisi III bahkan tidak mengetahui adanya rapat pembahasan dan pengambilan keputusan terkait RUU MK.
Dalam rapat tersebut, pemerintah diwakili Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto dan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KemenkumHAM) Asep Mulyana. Adapun DPR mengirimkan perwakilan dari 8 fraksi.
Menurut Agus, proses pengambilan keputusan semacam itu mengabaikan partisipasi publik yang bermakna sebagai diamanahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. DPR dan pemerintah seharusnya melibatkan dan meminta masukan dari masyarakat dalam proses revisi itu.
Syarat partisipasi yang bermakna dalam menyusun undang-undang, kata Agus, juga sudah diatur dalam Putusan MK No.91/PUU- XVIII/2020. Dalam putusan itu, publik memiliki hak untuk didengar pandangannya dan dipertimbangkan pandangannya. "Kalau ini tidak dilakukan, maka legislasi bisa cacat prosedural," jelasnya.
Agus juga mempersoalkan substansi Pasal 87 huruf a dalam draf RUU MK yang mewajibkan hakim konstitusi "melapor" ke lembaga pengusul jika ingin kembali menjabat. Ketentuan itu dinilai menyalahi isi Putusan MK 81 Tahun 2023 tentang UU MK.
Dalam pertimbangan putusan yang dibacakan pada 29 November 2023, MK memberikan pedoman yang menegaskan bahwa perubahan UU MK tidak berlaku bagi hakim MK yang sedang menjabat. Kewajiban meminta restu dari lembaga pengusul menyebabkan revisi UU menjadi berlaku bagi hakim-hakim konstitusi aktif.
"Ini juga aneh. Menurut saya, itu tidak tepat. Putusan MK No 81/2023 memberi batasan (revisi UU MK) tidak boleh merugikan hakim yang saat ini menjabat. Jadi, perubahan atas UU MK berlaku untuk ke depan, bukan berlaku hakim MK yang diangkat dengan undang-undang yang lama," ucap Agus.
Agus berpendapat revisi UU MK sebaiknya dibatalkan atau ditunda pengesahannya. DPR memiliki pengalaman menunda pengesahan undang- undang pada saat Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) berpolemik pada 2019.
Ketika itu, DPR menunda pengesahan setelah protes besar-besaran dari kalangan mahasiswa dan masyarakat sipil. "Pada saat itu, RKUHP (diprotes) karena tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna. Akhirnya, DPR mencabut dan tidak jadi disahkan," ucap Agus.
Setidaknya ada tiga hakim MK yang potensial langsung diberhentikan jika RUU itu disahkan tanpa perubahan, yakni Wakil Ketua MK Saldi Isra dan juru bicara Hakim MK Enny Nurbaningsih yang diusulkan Presiden dan Ketua MK Suhartoyo yang direkomendasikan Mahkamah Agung (MA).
Jika mengacu pada Pasal 87, ketiga hakim MK tersebut bisa dievaluasi sebab karena sudah menjabat lebih dari lima tahun dan kurang dari 10 tahun. Suhartoyo akan memasuki masa pensiun sebagai hakim MK pada tahun depan, sedangkan Saldi menyisakan masa jabatan hingga 2027. Adapun Enny berkantor di MK hingga 2028.
Dalam sebuah video yang disiarkan via reels Instagram @mohmahfudmd, mantan Ketua MK Mahfud MD mengungkapkan rencana merevisi UU MK sudah digulirkan sejak tahun lalu, khususnya jelang Pemilu 2024. Ketika itu, Mahfud selaku Menkopolhukam menolak rencana tersebut karena poin-poin revisi yang dianggap bermasalah.
"Itu (poin permintaan konfirmasi dari lembaga pengusul) saya tidak setuju waktu itu karena bisa mengganggu independensi hakim MK. Pada waktu itu, sedang menjelang pilpres," kata eks cawapres pendamping Ganjar Pranowo tersebut.
Wewenang untuk merekomendasikan perpanjangan masa jabatan hakim-hakim MK, kata Mahfud, bisa jadi senjata untuk mempengaruhi independensi hakim. Saldi, Enny, dan Suhartoyo, misalnya, bisa dibiarkan tetap bekerja asalkan tak bikin "ulah".
"Itu bisa menjadi politik etis bagi pemerintah untuk menunjukkan bahwa, 'Kami tidak akan mecat kok, meski aturannya begitu'. Meskipun saya tidak tahu perkembangan (pembahasan revisi UU MK) berikutnya," kata Mahfud.
Saldi dan Enny merupakan dua hakim MK yang kerap berseberangan dengan pemerintah. Pada Oktober 2023, Saldi menjadi "pembocor" dugaan pelanggaran etik berat dalam putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Gibran sebagai pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
Saat membacakan disenting opinion terkait putusan MK nomor 90, Saldi menceritakan beragam kejanggalan keterlibatan Ketua MK Anwar Usman dalam pembahasan putusan. Anwar ialah besan Jokowi alias paman Gibran.
Dalam PHPU Pilpres 2024, Saldi dan Enny juga tercatat mengeluarkan disenting opinion atau pendapat berbeda atas putusan terhadap gugatan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Keduanya menilai MK seharusnya memerintahkan pemungutan ulang di sejumlah daerah yang ditengarai terdampak politisasi bansos sepanjang Pilpres 2024.
Pakar hukum tata negara Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Aji Muhammad Idris, Samarinda, Suwardi Sagama sepakat pembahasan revisi UU MK sebaiknya dihentikan. Apalagi, substansi revisi UU MK mempengaruhi hakim-hakim MK yang saat ini tengah bertugas menyidangkan dan mengadili PHPU Pileg 2024.
"Jadi, tidak pas pembahasan aturan di kala orang yang mempunyai legitimasi memberikan putusan sedang dibahas statusnya. Sebaiknya dibahas setelah selesai PHPU legislatif agar menjauhkan dari conflict of interest," ucap Suwardi kepada Alinea.id, Rabu (15/5).
Suwardi sepakat revisi UU MK juga potensial cacat secara prosedural karena dibahas pada masa reses serta tanpa melibatkan partisipasi publik. "Pembahasan secara diam-diam bisa memberikan dugaan tidak melewati proses yang seharusnya," ucap Suwardi.