close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Anggota Komisi VII DPR RI dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Wisnu Wijaya menyampaikan laporan legislatif PKS di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa, (05/03). /Foto dok. PKS
icon caption
Anggota Komisi VII DPR RI dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Wisnu Wijaya menyampaikan laporan legislatif PKS di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa, (05/03). /Foto dok. PKS
Politik
Sabtu, 09 Maret 2024 16:18

Supaya sikap oposisi parpol tak sekadar 'kecelakaan' politik

Perlu ada tambahan insentif bagi parpol yang berani mengambil sikap sebagai oposisi pemerintah di parlemen.
swipe

Partai politik (parpol) perlu diberikan insentif supaya berani mengambil sikap sebagai oposisi pemerintah di parlemen. Urusan duit operasional kerap jadi ganjalan bagi parpol untuk berani berseberangan dengan kubu koalisi pendukung penguasa. Salah satu cara ialah dengan menambah dana parpol bagi kelompok oposisi.

Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi merespons pernyataan eks Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). JK menyebut tak ada satu partai pun di Indonesia yang didirikan dengan niat untuk jadi oposisi. 

"Sistem kepartaian kita tidak memberikan insentif, terutama bagi partai oposisi. Jadi, banyak kerugian, terutama dari sisi finansial. Kalau jadi oposisi, itu sulit mencari akses kekuasaan," kata Burhanuddin dalam sebuah wawancara dengan Kompas TV.

Saat jadi pembicara dalam acara "Konsolidasi untuk Demokrasi Pasca Pemilu 2024: Oposisi atau Koalisi?" yang digelar di Auditorium Juwono Sudarsono, Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, Kamis (7/3), JK mengatakan semua partai ingin jadi bagian dari pemerintahan. 

Ia mencontohkan bagaimana Golkar merapat ke kubu pemerintahan Jokowi-JK usai Pilpres 2014. Padahal, Golkar tak mengusung pasangan Jokowi-JK. "Bagi partai, oposisi itu kecelakaan. Karena tidak menang (pemilu), maka jadi oposisi. Oposisi itu kecelakaan," kata JK.

Meskipun pemenang pileg dan pilpres sudah terlihat dari rekapitulasi suara Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, peta koalisi dan oposisi belum mengerucut di parlemen. Sejauh ini, baru Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto yang mengatakan partainya siap jadi oposisi. 

Sejak 2019 hingga kini, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bisa dibilang jadi oposisi tunggal di parlemen. Meski tak bergabung dengan pemerintah, Partai Demokrat memposisikan dirinya sebagai partai tengah. Tak seperti PKS, Demokrat jarang mengkritik keras kebijakan pemerintah. 

Belum lama ini, Demokrat bergabung dengan koalisi parpol pendukung pemerintah setelah ketua umumnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dihadiahi kursi menteri oleh Presiden Jokowi. AHY saat ini menjabat sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang. 

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Nurul Amalia Salabi perlu ada penambahan dana operasional untuk parpol dari negara. Menurut dia, dana operasional parpol masih tergolong kecil. Itu membuat banyak parpol bergantung kepada oligarki dan hanya menggelar rapat koordinasi jelang pemilu. 

"Dampak negatif lainnya, partai itu menjadi enggan menjalankan edukasi dan penguatan kelembagaan partai, kaderisasi terhadap perempuan, dan penguatan kapasitas partai politik," kata Nurul kepada Alinea.id, Jumat (8/3).

Merujuk Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2018 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik, hanya partai politik penghuni DPR yang berhak menerima bantuan keuangan dari negara. Nilainya sesuai capaian parpol di pemilu, yakni Rp1.000 per suara sah. 

Nurul mengatakan bantuan dari negara tak melulu harus berbentuk duit. Negara bisa juga memberikan fasilitas gedung tanpa dikenakan biaya listrik, air dan internet. Dengan begitu, parpol bisa memangkas biaya operasional harian. 

"Skema lain yang dapat diberikan juga adalah pemberian upah rutin bulanan kepada pengurus inti partai politik dari negara. Jika bantuan dana negara ditingkatkan dalam bentuk fresh money, tentunya diperlukan rekalkulasi bantuan dana negara untuk operasional dan pendidikan politik," ucap Nurul.

Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati sepakat parpol oposisi perlu diberikan insentif lebih supaya tidak mudah goyah menghadapi tekanan penguasa. 

"Kondisi saat ini memang sulit bagi parpol yang oposisi untuk bisa bertahan. Saya sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Burhanudin Muhtadi," kata Neni kepada Alinea.id, Jumat (8/3).

Penambahan dana bagi partai oposisi, kata Neni, perlu dibarengi  penguatan kewajiban parpol untuk melaporkan dana yang mereka peroleh secara transparan. 

"Ada akuntabilitas untuk memastikan sejauh mana laporan itu dilakukan oleh parpol. Itu juga harus dapat dijalankan oleh partai politik," kata Neni.

Pendapat berbeda diungkap peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati. Menurut Wasisto, keberanian beroposisi tidak ada hubungannya dengan kekayaan partai. 

"Saya pikir menjadi oposisi itu lebih pada idealisme yang harus dipegang dan diperjuangkan, apa pun risiko yang dihadapi," kata Wasisto kepada Alinea.id. 

Meski begitu, ia sepakat perlu ada penambahan dana demi membantu partai menjalankan roda organisasi dan pendidikan kader. "Namun, yang terpenting pembangunan karakter dan komitmen berpolitik ketika mengambil sikap oposisi," imbuhnya. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Berita Terkait

Bagikan :
×
cari
bagikan