close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Generasi milenial kian rajin menghadiri aksi Kamisan di berbagai daerah. Ilustrasi Alinea.id/Dwi Setiawan
icon caption
Generasi milenial kian rajin menghadiri aksi Kamisan di berbagai daerah. Ilustrasi Alinea.id/Dwi Setiawan
Politik
Sabtu, 01 Februari 2020 16:16

Payung-payung hitam kaum milenial di depan Istana 

Generasi milenial kini ikut memperjuangkan nasib Sumarsih dan keluarga korban pelanggaran HAM berat di masa lalu.
swipe

Duta Tanderla, 18 tahun, menghampiri tumpukan payung hitam yang digelar di depan Istana Negara, Jakarta, Kamis (30/1) sore itu. Sebuah payung ia raih dari tumpukan. "Tuntaskan Tragedi Trisakti 12 Mei 1998" tertera pada kanopi payung itu. 

Duta kemudian beranjak ke barisan tua-muda berbalut pakaian serba hitam yang telah berjejer rapi di trotoar di seberang Istana. Payung-payung terkembang. Syahdan, protes dalam diam yang menjadi ciri aksi Kamisan pun dimulai. 

"Awalnya saya tahu aksi Kamisan dari media sosial. Akhirnya, pada September 2019 kemarin, saya coba untuk bantu menyuarakan hak asasi manusia di aksi Kamisan ini," ujar Duta menuturkan kehadirannya di aksi Kamisan ke-620 itu kepada Alinea.id.

Duta satu dari puluhan remaja milenial yang hadir menyemarakkan aksi Kamisan sore itu. Murid Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 35 Jakarta ini mengaku mulai mengenal isu-isu HAM dari buku dan acara diskusi sejak dua tahun lalu. 

Kini kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu semisal Tragedi 1965, Talangsari, Peristiwa Tanjung Priok, serta Semanggi I dan II, mulai akrab di telinga Duta. Dari diskusi dan aksi, Duta pun mulai mengenal kalangan aktivis HAM, keluarga korban, dan para penyintas. 

"Saya merasa keadilan harus terus ditegakkan. Saat ini, elite-elite hanya bisa janji-janji saja. Kasihan saya sama orangtua yang anaknya jadi korban," ujar pemuda asal Tanjung Duren, Jakarta Barat itu. 

Meski tergolong peserta baru, Duta mengaku tersentuh menyaksikan perjuangan keluarga korban mencari keadilan saban Kamis di depan Istana Negara. Karena itu, ia berniat mengambil jurusan hukum saat kuliah kelak. Padahal, Duta belajar soal otomotif di sekolahnya. 

"Saya perlu memahami seluk-beluk hukum. Biar saya anak STM, isu HAM ternyata begitu dekat dengan saya. Saya (merasa marah) saat tahu ternyata masalah HAM di negeri ini banyak yang belum terselesaikan," tutur Duta.

Peserta aksi Kamisan Duta Tanderla (kanan) berfoto di depan Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis (30/1). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Ditemui di sela-sela Kamisan ke-620, mahasiswi Universitas Katolik (Unika) Atma Jaya Vebrina Monicha menuturkan punya pengalaman yang tak jauh berbeda dengan Duta. Dara berusia 21 tahun itu mengaku sudah terlibat aksi Kamisan sejak 2016. 

Pada mulanya, Monicha ikut hanya karena wajib. "Saat itu, setiap mahasiswa baru di Atmajaya diwajibkan ikut Kamisan sebagai bentuk kepedulian dengan keluarga korban," ujar Monicha. 

Atma Jaya memang punya hubungan historis dengan aksi Kamisan. Pasalnya, aksi itu salah satunya digagas oleh Maria Catarina Sumarsih, ibunda Bernardus Realino Norma Irawan atau yang akrab disapa Wawan. 

Wawan merupakan salah satu korban tewas diterjang peluru aparat saat aksi unjuk rasa besar menolak rezim Soeharto membekap Jakarta pada 13 November 1998. Ketika itu, Wawan tercatat sebagai salah satu mahasiswa Fakultas Ekonomi di Unika Atma Jaya. 

Peristiwa tewasnya Wawan dan sejumlah mahasiswa pada aksi unjuk rasa berdarah itu kini dikenal dengan sebutan Tragedi Semanggi I. Meskipun rezim Soeharto runtuh dan era Reformasi bergulir, pembunuh Wawan tidak pernah diadili. 

Sebagai bentuk protes, Sumarsih dan para penyintas kemudian bersepakat menggelar aksi Kamisan pertama pada 18 Januari 2007. Dua pekan lalu, aksi yang digagas Sumarsih dan rekan-rekannya itu genap berusia 13 tahun. 

"Aksi Kamisan itu adalah ruang buat kita untuk menolak lupa. Aksi Kamisan ibarat ingatan yang harus terus dirawat bahwa ada masalah HAM yang belum diselesaikan," ujar Monicha.

Setelah tiga tahun rutin mengikuti aksi Kamisan, Monicha kian berempati terhadap nasib Sumarsih dan rekan-rekannya. Ia bahkan merasa aksi Kamisan sudah menjadi bagian dari hidupnya. "Oleh sebab itu, saya ingin menjaga semangat Ibu Sumarsih, meski besok dia telah tiada," imbuh dia. 

Sejumlah aktivis kemanusiaan menggelar Aksi Kamisan di depan Kantor DPRD Sulawesi Tengah di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (7/11/2019). Foto Antara/Basri Marzuki

Kamisan terus meluas 

Relawan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Nita Noviyanti Anugerah mengatakan, jumlah kaum milenial yang ikut aksi Kamisan terus meningkat setiap tahunnya. Menurut catatan KontraS, aksi serupa saat ini rutin digelar di 36 titik di 22 kota. 

"Di Pulau Jawa yang paling banyak. Di Jawa Barat saja, ada aksi Kamisan Bandung, aksi Kamisan Bekasi, dan aksi Kamisan Parung Panjang. Semuanya diramaikan kehadiran anak muda," ujarnya kepada Alinea.id. 

Menurut Nita, terjadi lonjakan peserta aksi dalam beberapa bulan terakhir. Di Jakarta misalnya, aksi Kamisan rutin dihadiri 70-80 remaja berusia 18-21 tahun. 

Ia menduga peningkatan itu terkait dengan aksi unjuk rasa bertema Reformasi Dikorupsi yang digelar mahasiswa dan pelajar pada September 2019. "Sekarang justru rentang umur yang terlibat adalah mereka yang anak SMK dan SMA," ujar dia. 

Aksi Kamisan, lanjut Nita, kian populer di kalangan milenial karena dukungan dari kelompok musikus, semisal Efek Rumah Kaca (ERK), Tashoora, dan Melanie Subono. Secara berkala, mereka manggung di aksi Kamisan dan turut menyerukan protes. "Perannya sangat besar menarik milenial," kata dia. 

Ditemui di kediamannya di Meruya Selatan, Jakarta Barat, Rabu (29/1) lalu, Sumarsih mengatakan, kehadiran kaum milenial di aksi Kamisan merupakan kabar gembira bagi dia dan rekan-rekan penyintas. Apalagi, jangkauan aksi meluas hingga ke berbagai daerah. 

"Banyak dari mereka, yang setelah datang ke aksi Kamisan, itu membuat aksi Kamisan sendiri di daerah masing-masing. Bagi saya, ini kabar gembira. Ini menunjukkan bahwa aksi Kamisan bukan hanya sekedar ruang protes, tapi juga ruang belajar bagi penegakan HAM," ujar dia.

Sumarsih kini genap berusia 68 tahun. Rambut ikon aksi Kamisan itu hampir sepenuhnya memutih. Di usianya yang kian senja, Sumarsih khawatir pembunuh Wawan tak pernah bakal terungkap pada sisa masa hidupnya.

Menurut Sumarsih, pemerintah terkesan terus mengulur-ulur waktu. "Mungkin menunggu kami, keluarga korban, itu mati. Meski nanti saya sudah tidak ada atau mungkin kesehatan saya sudah tidak menunjang untuk aksi Kamisan, saya percaya semangat ini akan dilanjutkan oleh anak-anak muda," ujar Sumarsih.

Melihat tak ada gelagat serius dari pemerintah menyelesaikan kasus Wawan, Sumarsih tak mau lagi berharap banyak. Asa dia kini hanya untuk generasi baru peserta Kamisan.

Ia ingin Wawan dan korban-korban yang dilanggar hak asasinya tetap diingat oleh mereka. "Bahwa di negeri ini ada masalah HAM yang tak pernah terselesaikan," imbuh dia.

Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan mengikuti aksi Kamisan ke-615 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (19/12/2019). /Foto Antara

Sekolah calon aktivis HAM

Kehadiran kaum milenial di aksi Kamisan turut diapresiasi Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid. Menurut Usman, kaum milenial peserta Kamisan membuktikan bahwa generasi mereka kritis dan peduli terhadap hak asasi manusia. 

"Saat ini, pemerintah itu mencoba memberangus kebebasan berekspresi, baik di kampus maupun masyarakat. Tapi, Kamisan telah menjadi tanda bahwa kebebasan yang dipukul mundur itu belum benar-benar hilang," ujar dia. 

Usman menilai, generasi baru aktivis HAM bakal lahir dari kalangan pelajar dan mahasiswa peserta aksi Kamisan. Kelahiran mereka, menurut Usman, juga tak lepas dari peran kaum musikus membangun wadah aktivisme politik. 

"Salah satunya potretnya, mereka begitu dekat dengan kalangan musisi yang kritis terhadap masalah sosial masyarakat, seperti, ERK, Fajar Merah, Tashoora, Melanie Subono, Iksan Skuter. Kehadiran mereka itu seperti ekosistem baru bagi pembentukan agen-agen perubahan ini," jelas dia. 

Seperti Sumarsih, Usman optimistis, kaum milenial bakal merawat aksi Kamisan. Apalagi, mereka juga telah terbukti "bertaji" saat sukses menyetop rencana DPR dan pemerintah mengesahkan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lewat aksi Reformas Dikorupsi.

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Kepada Alinea.id, Komisioner KomnasHAM Beka Ulung Hapsara mengatakan, aksi Kamisan telah menjadi semacam sekolah informal bagi calon aktivis HAM. Menurut dia, kaderisasi dari generasi sepuh ke generasi milenial berlangsung di berbagai aksi Kamisan.

"Banyak pelajaran yang bisa diambil. Pertama, masalah sejarah dan masalah pelanggaran HAM berat. Lalu, pelajaran soal pentingnya menjaga solidaritas sosial," jelas Beka.

Ia pun berharap regenerasi peserta Kamisan terus berlanjut di masa depan. Dengan begitu, perjuangan menegakkan HAM tidak berhenti sepeninggal Sumarsih dan kawan-kawannya. "Sebab ruang ini (Kamisan) berguna untuk mengasah kepekaan rasa kemanusiaan dan juga keberpihakan," tutur Beka. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan