close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ketua Presidium Nasional GNR Dondi Rivaldi (kedua kiri) membacakan dokumen deklarasi Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo untuk rakyat di Jakarta, Jumat (6/4)./ Antarafoto
icon caption
Ketua Presidium Nasional GNR Dondi Rivaldi (kedua kiri) membacakan dokumen deklarasi Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo untuk rakyat di Jakarta, Jumat (6/4)./ Antarafoto
Politik
Kamis, 19 April 2018 14:27

Skenario pilpres 2019, Jokowi lawan Gatot

Mahfud MD menilai pilpres hanya akan diikuti dua poros, Jokowi dan Gatot. Sedang Prabowo diduga akan memilih jadi "King Maker".
swipe

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mohammad Mahfud MD memprediksi pertarungan pemilihan presiden (pilpres) mendatang hanya akan diisi oleh dua poros saja. Hadir sebagai penantang Joko Widodo adalah Gatot Nurmantyo, menengarai upaya Jenderal tersebut yang gencar menggalang dukungan. 

Sementara, Prabowo sendiri tidak pernah tegas membantah, tidak akan maju pada perhelatan pilpres mendatang.  Namun tak juga mendeklarasikan diri secara resmi laiknya Jokowi beberapa tempo lalu. Maka kemungkinan besar, imbuhnya, mantan menantu Soeharto tersebut memilih berada di balik panggung.

Gatot sendiri dalam beberapa kesempatan selalu mengatakan kesiapannya menjadi calon presiden (capres) 2019. Terlebih sejumlah lembaga survei menyimpulkan, elektabilitas Gatot terus meroket, seiring dengan penggalangan suara di akar rumput.

"Gatot akan hadir sebagai saingan," kata Mahfud dalam kuliah umum bertajuk "Aktualisasi Kepemimpinan Indonesia Zaman Now" di Para Syndicate, Jakarta, Kamis (19/4).

Gatot menurut peneliti militer Aris Santoso, sebagaimana dilansir Tirto, bukanlah pemain baru di bidang politik. Usahanya telah dirintis sejak masih aktif sebagai tentara, khususnya pada paruh terakhir jabatannya selaku Panglima TNI.

Saat gelombang aksi 212 menyeruak pada 2017, Gatot curi panggung dengan ikut serta, bahkan menyediakan nasi bungkus bagi para peserta aksi. Hubungan Jokowi dan Gatot pun kian renggang, sebab Gatot diidentikkan sebagai salah satu aktor intelektual gerakan massa itu.

Bahasa tubuh Presiden Jokowi disebut Aris, sudah bisa menjelaskan bahwa dirinya tak lagi nyaman dengan keberadaan Jenderal Gatot. Wajar bila Jokowi (selaku Panglima Tertinggi) segera mencopot Jenderal Gatot pada akhir Desember 2017 tanpa harus menunggu masa pensiun Gatot.

Ketidakharmonisan itu kian menguat saat acara nonton bersama (nobar) film "Pengkhianatan G30S/PKI" di markas Korem Bogor, Jokowi secara sengaja meminta penjagaan Paspampres dari kalangan Korps Marinir.

Dari situlah, kemungkinan besar Jokowi tidak akan mesra dengan Gatot. Sementara Gatot butuh aktualisasi diri di panggung pilpres. Maka kemungkinan yang terjadi, Gatot akan mencoba penjajakan dengan kubu Prabowo, sehingga pertarungan pilpres 2019 menjadi berimbang. Jokowi yang didukung koalisi gemuk versus Gatot yang didukung Prabowo sebagai "King Maker" dan sekutunya yang lain seperti PKS.

Ini juga sekaligus menampik, dugaan akan ada poros ketiga. Mahfud tak memungkiri keberadaan poros ketiga berimplikasi positif bagi demokrasi Indonesia. Tak seperti era Orde Lama di mana poros di Indonesia hanya ada satu, sebab PDI dan PPP kala itu hanya dianggap sebagai partai gurem yang tak cukup menandingi kekuatan Soeharto.

Mahfud MD saat dimintai keterangan soal skenario pilpres 2019. (Robi/ Alinea)

Kemungkinan Gerindra merapat dengan PKS, lalu poros ketiga diisi oleh Demokrat, PAN, dan PKB, menurut Mahfud hampir tidak mungkin. "Tapi kemungkinan itu masih kecil, saya pikir hanya dua," katanya.

Dengan begitu, skenario paling mungkin menurut Aris, dalam pilpres 2019 nanti Gerindra akan merapat bersama PKS dan PAN, dengan mengusung Gatot. Jokowi akan melawan Gatot dengan pertarungan yang berdarah-darah, sebab peta kekuatan keduanya telah berimbang.

Selanjutnya Mahfud menjelaskan, belum bisa memprediksi siapa yang akan jadi pendamping Gatot dalam pertarungan mendatang. Namun, sudah ada kelompok seperti 212 yang berupaya "mengawinkan" Gatot dengan Anies Baswedan dan Tuan Guru Bajang.

Namun dugaan itu bisa jadi meleset, sebab menurut Mahfud politik selalu berjalan dinamis. Perubahan sekecil apapun bisa terjadi bahkan hingga detik akhir pendaftaran capres-cawapres.

"Mungkin saat-saat terakhir bisa ada perubahan tiba-tiba. Namanya politik, kalau hitung-hitungannya sudah macet, 'Oh, begini kesimpulannya,' bisa berbalik," tutur Mahfud.

Jika Gatot berkeras maju, maka ia harus mengantongi dukungan dari sejumlah parpol hingga minimal sejumlah 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional. Sementara sejauh ini Gatot baru mengandalkan kekuatan dari kelompok relawan. Lain halnya, jika berhasil didukung Prabowo--andai Prabowo bisa legowo, maka pertarungan 2019 menjadi pertarungan yang sengit.

img
Robi Ardianto
Reporter
img
Purnama Ayu Rizky
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan