Konstelasi politik di Pilkada Serentak 2024 potensial berubah setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan nomor 60/PUU-XXII/2024. Putusan itu memungkinkan parpol-parpol yang punya suara kecil di daerah mencalonkan sendiri kandidat mereka untuk maju di pilkada.
Dalam putusannya, MK mengubah ambang batas pencalonan pemilihan kepala daerah (pilkada). Parpol atau koalisi parpol hanya butuh kisaran 6-10% kursi di DPRD supaya bisa mencalonkan kandidat kepala daerah. Sebelumnya, syarat pencalonan kepala daerah ialah 20% kursi di DPRD.
Di DKI Jakarta, putusan itu membuat Anies Baswedan bisa bernafas lega. Anies kini bisa diusung PDI-Perjuangan sendirian untuk maju di pilgub. Sebelumnya, Anies kehilangan tiket maju setelah Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan NasDem bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus.
Di Banten, situasi serupa juga terjadi. Golkar berada di persimpangan jalan setelah KIM menyepakati pasangan Andra Soni-Ahmad Dimyati Kusumah di Pilgub Banten. Jika Golkar mencabut dukungan terhadap Airin Rachmi Diany yang notabene ialah kadernya sendiri, PDI-P bakal mengusung Airin sendirian.
Direktur Eksekutif Citra Institute, Yusak Farhan menilai pecah kongsi KIM plus bisa saja terjadi karena terdampak putusan MK nomor 60. Namun, ia memperkirakan mayoritas parpol anggota KIM plus bakal sejalan dengan keinginan Presiden terpilih Prabowo Subianto.
"Karena mereka tentu ingin mengamankan kepentingan (mendapat) kursi menteri di pemerintahan Prabowo-Gibran," ucap Yusak kepada Alinea.id, Sabtu (24/8).
Menurut Yusak, semua anggota KIM tersandera kepentingan politik nasional. Selain karena takut tidak mendapat kursi menteri di kabinet Prabowo-Gibran, Yusak menilai parpol anggota KIM tidak punya waktu untuk menyaring kader potensial sebagai calon kepala daerah.
Hanya PKB, kata Yusak, yang terlihat tidak sejalan dalam mendukung calon-calon dari KIM. Itu pun terbatas di Pigub Jawa Tengah (Jateng) dan Pilgub Jawa Timur (Jatim). Pada Pilgub Jateng, PKB memajukan KH Yusuf Chudlori alias Gus Yusuf, sedangkan di Pilgub Jatim PKB terlihat ogah mendukung pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak.
"Cak Imin (Ketum PKB Muhaimin Iskandar) bisa jadi nekat melawan KIM dalam beberapa tempat. Tapi, kalau Jokowi dan Prabowo lebih mendengar Cak Imin. Tentu akan ikut barisan. Ini kan semacam warning juga buat Pak Jokowi dan Prabowo bahwa yang punya kekuatan politik riil itu PKB bukan PBNU," kata dia.
PKB saat ini tengah berkonflik dengan PBNU. Lewat sejumlah manuver, PBNU berniat mengambil alih PKB dari tangan Cak Imin. Keputusan PKB untuk bergabung dengan KIM plus disebut-sebut ada kaitannya dengan konflik tersebut.
Analis politik dari Universitas Indonesia (UI) Cecep Hidayat menilai Putusan MK nomor 60 merupakan titik balik pecah kongsi antara Jokowi dan Prabowo. Itu setidaknya terlihat dari "pupusnya" pencalonan Kaesang Pangarep di Pilgub Jateng.
"Gerindra langsung memutuskan calon gubernur dari Gerinda di Jawa Tengah Ahmad Luthfi-Taj Yasin. Padahal, sebelumnya jelas Gerindra bilang mereka akan menghadirkan Ahmad Lutfhi dan Kaesang di Pilgub Jawa Tengah," ucap Cecep kepada Alinea.id, Sabtu (24/8).
Selain putusan nomor 60, MK juga mengeluarkan putusan nomor 70/PUU-XXII/2024. Putusan itu menetapkan calon kepala daerah harus berusia 30 tahun saat mendaftarkan diri jadi kandidat. Putusan itu membuat Kaesang yang masih berusia 29 tahun tak memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah.
DPR berupaya mengakali putusan MK itu lewat revisi kilat UU Pilkada. Namun, manuver DPR itu ditolak publik. Demo besar-besaran digelar di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (22/8). Aksi serupa juga pecah di berbagai daerah.
"Jadi, banyak kabar bila Pak Prabowo marah. Ini sinyal hubungan Jokowi dan Prabowo retak karena protes publik sangat besar. Di situ, Prabowo kemudian merasa kurang nyaman dengan demonstrasi besar kemarin karena itu tidak menguntungkan bagi Prabowo yang sebentar lagi dilantik. Apalagi kalau pada akhirnya bisa memicu krisis yang lain," ucap Cecep.