Partai Keadilan Sejahtera sejak dimpimpin oleh Sohibul Iman dinilai jadi gagap dalam berpolitik. Partai yang didirikan sejak 2002 itu kini hanya menjadi partai dakwah. Demikian pendapat yang disampaikan oleh pengamat politik dari Universitas Padjajaran Bandung, Muradi, menanggapi perpecahan para kader di tubuh PKS.
Muradi mengatakan, berdasarkan hasil penelitian beberapa lembaga survei pada Pemilu 2019 elektabilitas PKS belum aman untuk bisa lolos ke Senayan. Pasalnya, PKS kini tengah dirundung perpecahan lantaran terbagi dua kubu, yakni kubu Sohibul Iman vs kubu Anis Matta. Anis Matta yang kemudian mendirikan Gerakan Arah Baru Indonesia (Garbi), membuat kader PKS terpecah belah.
Menurutnya, PKS saat ini berbeda dengan PKS pada 2014. Sebab, saat ini PKS tengah kehilangan corak politiknya seiring dengan perginya Anies Matta dan tokoh PKS lainnya seperti Fahri Hamzah dan Hilmi Aminudin. Kepergian para petinggi PKS itu membuat kader PKS tak sesolid dulu.
“Saya melihat saat ini PKS di bawah Sohibul Iman lebih terlihat partai dakwahnya ketimbang politiknya. , Saat ini kader-kader politiknya sudah hampir tidak ada di PKS,” kata Muradi di Jakarta pada Senin, (8/4).
Muradi memandang, Sohibul Iman kurang lincah dalam bernegosiasi dan bemain isu perpolitikan. Ia tak seperti Anis Matta ketika pada 2013 mampu mengerek elektoral PKS meski saat itu mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq, ditangkap KPK.
“Pada saat itu, Anis Matta memperkuat basisnya terutama kader di akar rumput dengan isu yang dia bawa. Sedangkan Sohibul itu kurang lincah dalam memainkan isu dan bernegosiasi,” ujarnya.
Muradi mencontohkan, PKS yang mendukung Prabowo-Sandi dalam Pilpres 2019 dikabarkan bakal diberi jatah kursi wakil Gubernur DKI Jakarta sebagai kompensasi pasca Sandiaga Uno mundur. Namun demikian, sampai sekarang jatah tersebut tidak jelas, namun PKS tetap mendukungnya.
“Itu tanda dia tak bisa bernegosiasi,” kata Muradi.
Hal serupa juga disampaikan pengamat politik dari Universitas Al-Azhar, Ujang Komarudin. Ia menilai, adanya Garbi pimpinan Anis Matta telah membuat syahwat politik sebagian kader PKS berkurang, sehingga mereka tak solid meloloskan PKS ke Senayan. Meski demikian, Ujang melihat PKS masih memiliki peluang untuk lolos ke Senayan apabila militansi kadernya terjaga paling tidak sampai 17 April nanti.
"Kalau goyang bisa juga malah terpuruk," kata Ujang.
Menanggapi hal ini, Juru Bicara PKS, Arya Sandhiyudha menepisnya. Menurut Arya, justru dengan perginya Anis Matta dan kawan-kawan malah membuat PKS leluasa dalam menggarap pemilih. Sebab kelompok Anies Matta, cenderung memilih kelompok yang homogen untuk menjaring pemilih.
“Ini berkah tersendiri buat kami dengan perginya mereka. Kita bisa memperluas segmen pemilih kita,” kata Arya.
Tak hanya itu, Arya menambahkan, kepergian Anis Matta dan kawan-kawannya telah membuka peluang bagi para caleg baru PKS dalam menentukan pangsa pasar politiknya, sehingga bisa masuk ke segala ceruk pemilih.
"Kaya saya ini sebenarnya bukan kader, saya basic-nya itu akademisi, saya itu bisa masuk ke segala lini, dan inginnya memang ke semua lini yang heterogen," kata Arya.
Arya mengatakan, saat ini para juru bicara PKS banyak diisi oleh para kaum akademisi dan golongan muda, yang memiliki potensi memperluas segemen pemilih PKS. Caleg PKS dari dapil Bali ini pun optimistis PKS dapat lolos ke Senayan pada Pemilu 2019 dengan raihan suara sebanyak 12%.
"Jadi, ini yang tak tak pernah dilihat orang, sebenarnya dengan perginya mereka (Anis Matta, Fahri Hamzah dan Hilmi Aminuddin) itu membuka peluang baru bagi PKS, contoh saya di Bali, yang dulu PKS kurang diterima di sana sekarang penerimaan sosialnya lumayan bagus," kata Arya.