Pendiri SMRC Saiful Mujani, menunjukkan beberapa indikator kebebasan sipil yang mengalami pelemahan.
Hal itu terlihat dari data September 2017 sampai Maret 2022 (lima tahun), yang menunjukkan bahwa sampai pada April 2019, presentase warga yang mengaku puas atau cukup puas terhadap kondisi kebebasan berpendapat relatif tinggi, sekitar 79%. Namun setelah Pemilu 2019, mengalami penurunan yang cukup tajam, dari 79% pada April 2019 menjadi 56% pada Juni 2020, dan 63% pada Maret 2022.
Sebaliknya, yang menyatakan kurang atau tidak puas mengalami kenaikan, dari 18% pada April 2019 menjadi 33% pada Maret 2022.
Menurut Saiful, data temuan SMRC ini konsisten dengan data dari Freedom House tentang menurunnya kualitas demokrasi Indonesia.
“Jadi penilaian masyarakat biasa dari Aceh sampai Papua dengan penilaian panel ahli dari Freedom House kurang lebih sama,” ungkap dia dalam keterangannya yang dipantau secara online, Sabtu (21/5).
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta itu menjelaskan, dalam demokrasi, lepas dari level pengetahuan warga, pandangan mereka tentang kinerja pemerintah, politik, termasuk dengan demokrasi, biasa dipakai untuk melakukan evaluasi terhadap demokrasi di suatu negara.
"Dalam studi-studi opini publik di dunia, kinerja demokrasi diukur salah satunya dengan pertanyaan seberapa puas atau tidak puas anda dengan pelaksanaan demokrasi kita sejauh ini?" ucap dia.
Pada indikator kebebasan berkumpul atau berserikat, datanya kurang lebih sama. Di mana menurun sejak setelah Pemilu 2019, dari 86% pada survei April 2019 menjadi 59% pada September 2020 dan 68% pada Maret 2022. Sementara yang menyatakan sebaliknya, kurang atau tidak puas, mengalami lonjakan dari 9% pada April 2019 menjadi 37% setahun setelahnya dan sekarang (Maret 2022) 27%.
“Penurunan ini belum menunjukkan gejala normal atau membaik kembali,” kata Saiful.
Data yang dimiliki oleh SMRC tentang kebebasan bicara masalah politik sudah ada sejak 2004. Sebelum 2019, di atas 60% warga merasa jarang atau tidak pernah merasa takut bicara masalah politik. Namun setelah itu mengalami penurunan. Sebaliknya, yang merasa sekarang warga sering atau selalu takut bicara masalah politik mengalami kenaikan dari 16% pada 2014 menjadi 43% pada 2019. Ini konsisten dengan data sebelumnya.
Saiful menyebut beberapa contoh yang terkait dengan penurunan indikator demokrasi ini antara lain peristiwa pembunuhan anggota laskar FPI, sebuah partai yang hendak diambil alih oleh aparat negara, pembubaran FPI dan HTI.
“Saya tidak setuju dengan cita-cita HTI, juga perjuangan FPI, tetapi membubarkan dan melarang mereka, secara norma demokrasi itu tidak benar,” kata Saiful.
Tentang persepsi apakah sekarang masyarakat takut terhadap penangkapan semena-mena oleh aparat hukum, yang mengatakan selalu atau sering mengalami kenaikan, dari 24% pada Juli 2014 menjadi 38% pada Mei 2019 dan 43% pada survei Maret 2022.