Jumlah petani guram terus meningkat. Data Sensus Pertanian 2024 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) belum lama ini menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga petani guram mencapai 16,8 juta pada 2023. Angka itu naik cukup signifikan jika dibandingkan pada 2013 yang mencapai 14,2 juta orang.
Data BPS pada 2023 menunjukkan bahwa 28,21% masyarakat Indonesia bekerja di sektor pertanian. Namun, rata-rata pendapatan bersih mereka yang memiliki usaha pertanian hanya kisaran Rp1,59 juta per bulan. Adapun buruh pertanian tercatat punya upah di kisaran Rp2,37 juta per bulan. Secara nasional, upah buruh rata-rata mencapai Rp3,18 juta per bulan.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menilai tren guremisasi telah terjadi sejak dekade 1970-an. Asa untuk menahan laju tren tersebut sempat mencuat saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjanjikan distribusi 9 juta hektare tanah dan 12 juta hektare hutan kepada petani untuk digarap.
"Tetapi, Jokowi tidak kunjung membagikan tanah sebesar itu kepada petani," ucap Henry kepada Alinea.id, Kamis (17/10).
Petani guram ialah mereka yang tidak memiliki tanah garapan atau hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektare. Selama satu dasawarsa pemerintahan Jokowi, menurut Henry, Jokowi justru rutin memberikan izin untuk alih fungsi lahan bagi perkebunan, industrialisasi, dan proyek-proyek strategis nasional (PSN).
"Sebagai contoh, Bandara Kertajati. Itu berapa ribu hektar yang diambil. Padahal, jelas bandara itu tidak efektif. Lalu, ada Sirkuit Mandalika. Itu semuanya sawah-sawah yang diambil oleh pemerintah Jokowi atas nama PSN. Belum lagi PIK (Pantai Indah Kapuk) yang ada di Banten. Kelompok Lippo yang mengarah sampai Karawang sana (mengambil) sawah-sawah bagus. Reforma agraria tidak jalan," kata Henry.
Peminggiran kaum petani, menurut Henry, kian terasa lantaran Jokowi juga mengutamakan kelompok korporasi dalam mengelola usaha-usaha pertanian berskala besar. Ia mencontohkan proyek food estate di sejumlah wilayah yang dipegang oleh pengusaha-pengusaha yang dekat dengan Jokowi.
Kondisi tersebut berdampak pada kesejahteraan para petani guram. Ketiadaan dan keterbatasan lahan membuat banyak petani jatuh miskin. Dampak turunan lainnya pengangguran meningkat dan pasokan pangan bergantung dari impor.
"Jadi, tidak ada bedanya pada saat zaman kolonial Belanda dulu. Keterbatasan lahan yang membuat petani guram bertambah juga diperburuk dengan keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja yang memberi kemudahan investor atau negara mencaplok lahan pangan yang semestinya dikelola petani," tutur dia.
Henry meminta Presiden terpilih Prabowo Subianto tak mengulang kegagalan Jokowi dalam menyejahterakan petani. Ia terutama berharap agar janji redistribusi lahan bagi petani yang dikampanyekan Jokowi direalisasikan Prabowo.
"Kedua, Prabowo harus berpihak kepada pertanian rakyat dengan membentuk koperasi-koperasi petani, bukan malah mendorong korporasi- korporasi besar seperti zaman kolonial Belanda. Ketiga, produk pertanian kita diarahkan untuk kebutuhan nasional kita, bukan untuk ekspor," ucap Henry.
Tiada kalah penting, Henry menyarankan agar Prabowo Subianto membatasi impor pangan dan melarang perusahaan industri ekstraktif beroperasi di lahan-lahan subur. "Tanah- tanah yang ada di masyarakat adat dan petani semakin hilang. Mereka membuat kerusakan alam dan akhirnya kemiskinan terjadi di pedesaan," imbuhnya.
Segendang sepenarian, sosiolog dari Universitas Trunojoyo Madura, Iskandar Dzulkarnain menilai peningkatan angka petani guram terjadi karena kian terbatasnya lahan pertanian. Banyak lahan subur beralih fungsi menjadi pabrik atau perumahan.
"Selain itu, semakin banyak generasi muda yang enggan bertani karena jaminan kesejahteraan sangat sulit bagi para petani kita. Apalagi bagi petani guram," kata Iskandar kepada Alinea.id, Kamis (17/10).
Menurut Iskandar, profesi petani bisa kembali terhormat bila redistribusi lahan untuk petani dilakukan pemerintah. Petani juga diberikan jaminan harga untuk hasil produksi mereka.
"Termasuk murahnya bibit dan ketersediaan pupuk bagi para petani. Ketiadaan jaminan dan kebijakan yang berpihak kepada petani guram atau buruh tani harusnya menjadi prioritas utama untuk kesejahteraan mereka," kata Iskandar.