Komisi Pemilihan Umum (KPU) berada pada situasi dilema akibat putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang memenangkan gugatan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Oesman Sapta Odang.
Pasalnya, terdapat dua penafsiran yang berbeda antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA), juga PTUN. Berdasarkan hasil keputusan MK calon anggota DPD yang tidak diperkenankan berasal dari Parpol berlaku untuk Pemilu 2019 mendatang dan keputusan tersebut final dan mengikat.
Sebaliknya, berdasarkan hasil keputusan MA aturan tidak diperkenankannya calon anggota DPD dari Parpol mulai berlaku untuk tahun 2024.
Kemudian di PTUN, Oesman Sapta (Oso) memenangkan gugatan surat keputusan daftar calon tetap (SK DCT) KPU yang tidak memasukkan Oso sebagai peserta Pemilu dan sifatnya juga final dan mengikat. Sehingga, KPU menggelar diskusi bersama dengan para ahli hukum tata negara, terkait perbedaan pandangan itu.
Pakar Hukum Ilmu Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsary mengatakan KPU sedang berada dalam dua dilema yang besar untuk memutuskan pilihan tersebut. Sebab, KPU harus memutuskan dua produk hukum yang final dan mengikat.
Feri menjelaskan, putusan MK itu bisa mengikat siapa saja, termasuk putusan MA. Maka itu, dalam putusannya MA harus memahami dan membaca baik-baik isi putusan MK.
Berdasarkan hasil putusan MK Nomor 30 yang pada intinya tidak memperkenankan caleg anggota DPD berasal dari Parpol mencalonkan diri pada Pemilu 2019.
"Tentu saja bagi KPU ada semacam simalakama proses penyelenggaraan Pemilu tersendiri," kata Feri di Gedung KPU RI, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Rabu (14/11).
Lalu, hasil putusan PTUN yang meminta agar KPU memasukan Oso sebagai DCT DPD RI. Hal itupun menjadi masalah sendiri karena memasukkan satu nama atau memperbolehkan satu orang saja dari untuk menjadi calon anggota DPD yang berasal dari Parpol.
"Tentu akan menimbulkan ketidakfairan (ketidakadilan) dan melanggar prinsip-prinsip keadilan (dalam) proses penyelenggaraan pemilu," katanya.
Padahal di satu sisi berdasarkan UU, penyelenggara Pemilu dipaksa untuk mematuhi putusan PTUN. Berdasarkan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 dalam Pasal 471 ayat (8) menjelaskan KPU wajib menindaklanjuti putusan pengadilan tata usaha negara sebagaimana yang dimaksud pada ayat (6) paling lama 3 hari kerja.
"Ini makanya simalakama bagi KPU. Mau diikuti melanggar putusan MA dan PTUN. Mau tidak diikuti bertentangan dengan putusan MK," katanya.
Sementara itu, Ketua KPU Arief Budiman mengatakan pihaknya baru mendengarkan pandangan dari para ahli hukum tata negara. Berkaitan dengan putusan yang akan diambil, KPU masih menunggu salinan putusan dari PTUN.
"Baru kami akan memutuskan sikap kami seperti apa. Karena putusan MA tidak membatalkan PKPU melainkan mengatur waktu kapan penerapan pasal 60a (yang intinya anggota DPD tidak boleh berasal dari Parpol)," katanya.
Selanjutnya, berdasarkan hasil putusan PTUN yang disengketakan adalah hasil SK KPU yang tidak memasukkan nama Oso sebagai DCT anggota DPD.
"(Sebab) kalau SK itu dibatalkan, kami harus menerbitkan SK baru (dengan memasukkan nama Oso)," katanya.