close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ketua Kompolnas 2024-2029 Budi Gunawan (tengah) menjawab pertanyaan wartawan usai dilantik bersama anggota Kompolnas lainnya di Istana Negara, Jakarta, awal November 2024. /Foto dok. Kompolnas
icon caption
Ketua Kompolnas 2024-2029 Budi Gunawan (tengah) menjawab pertanyaan wartawan usai dilantik bersama anggota Kompolnas lainnya di Istana Negara, Jakarta, awal November 2024. /Foto dok. Kompolnas
Politik
Kamis, 05 Desember 2024 11:27

Supaya Kompolnas tak sekadar jadi tameng Polri

Perlu ada regulasi khusus yang mengatur eksistensi Kompolnas.
swipe

Maraknya kasus-kasus hukum yang melibatkan personel kepolisian dan dugaan keterlibatan Polri dalam politik praktik mengindikasikan lemahnya pengawasan terhadap Polri. Sebagai lembaga pengawas, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dianggap tak bertaji. 

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai lemahnya kewenangan Kompolnas jadi salah satu penyebab Polri kerap "keluar jalur", termasuk di antaranya dimanfaatkan jadi mesin politik. Perlu ada penguatan kewenangan sehingga Kompolnas tak malah sekadar jadi "tameng" polisi. 

"Penggunaan mesin kepolisian sebagai alat politik bukan terjadi di Pemilu 2024 saja, tetapi sejak pilpres secara langsung pada 2004 dan berulang di setiap pemilu. Hanya saja, ini semakin signifikan di tahun 2019 dengan dibentuknya Satgas Merah Putih yang ternyata sangat efektif," kata Bambang kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini. 

Sebagai institusi negara, Polri merupakan organisasi besar yang personelnya menyebar di seluruh penjuru negeri. Dengan jumlah anggota mencapai 450 ribu personel plus keluarga mereka, Polri bisa dimanfaatkan para politikus dan penguasa sebagai mesin politik untuk mempengaruhi preferensi politik masyarakat. 

Sebagai lembaga pengawas, menurut Bambang, Kompolnas tak banyak bergerak untuk mencegah Polri diseret ke ranah politik praktis. Itu tak terlepas dari posisi Kompolnas yang dilematis. Dimandatkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri), Kompolnas kerap dianggap sebagai institusi di bawah naungan Polri. 

Supaya kinerjanya bisa berdampak, Bambang berpendapat perlu ada penguatan kewenangan Kompolnas. Sesuai TAP VII/ MPR/2000 pasal 8 tentang Lembaga Kepolisian Nasional, pemerintah dan DPR semestinya menerbitkan UU Lembaga Kepolisian Nasional tersendiri. 

"Jadi, bukan masuk dalam UU Kepolisian Negara seperti saat ini yang membuat lembaga kepolisian menjadi seolah subordinasi Polri. Dengan begitu, ada kontrol dan pengawasan lebih kuat pada kepolisian," jelas Bambang. 

Selain UU Polri, eksistensi Kompolnas diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2011. Dalam beleid itu dirinci sejumlah tugas Kompolnas, di antaranya membantu Presiden dalam menentukan arah kebijakan Polri, memberikan pertimbangan kepada presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri, serta melakukan pengawasan fungsional terhadap kinerja Polri. 

Guru besar ilmu politik dan keamanan Universitas Padjadjaran (Unpad) Muradi menilai fungsi pengawasan Kompolnas lemah lantaran posisinya yang tak benar-benar lepas dari pengaruh pemerintah. Anggota Kompolnas, misalnya, dipilih oleh pansel bentukan Menkopolkam yang di dalamnya ada unsur Polri.  

"Jadi, meskipun dipilih, tapi yang mengusulkan SDM itu Mabes Polri. Itu yang terjadi. Yang kemarin dilantik kan polanya begitu. Artinya, Kompolnas belum menjalankan fungsi-fungsi yang sifatnya pengawasan efektif," ucap Muradi kepada Alinea.id, Minggu (2/12).

Anggota Kompolnas, menurut Muradi, bahkan kerap memposisikan diri seolah menjadi juri bicara Polri saat ada kasus-kasus besar yang mencoreng citra kepolisian. Ia mencontohkan kasus narkoba yang melibatkan mantan Kapolda Sumatera Barat Teddy Minahasa dan kasus penembakan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J oleh Irjen Ferdy Sambo.

"Kemudian lihat saja dalam kasus penembakan polisi terhadap warga sipil di Semarang, kan enggak ada (kritik). Mereka malah jadi jubir karena ada hubungan relasi dengan Polri, semisal ketua pansel itu ada dari orang Irwasum Polri," kata Muradi. 

Peneliti di Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andy Ahmad Zaelany sepakat Kompolnas terkesan hanya menjadi pelengkap Polri. Dengan komposisi anggota yang ada sekarang, Andy pesimistis Kompolnas bisa independen. 

"Sehingga berbagai macam kasus yang menimpa kepolisian, banyak yang tidak terselesaikan dengan baik. Sebagai lembaga, Kompolnas dianggap sebagai pelengkap tanpa kejelasan tugas pengawasannya dan lingkup wewenangnya," kata Andy kepada Alinea.id, Senin (2/12).

Anggota Kompolnas periode 2024-2029 dilantik Prabowo, awal November lalu. Mayoritas komisionernya berasal dari unsur Polri, semisal Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menkopolkam) Budi Gunawan yang didapuk sebagai Ketua Kompolnas. Budi didampingi Mendagri Tito Karnavian yang ditunjuk Prabowo sebagai Wakil Ketua Kompolnas.

Anggotanya ialah Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, Sekretaris NCB-Interpol periode November 2010-2011 Arief Wicaksono Sudiutomo, eks Wakapolda Kalimantan Tengah Irjen Pol (Purn) Ida Oetari Poernamasasi, pengajar atau kriminolog di Perguruan TinggiI lmu Kepolisian (PTIK) Supardi Hamid, aktivis pernah yang memimpin Imparsial Gufron, eks komisioner KomnasHAM Muhammad Choirul Anam,  eks anggota Kompolnas 2020-2024 Yusuf, S.Ag. 

Banyaknya menteri Prabowo yang menjadi anggota Kompolnas, kata Andy, mengindikasikan seleksi anggota Kompolnas terkesan berbasis kedekatan. Ia juga tak yakin para komisioner baru itu bakal benar-benar serius mengurusi Kompolnas, termasuk berupaya memperkuat wewenang Kompolnas. 

 "Anggota-anggotanya apakah diseleksi secara profesional ataukah dipilih secara personal. Jika (seleksi) dilakukan secara personal, tentu masalah kedekatan diutamakan, bukan kemampuan. Bagaimana bentuk seleksi yang dilakukan? Hanya sekedar tes tertulis atau ada yang lain?" kata Andy.

Oleh karena itu, Andy sepakat bila perlu ada perombakan dari sisi aturan dan sistem seleksi Kompolnas sebelum diberikan wewenang melakukan pengawasan terhadap Polri. Selama ini, menurut Andy,  Kompolnas hanya terkesan sebagai bawahan Menkopolkam tanpa bisa mengawasi langsung kinerja Polri. 

"Seharusnya melalui seleksi ketat dan bisa membuktikan dia punya kemampuan yang diperlukan. Wewenang untuk turun langsung melakukan pengawasan tanpa menunggu arahan dari Menkopolhukam, dan bisa memasuki institusi kepolisian bila diperlukan untuk memperoleh informasi dari lapangan," kata Andy. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan