Perang tanda pagar #2019GantiPresiden dan #DiaSibukKerja di media sosial merembet menjadi aksi persekusi di sejumlah wilayah.
Pemilihan umum dalam negara demokratis menuntut ruang bagi setiap warga negara memilih berdasarkan nurani, menyampaikan kritik tanpa takut. Pascadeklarasi pasangan calon presiden 2019, gerakan politik menunjukkan eskalasi yang meningkat.
Gerakan politik yang dilakukan kedua belah kelompok pendukung muncul dalam beragam bentuk dan memanfaatkan beragam medium, termasuk media sosial.
Selain itu Koalisi Antipersekusi (KAP), gabungan lebih dari 25 organisasi masyarakat sipil yang memberikan perhatian pada isu kebebasan berekspresi, melihat upaya untuk membatasi kebebasan berpendapat, termasuk di media sosial, yang dilakukan kedua belah kelompok yang berbeda kepentingan politik tersebut.
KAP mencatat lebih dari 125 upaya persekusi terjadi sejak menjelang Pilkada Jakarta 2017, selama Pilkada serentak 2018 dan menjelang Pilpres 2019.
Persekusi adalah pelanggaran terhadap satu atau lebih hak dasar manusia yang ditujukan kepada ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dari grup sosial atau pandangan/opini politik tertentu dan membuat hidup mereka menjadi tidak tertahankan.
Banyak pihak keliru mengartikan persekusi sebagai tindakan menghalang-halangi kebebasan berkumpul dan berekspresi. Misalnya yang dilakukan massa pendukung #2019GantiPresiden kepada pengguna kaos #DiaSibukKerja di Car Free Day, Jakarta pada 29 April 2018, maupun sebaliknya pemakai kaos #2019GantiPresiden dipaksa melepas kaos oleh pihak yang kontra saat deklarasi di Surabaya pada 28 Agustus 2018.
Terdapat pula upaya-upaya pengancaman dan penghadangan di beberapa daerah terkait dengan deklarasi #2019GantiPresiden yang dilakukan organisasi massa tertentu.
Selain itu, diketahui bersama penegak hukum dalam hal ini Kepala Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam) Polri Komjen Lutfi Lubihanto menerbitkan Surat Telegram bernomor STR/1852/VIII/2018 tanggal 30 Agustus 2018 dan Presiden Joko Widodo menyetujui tindakan membatasi ekspresi tersebut dengan alasan untuk menjaga ketertiban sosial.
Terkait dengan hal tersebut, KAP berpendapat bahwa kesimpangsiuran pemaknaan persekusi yang terjadi perlu diluruskan agar tidak berlarut-larut sehingga persekusi yang masih terjadi bisa ditangani tuntas.
Sekalipun tindakan persekusi sudah merosot jauh dibandingkan tahun lalu, namun persekusi masih terjadi di sejumlah tempat. Salah satu yang terakhir tercatat terjadi pada korban MA di daerah Pademangan Jakarta Barat pada tanggal 21-22 Agustus 2018 yang mengakibatkan dia kehilangan pekerjaan.
Selain itu KAP berpendapat bahwa pengancaman, penghadangan, dan keluarnya surat telegram Kepolisian RI dengan dalih upaya menjaga ketertiban sosial adalah bukan upaya persekusi melainkan upaya untuk menghalang-halangi kebebasan berkumpul dan berpendapat.
“Pemerintah Indonesia dituntut untuk selalu menjamin dan terus memberikan perlindungan setiap warga negara untuk bisa berekspresi tanpa ancaman, atau intimidasi serta sesuai dengan jaminan perlindungan yang ada di dalam isi konstitusi negara ini,” ujar Suraji, aktivis Gusdurian yang merupakan bagian dari KAP, melalui keterangan resmi yang diterima Alinea.id, Kamis (6/9).
Di dalam konstitusi Indonesia, ada jaminan kebebasan berekspresi dan berkumpul bagi setiap orang sesuai UUD 1945 Amandemen Pasal 28E tentang menjamin kebebasan berkumpul dan pada 28E ayat 3 tentang menjamin kebebasan berekspresi.
“Batasan terhadap kedua hak ini antara lain adalah siar kebencian, selain tentunya kekerasan. Selama hal tersebut tidak ada maka setiap orang atau kelompok berhak berekspresi dan berkumpul,” kata Ellen K, Kepala Desk Persekusi di SAFEnet.
Dalam kaitan dengan makin memanasnya suhu politik dan kekhawatiran munculnya gesekan sosial, KAP menyerukan kepada elit-elit partai politik, para pendukung, simpatisan untuk segera berhenti menggunakan politik identitas untuk memicu konflik horizontal, mengancam kedaulatan dan kebhinekaan negara Indonesia, dan berupaya menggantikan sistem pemerintahan yang demokratis.
Astari Yanuarti, mewakili Redaxi, meminta semua pihak untuk berhenti memroduksi dan menyebarluaskan ujaran kebencian baik di media arus utama (mainstream), online, komunitas, rintisan, dan media sosial yaitu ekspresi kebencian yang mendorong orang untuk melakukan diskriminasi, permusuhan dan tindakan kekerasan, berdasar alasan perbedaan suku, agama, ras, maupun golongan.
Sebagai informasi, KAP adalah wadah berbagai organisasi yang memberikan perhatian pada isu persekusi, terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen, Jaringan GusDurian, Wahid Foundation, Human Rights Working Group - HRWG Indonesia, Imparsial, Jaringan Narasi Damai Nusantara, KataData, KA KBUI, LBH Ansor, LBH Jakarta, LBH Pers, Mafindo, Paguyuban Bhinneka Nusantara, PSHK, Yayasan Pulih, PurpleCode, SAFEnet, Redaxi, Kabar Sejuk, Setara Institute, YLBHI, YSK, IRTI, Yoga Gembira, P3M, dan sejumlah individu.