Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formmapi) Lucius Karus membeberkan alasan mengapa wacana menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) perlu ditolak. Menurut dia, GBHN potensial menjadi sarana kontrol MPR terhadap Presiden jika dihidupkan kembali.
"Tugas dan kewenangan Presiden tak bisa lain adalah menjalankan amanat GBHN sebagai mandataris MPR," ujar Lucius saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Selasa (8/10).
Dijelaskan Lucius, GBHN merupakan warisan pemerintahan Sukarno dan telah dihapus dengan amendemen konstitusi. Upaya menghidupkan kembali GBHN sama saja dengan upaya mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang punya kuasa mengontrol kebijakan lembaga eksekutif.
Menurut dia, mengembalikan Presiden sebagai mandataris MPR merupakan suatu pilihan yang tidak bijak. Alasannya, MPR merupakan representasi partai politik yang di mata publik telah gagal sebagai gerbong perjuangan rakyat.
"Menyerahkan kekuasaan besar kepada parpol melalui MPR untuk mengontrol Presiden hanya akan membuat situasi pemerintahan akan tidak stabil. Parpol dengan memanfaatkan GBHN dan MPR akan selalu mendikte Presiden dan Presiden tak punya opsi lain selain harus patuh pada keinginan parpol yang menggunakan baju MPR," tuturnya.
Wacana amendemen konstitusi untuk menghidupkan kembali GBHN masih menjadi perdebatan panas elite politik penghuni DPR. Partai NasDem misalnya, ingin agar amendemen dilakukan menyeluruh hingga membahas mekanisme pemilihan presiden dan masa jabatannya.
Menurut Lucius, posisi Presiden akah lemah dan bisa dengan mudah dimakzulkan jika tidak mampu menjalankan GBHN. Dia menyebut, skema mandataris itu tidak cocok dengan sistem presidensial yang berlaku di Indonesia.
"Otomatis sistem presidensial kita menjadi tak bermakna ketika kekuasaan Presiden dikontrol oleh MPR dan visi serta misinya harus diselesaikan dengan haluan negara yang termaktub dalam GBHN itu. Presiden akan tinggal sebagai boneka di tangan MPR," katanya.
Terpisah, Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) berjanji akan melibatkan masyarakat dalam pembahasan amendemen UUD 1945. Menurut Bamsoet, ia dan sembilan pimpinan MPR akan mempelajari draf dokumen amendemen peninggalan DPR periode lalu.
"Kita juga masih membuka ruang kepada publik, masyarakat, stakeholder agar apa pun yang kita putuskan di MPR nanti memang didukung sepenuhnya oleh seluruh rakyat," kata Bamsoet di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (8/10).
Agustus lalu, MPR periode 2015-2019 telah merampungkan rumusan haluan negara. Draf susunan MPR itu berjudul "Pokok-pokok Haluan Negara" dengan tebal 140 halaman yang terdiri dari tujuh bab.
Beleid tersebut antara lain berisi arah kebijakan pembangunan 2020-2045 dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya, hukum, pertahanan serta keamanan.
Bamsoet mengaku belum memiliki pandangan terkait apa saja yang akan diubah dalam amendemen. "Ya, kita lihat dinamika masyarakat, pasti ada sebagian setuju ada juga sebagian tidak," kata dia.