Rakyat berpotensi tidak dapat memilih para calon legislatif (caleg), baik DPR RI maupun DPRD provinsi ataupun DPRD kabupaten/kota, lagi pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Pangkalnya, sistem pemilu proporsional terbuka disengketakan di Mahkamah Konstitusi (MK) dan sidang uji materi belum diputus hingga kini.
Kendati demikian, merujuk hasil riset Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) periode 2-5 Mei 2023, mayoritas responden yang diwawancarai ingin proporsional terbuka tetap berlaku. Artinya, rakyat memilih para calegnya secara langsung.
Direktur Riset SMRC, Deni Irvani, menerangkan, hanya sekitar 19% dari total responden yang mendorong proporsional tertutup dan 9% lainnya belum bersikap. Adapun 72% sisanya mau proporsional terbuka tetap berlaku.
Dia melanjutkan, sikap tersebut konsisten sepanjang riset SMRC pada Januari dan Februari 2023. Katanya, yang menginginkan sistem proporsional terbuka sekitar 71%-73%, sedangkan pro proporsional tertutup 16%-19%.
Menurutnya, kuatnya dukungan terhadap proporsional terbuka lantaran masyarakat merasa diwakili oleh caleg yang dipilih sebagai anggota dewan daripada parpol. Ada sebanyak 49% responden yang menjawab demikian. Sementara itu, yang merasa diwakili parpol asal anggota DPR 28% dan 24% lainnya tidak menjawab.
Berdasarkan preferensi partai politik (parpol), penerapan proporsional terbuka didukung mayoritas dengan rentang 62%-86%.
Bahkan, mayoritas massa pemilih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), salah satu parpol pro proporsional tertutup, mau dapat memilih caleg secara langsung. Tingkat dukungan menembus 73%.
"Langkah PDIP mengusulkan sistem pemilu proporsional tertutup tampaknya bertentangan dengan aspirasi mayoritas pemilihnya, yang lebih menginginkan sistem proporsional terbuka," ucap Deni dalam keterangannya, Jumat (12/5).
Survei SMRC ini melibatkan pemilih kritis dengan responden sebanyak orang, yang dipilih berdasarkan metode random digit dialing (RDD). Toleransi kesalahan (margin of error) sekitar 3,3% pada tingkat kepercayaan 95%.
Pemilih kritis, menurut SMRC, adalah kelompok yang memiliki akses lebih baik ke sumber-sumber informasi sosial politik karena mereka memiliki telepon atau ponsel. Mereka umumnya adalah pemilih kelas menengah bawah ke kelas atas, lebih berpendidikan, dan lazimnya tinggal di perkotaan.
Kelompok ini disebut cenderung bisa memengaruhi opini kelompok pemilih di bawahnya. Total pemilih kritis secara nasional diperkirakan 80%.