Dari suami-istri hingga orang tua-anak: Bagaimana dinasti politik subur di DPR
Aroma politik dinasti ternyata tak hanya kuat dalam kontestasi politik memilih pemimpin lembaga eksekutif saja. Hasil Pileg 2024 menunjukkan dinasti politik juga tumbuh subur di parlemen atau lembaga legislatif, baik di pusat maupun di daerah.
Dari total 580 anggota DPR terpilih, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mencatat sebanyak 79 orang terafiliasi dinasti politik. Para caleg punya relasi kekerabatan dengan pemangku kekuasaan, mulai di tingkat kepala daerah hingga pejabat di tingkat pusat.
"Ada yang suami, istri, anak, dan saudara-saudara dengan politisi, penguasa daerah, elite partai. Yang paling banyak adalah anak pejabat," kata peneliti Formappi Lucius Karus saat memaparkan hasil kajian di Kantor Formappi, Matraman, Jakarta Pusat, Selasa (24/9)
Berdasarkan riset Formappi, caleg terafiliasi politik dinasti terbanyak berasal dari dapil di Provinsi Jawa Barat, yakni 9 caleg, diekor Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara yang sama-sama meloloskan 7 caleg. Dapil Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung punya 6 caleg yang terafiliasi elit dan pejabat di tingkat lokal.
"Seperti di Jawa Tengah, ada anak Ketua DPR Puan Maharani yang terpilih sebagai anggota legislatif," kata Lucius.
Pada pileg kali ini, Puan kembali lolos ke Senayan dari dapil Jateng V. Putri Puan, Diah Pikatan Orissa Putri Hapsari atau Pinka Hapsari, juga lolos ke DPR dari dapil Jateng IV. Selain Puan dan putrinya, ada pula Said Abdullah dan Kaisar Kiasa Kasih Said Putra yang sama-sama lolos ke DPR. Kaisar ialah putra Said.
Adapun caleg dengan relasi suami-istri semisal Mulan Jameela (Jawa Barat XI) dan Ahmad Dhani (Jawa Timur I) serta Julie S Laiskodat (Nusa Tenggara Timur/NTT I) dan Viktor B Laiskodat (NTT II). Mulan dan Dhani berbaju Gerindra, sedangkan Julie dan Viktor ialah kader NasDem.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Usep Hasan Sadikin menyebut ada hubungan simbiosis mutualisme antara parpol dan kader yang memungkinkan dinasti politik juga tumbuh subur di parlemen. Parpol lazimnya membiarkan keluarga politik yang mapan secara finansial membangun dinasti politik mereka.
"Partai membutuhkan orang- orang yang mungkin bisa meraih kursi dengan modal finansial yang dimiliki. Keluarga yang melakukan politik dinasti juga membutuhkan partai politik dalam pencalonannya," ujar Usep kepada Alinea.id, Rabu (25/9).
Usep berpendapat karakter politik di Indonesia mirip dengan Filipina. Di negara itu, infrastruktur politik dibangun untuk memperkuat lini bisnis. Walhasil, praktik-prakti politik dinasti yang muncul pun sarat dengan korupsi politik.
"Jadi, itu seperti bagian dari korupsi politik itu sendiri, politik dinasti di dalam pemerintahan. Dia menggunakan instrumen kewenangan, anggaran, dan fasilitas negara untuk menambah kekuasaan... Ini akhirnya akan menimbulkan beban sosial," ucap Usep.
Lebih jauh, Usep menyebut caleg-caleg yang memiliki relasi politik dinasti patut dicurigai merupakan bagian dari skenario korupsi politik di partai politik atau di daerah pemilihan. Caleg-caleg dari dinasti politik didesain untuk berkantor di DPR supaya perilaku korup anggota DPR nantinya mendapat perlindungan.
"Kalau tidak ada perbaikan yang sistemik, yang signifikan, maka demokrasi bisa tambah hancur bahkan terbunuh oleh politik yang berseberangan dengan demokrasi. Gambarnya, kasus- kasus korupsi kan banyak yang kemudian itu wujudnya adalah politik dinasti, baik itu di parpol, parlemen, maupun di eksekutif," ucap Usep.
Analis politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Kholidul Adib merinci sejumlah faktor yang menyebabkan dinasti politik bisa tumbuh di parlemen. Pertama, tak ada aturan yang melarang keluarga atau kerabat pejabat dan anggota DPR untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Kedua, mahalnya biaya politik yang harus dikeluarkan untuk lolos ke DPR. Itu menyebabkan tak banyak kandidat yang berani mencalonkan diri sebagai anggota DPR. Apalagi, mereka tak punya jejaring sosial yang kuat di daerah.
"Caleg yang berasal dari keluarga politisi umumnya mempunyai pengaruh kuat dibanding masyarakat setempat. Selain itu, caleg dari kalangan keluarga pengusaha yang kaya raya terlihat lebih diunggulkan. Dalam sistem pemilu yang proposal terbuka ini, kebutuhan jaringan keluarga dan ketokohan yang di-support logistik yang memadai menjadi penting," ucap Kholidul kepada Alinea.id, Selasa (25/9).
Jaringan keluarga politik di daerah yang sudah berakar kuat di dapil memudahkan caleg dari politik dinasti menggaet pemilih. Mereka relatif tak punya kompetitor karena kaderisasi yang dilakukan parpol juga tersendat. "Dari sisi pendanaan pun, partai politik juga bermasalah," imbuh Kholidul.
Politik dinasti, kata Kholidul, mengindikasikan demokrasi di Indonesia belum matang. Secara genetik, Indonesia seolah mewarisi tradisi masa lalu sebagai negara dengan sistem kerajaan. Parahnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) selaku kepala negara seolah menormalisasi politik dinasti.
"Diperlihatkan oleh Presiden Jokowi sendiri ketika mendorong anaknya (Gibran Rakabuming Raka) sebagai wapres. Secara substansial, kita masih mempertahankan politik dinasti yang umumnya lazim diterapkan dalam sistem negara monarki. Akibatnya, pemilu pun hanya sebatas sebagai demokrasi prosedural, sementara isinya sudah mengarah pada nalar monarki," jelas Kholidul.
Bagi masyarakat umum, menurut Kholidul, dinasti politik di parlemen jelas potensial merugikan. Bermodal kekuatan kekerabatan, anggota DPR terpilih bisa saja hanya mengejar kepentingan keluarga politik mereka dan mengesampingkan aspirasi publik dalam menyusun regulasi dan menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat.
"Jika parlemen banyak diisi anggota yang berbasis dinasti politik keluarganya yang berkuasa dan bukan karena berbasis kematangannya sebagai wakil rakyat dalam menyerap aspirasi masyarakat, maka negeri ini bisa mengalami kemunduran," ujar Kholidul.