Sukatno Husni, anggota termuda di DPR yang dihukum mati
Di antara 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024, yang dilantik pada 1 Oktober 2019, nama Hillari Brigitta Lasut tiba-tiba menyeruak. Ia menjadi anggota termuda di Parlemen.
Brigitta terpilih sebagai anggota dewan untuk daerah pemilihan (dapil) Sulawesi Utara, diusung Partai Nasional Demokrat (NasDem).
Perempuan kelahiran Manado, 23 tahun ini pun tampil bersama anggota DPR tertua Abdul Wahab Dalimunthe sebagai pemimpin DPR sementara saat pelantikan anggota DPR 2019-2024 di ruang rapat paripurna, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (1/10).
Jauh sebelum Brigitta melangkah ke kursi DPR, setelah Pemilu 1955, DPR punya anggota termuda. Namanya Sukatno Husni. Ia diusung dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
Anak buruh ikut perang
Saat 260 anggota DPR hasil pemilu pertama dilantik, usia Sukatno masih berusia 28 tahun. Sementara anggota tertua adalah Sudjono, yang berusia 81 tahun. Sukatno tak datang dari keluarga kaya raya seperti Brigitta—yang dilaporkan punya harta kekayaan hingga miliaran rupiah.
Menurut Bambang Sindhu dalam artikelnya berjudul “Sukatno” di majalah Minggu Pagi edisi 17 Juni 1956, ayahnya, Wir Margo cuma seorang tukang besi di pabrik gula Lestari di Kertosono, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Ayahnya bahkan buta huruf, sebelum akhirnya diajari membaca dan menulis oleh Sukatno. Sedangkan ibu Sukatno merupakan aktivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) di Patianrowo, Jawa Timur.
Saat masih kecil, Sukatno pernah menjadi tukang mengambil bola tenis orang-orang Belanda di pabrik gula tempat ayahnya bekerja. Ia mendapat uang 2 setengah sen dari pekerjaannya itu. Uang itu, sebut Bambang, digunakan untuk membantu membayar sekolah. Sebab, gaji ayahnya tak mampu membiayai uang sekolah.
“Saya kira, di antara semua rekan Sukatno anggota Parlemen, hanya dia sendirilah yang pernah jadi kacung tenis ketika kecilnya,” tulis Bambang.
Pendidikan Sukatno pun terbilang rendah. Menurut Bambang, ia keluaran Sekolah Rakyat (setingkat SD), entah lulus atau tidak.
Parluangan dalam Hasil Rakjat Memilih Tokoh-tokoh Parlemen (Hasil Pemilihan Umum Pertama 1955) di Republik Indonesia (1956) menulis, pemuda kelahiran Malang, 31 Desember 1929 itu pernah pula menjadi tukang listrik di pabrik gula tempat ayahnya bekerja.
Pada masa revolusi fisik, Sukatno ikut angkat senjata. Parluangan menulis, antara 1946-1949, Sukatno menjadi anggota laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dan bertempur di daerah-daerah Sumatera Selatan. Selain di Sumatera, ia ikut gerilya di Jawa Timur dan Jawa Barat.
Bambang menulis, di Sumatera, Sukatno terkenal sebagai seorang pemimpin pasukan gerilya yang terdiri dari pemuda buruh. Menurut Parluangan, pasca-Konferensi Meja Bundar (KMB), Sukatno diberikan mandat memperluas pengaruh Pesindo di Jawa Tengah, dan menjalin hubungan dengan gerakan pemuda.
Parlaungan menyebut, karier Sukatno pun perlahan moncer. Ia terpilih sebagai Sekretaris II DPP Pemuda Rakjat pada 1950, kemudian menjadi Sekretaris Umum I DPP Pemuda Rakjat pada 1952. Ia tergabung sebagai anggota PKI sejak 1951, dan menjadi anggota Komite Eksekutif Gabungan Pemuda Demokratis se-Dunia (World Federation of Democratic Youth/WFDY) pada 1953.
“Dalam kedudukan ini, ia pernah mengunjungi negeri-negeri Eropa Barat, Timur Tengah, India, Birma, dan Jepang untuk memperluas dan mempererat kerja sama pemuda internasional guna memperkokoh perdamaian dunia,” tulis Parlaungan.
Menurut Bambang, Sukatno diusung PKI untuk mewakili golongan pemuda di DPR. Berkat pengalamannya berperang, ia duduk di Seksi Pertahanan.
Penggemar buku-buku karya Alexander Dumas, Robert Pierre, filsafat, ekonomi, dan tata negara ini ketika menjadi anggota DPR masih tinggal di Kantor DPP Pemuda Rakjat, Gang Spoor IV, Jakarta. Menurut Bambang, Sukatno pun melepas lelah di atas meja kantornya.
Aksi di Parlemen
Tak jarang Sukatno lantang berbicara di forum-forum internasional. Surat kabar berbahasa Belanda de Preangerbode edisi 21 Juli 1952 menyebutkan, Sukatno didelegasikan Pemuda Rakjat berangkat ke Moskow, Rusia.
Di dalam forum yang dihadiri perwakilan organisasi pemuda dari negara-negara Asia, Australia, Belanda, dan sebagainya, Sukatno berbicara perkara hak-hak demokratis anak muda. Sukatno pun mengkritik pemerintah Indonesia, terkait pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Kantor informasi pemerintah sering ‘omong kosong’. Mereka mengajak penduduk untuk bekerja keras demi kepentingan pembangunan. Siapa yang butuh kerja keras? Orang-orang sudah bekerja cukup keras. Panggilan untuk kerja keras tidak masuk akal jika ada PHK massal di mana-mana,” ujar Sukatno, seperti dikutip dari de Preangerbode, 21 Juli 1952.
Bambang Sindhu menulis, dalam sidang pleno perdana, Sukatno belum terdengar suaranya. Ia tak ikut pidato dalam pandangan umum terhadap pemerintah.
“Tapi setelah itu hingga kini, terus menerus segala pikirannya dicurahkan pada masalah-masalah bagaimana harus menjaga negara sebaik-baiknya dan bagaimana harus mengatur penjagaan/pertahanan negara sebaik-baiknya,” tulis Bambang dalam Minggu Pagi, 17 Juni 1956.
Ketika pembahasan rancangan undang-undang (RUU) Keadaan Darurat, Sukatno menyampaikan pandangannya. Java-bode edisi 27 Juni 1957 melaporkan, ia mengeluhkan masih ada unsur kolonial yang ditemukan di dalam RUU itu. Ia mempertanyakan pemerintah yang tak menyadari hal itu.
Di dalam pembahasan pertimbangan anggaran negara pada 1957, Sukatno bicara lantang soal pertahanan negara. Java-bode edisi 15 November 1957 melaporkan, Sukatno ketika itu bicara tentang bahaya penyelundupan, tindakan subversif, perjuangan untuk Irian Barat, dan bahaya Southeast Asia Treaty Organisation (SEATO)—organisasi internasional pertahanan kolektif yang ditandatangani pada 8 September 1954 di Filipina untuk memblokir berkembangnya komunisme di Asia Tenggara.
Ia pun menekankan pentingnya angkatan bersenjata yang terkoordinasi dan efisien. Sukatno juga mengeluhkan anggaran pertahanan yang hanya digunakan untuk pemeliharaan, bukan membangun angkatan bersenjata dan pembelian peralatan baru. Ia mengingatkan pentingnya pertahanan nasional, sehingga apa yang sudah dilakukan Kementerian Pertahanan belum cukup.
Di dalam Indonesian Communism under Sukarno: Ideology and Politics, 1959-1965 (1974) Rex Mortimer menulis, sebagai pemimpin Pemuda Rakjat, Sukatno mengerahkan seperempat juta anggotanya untuk mendaftar ikut pelatihan dalam kampanye militer di Irian Barat pada 1962. Namun, sebagian besar dari mereka tak dilantik.
Meski sudah menjadi anggota Parlemen, Bambang Sindhu menulis, Sukatno belum bisa memberikan apa-apa kepada orang tuanya. Bahkan, ketika pulang kampung, malah Sukatno yang minta uang kepada ayahnya. Namun, ada alasan mengapa ia begitu.
“Jika nanti saya sudah berhasil menghimpun kaum revolusioner serta mereka sudah bisa menguasai perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik penting, hidup bapak pasti terjamin, sekalipun tidak usah langsung dari saya,” kata Sukatno, seperti dicuplik dari artikel yang ditulis Bambang Sindhu di Minggu Pagi, 17 Juni 1956.
Mati di ujung bedil
Peta politik Indonesia mendadak riuh. Sebuah percobaan kudeta terjadi pada 30 September 1965. PKI dituding sebagai dalang kudeta gagal ini. Yang memilukan, tragedi berdarah terhadap orang-orang yang diduga menjadi bagian dari PKI dibunuh secara membabi buta di berbagai daerah.
Sukatno pun harus menerima nasib pahit. Surat kabar de Waarheid edisi 1 Agustus 1968 melaporkan, di daerah Salatiga, Jawa Tengah, Sukatno dan ratusan pengikutnya dari Pemuda Rakjat bertempur nyaris setiap hari dengan 50 tentara Divisi Siliwangi.
De Waarheid edisi 28 Oktober 1971 mengabarkan, Sukatno menghimpun kekuatan dengan merekrut petani miskin dan anak muda. Namun, akhirnya ia tertangkap di Malang, Jawa Timur. Sebuah kota tempat kelahirannya.
Pada 30 September 1986, de Waarheid menurunkan sebuah laporan yang mengejutkan. Sebelum ditangkap pada 21 Juli 1968, bersama sejumlah tokoh PKI lainnya, Sukatno sempat mengatasi gelombang pembunuhan dan penangkapan pada 1965-1966.
Sukatno cukup terkenal di kalangan pemuda internasional yang berhaluan kiri, terutama di Belanda. Salah satu kedekatannya dengan pemuda di Belanda adalah ketika ia berkunjung ke kediaman Piet van Staveren di Den Haag pada 1954. Piet adalah seorang komunis Belanda yang berpihak ke Republik saat revolusi fisik.
De Waarheid edisi 22 Februari 1954 melaporkan, Sukatno memberikan Piet kain batik sebagai simbol kekuatan anak muda Indonesia.
“Ruangan ini (rumah Piet) adalah simbol persahabatan antara pemuda Indonesia dan Belanda. Tindakan Piet van Staveren selalu menjelaskan bahwa kita adalah teman dan kita melawan musuh yang sama,” kata Sukatno, seperti dikutip dari de Waarheid, 22 Februari 1954.
Oleh karena itu, penangkapan Sukatno, menurut de Waarheid edisi 28 Oktober 1971, mendapat reaksi beberapa organisasi pemuda di Belanda. Mereka berunjuk rasa dan mencorat-coret tembok: Sukatno vrij! (bebaskan Sukatno).
De Waarheid edisi 5 Juli 1971 menulis, sebanyak 30 demonstran dari Algemeen Nederlands Jeugd Verbond (ANJV) yang mengusung slogan “Sukatno vrij”, menunggu Menteri Tenaga Kerja Indonesia yang dijadwalkan berkunjung ke sebuah rumah sakit di Santpoort, Belanda.
Aksi unjuk rasa memancing pembicaraan publik tentang Sukatno di Belanda. De Volkskarnt edisi 10 Agustus 1971 melaporkan, beberapa organisasi pemuda di Belanda yang berkumpul di Amsterdam mendesak Menteri Urusan Luar Negeri Belanda Norbert Schmelzer untuk mengatasi masalah tahanan politik di Indonesia.
“Dalam sebuah pernyataan dari enam organisasi pemuda Belanda dikatakan bahwa Sukatno adalah simbol dari seluruh pemuda progresif dan antikolonial. Perwakilan organisasi pemuda telah meminta Menteri Schmelzer untuk mengizinkan pertemuan lain dengannya, jika persidangan terhadap Sukatno secara tak terduga berakhir dengan hukuman mati,” tulis de Volkskarnt.
Entah di bawah tekanan atau tidak, yang pasti Sinar Harapan edisi 5 Januari 1971 melaporkan, di Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta, Sukatno mengaku menerima uang antara Rp15 juta hingga Rp20 juta dari Sudisman untuk membiayai latihan militer di Lubang Buaya, dalam Gerakan 30 September.
“Ketika dikatakan bahwa latihan itu dimaksudkan untuk konfrontasi dengan Malaysia, hadirin tertawa,” tulis Sinar Harapan.
Lebih lanjut, di dalam sidang, Sukatno mengatakan Pemuda Rakjat bukan underbow dari PKI. Namun, dalam tindakan memang mengikuti garis politik PKI. Akan tetapi, menurut Sinar Harapan, pengakuan Sukatno mengherankan karena ia sendiri sebagai Sekretaris Jenderal Pemuda Rakjat juga adalah anggota PKI.
“Mengenai kegiatannya di Blitar Selatan, Sukatno mengakui hendak membangun kembali PKI yang hancur sejak G30S,” tulis Sinar Harapan.
Pada 11 Maret 1971, Sukatno divonis hukuman mati. Riwayat anggota termuda DPR pertama ini pun berakhir di ujung bedil para algojo.