close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pemilihan umum./ Pixabay
icon caption
Ilustrasi pemilihan umum./ Pixabay
Politik
Rabu, 27 Juni 2018 15:01

Survei politik di tengah belenggu kepentingan

Tidak ada cara yang bisa menghentikan produksi dan penyebaran hasil survei palsu. Kita hanya membatasi efeknya saja.
swipe

Saat dinyatakan gagal berlaga di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sumatra Utara karena ganjalan administratif, JR Saragih sempat meratap di depan sejumlah wartawan. Kala itu, ia bahkan menyebut para pendukungnya sejumlah 2 juta orang akan kecil hati karena kegagalan ini. Klaim jumlah dukungan itu, berangkat dari hasil survei yang tim suksesnya lakukan sebelumnya. Faktanya, merujuk pada hasil Media Survei Nasional (Median), JR berada di posisi buncit dengan mengantongi 10,6% suara. Sementara dengan total DPT Sumut terbaru sebanyak 9 jutaan, maka Bupati Simalungun itu hanya meraup dukungan 954.000 suara. Jauh dari klaim yang dikeluarkan JR Saragih.

Saling klaim besaran dukungan juga pernah dilakukan calon pemimpin Jawa Barat TB Hasanuddin-Anton Charliyan. Berdasarkan enam kali survei lembaga survei politik, baik lokal maupun nasional, elektabilitas pasangan dari latar militer ini, selalu terendah. Namun, Hasanuddin yang juga mantan sekretaris militer Megawati itu berdalih, semua hasil survei, independensinya diragukan. Menurutnya, sebagian besar lembaga survei justru dipesan oleh elit-elit politik tertentu.

Pada pilpres 2014 lalu, sejumlah lembaga survei menggelar quick count dan mengafirmasi kemenangan Prabowo Subianto. Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Jakarta mencatat empat lembaga survei yang merilis hasil quick count yang memenangkan Prabowo. Mereka Lembaga Survei Nasional (LSN), Indonesia Research Center (IRC), Jaringan Suara Indonesia (JSI), dan Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis). Direktur PBHI Jakarta Poltak Agustinus Sinaga dalam keterangan persnya menyebut, lembaga-lembaga itu tidak kredibel karena mengeluarkan jumlah quick count yang tak bisa dipertanggungjawabkan secara metodis. LSN merilis jumlah sampel sebanyak 100,35% dan tiga lembaga lainnya berjumlah 100% untuk memenangkan Prabowo.

Dalam perkembangannya, keberadaan lembaga survei memang menempati fungsi penting, khususnya jelang pelaksanaan pemilu. Nyarwi Ahmad dalam "Manajemen Komunikasi Politik dan Marketing Politik" (2012) menulis, keberadaan lembaga survei sekaligus konsultan politik mulai marak pascapemilu 2004. Lembaga survei berperan penting dalam memotret elektabilitas calon, partai politik, dan tingkat kepuasan masyarakat, lewat data evaluasi performa tertentu.

Masing-masing lembaga survei memiliki hasil yang kerap berbeda, bahkan tak jarang merilis hasil yang secara terang mengarah pada salah satu calon. Sejumlah pengamat politik tak memungkiri, lembaga survei menjadi agen penyedia jasa bagi mereka yang memang membutuhkan gambaran atas kans kemenangan atau ukuran kepuasan. Mereka yang memesan survei berasal dari lembaga atau perorangan, mulai dari pemerintah, partai politik, atau bahkan calon peserta pemilu.

Meski berangkat dari permintaan klien dan dibiayai langsung oleh mereka, bukan berarti hasil survei bisa otomatis diarahkan kepada pihak yang memesan survei ini. Setiap lembaga survei dalam kondisi itu tetap harus mempertahankan objektivitas, etiket, dan independensi.

"Survei itu semuanya dipesan, kalau tidak dipesan tidak bisa. Yang tidak boleh adalah mengubah hasil survei," ujar Manajer Riset Politik dan Public Relation Poltracking Indonesia Faisal Kamil saat dihubungi Alinea, Selasa (26/6).

Selain kontrol internal lembaga, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga mengatur lembaga survei dan non survei yang akan menggelar survei atau quick count di hajatan pilkada, pileg, dan pilpres. Mereka akan ditandai dengan sertifikat sebelum memulai kerja-kerja pemantauan dan survei politik.

Lembaga-lembaga survei besar, seperti Lembaga Survei Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia, SRMC, Poltracking, Indobarometer menjadi lembaga-lembaga survei yang langganan saban momen pemilu melakukannya. Lembaga survei itu bahkan memiliki ikatan lembaga survei sendiri yang membuktikan kredibilitas mereka.

"KPU mewajibkan lembaga survei untuk terdaftar di sebuah perhimpunan agar bisa melakukan survei dan merilis hasilnya. Ini aturan baru KPU," ujar Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Kuskridho Ambardi

Pengawasan kinerja lembaga survei memang belum diatur dalam payung hukum, namun perhimpunan yang dinamai Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) memiliki dewan kode etik sendiri. Dewan ini akan melakukan pengawasan terhadap anggota yang terdaftar. Jika diperlukan, dewan etik juga memanggil lembaga survei, terutama saat ditemukan permasalahan yang berkaitan dengan standar profesionalitas dan etiket.

Selain persoalan profesionalitas dan etiket penelitian, kredibilitas lembaga survei juga dinilai dari penggunaan metodologi survei mereka. Menurut pria yang biasa disapa Dodi itu, umumnya setiap lembaga survei memiliki metode penelitian dengan mengambil sampel secara acak. Pembedanya berada pada jumlah responden, yang secara langsung mengakibatkan determinasi pada margin of error.

"Itu standar emas yang dipakai oleh lembaga survei di manapun (internasional) untuk mendapatkan sampel yang representatif," ujar Dodi lagi.

Sampel yang digunakan secara umum pun beragam dengan margin of error yang mengikutinya. Jika sebuah survei menggunakan 400 responden, maka margin of error-nya 5%, jika diambil 800 responden maka margin of error-nya 3%, sedangkan kalau respondennya 1.200, maka margin of error mencapai 2,8%.

Margin of error sendiri mendeskripsikan jumlah kesalahan dalam pengambilan sampel yang dilakukan peneliti. Angka ini bergantung pada ukuran populasi, jumlah sampel, dan cara pengambilan sampel (sampling method). Semakin besar persentase margin of error, maka kian jauh sampel bisa mewakili populasi yang disasar, demikian sebaliknya. Meski begitu, margin of error yang rendah tidak otomatis menjamin survei tersebut lebih kredibel, sebab itu hanya membatasi kesalahan dalam survei sendiri.

 

Sebuah lembaga survei yang memang melakukan pengambilan sampel dengan langsung mendatangi dan mewawancarai responden, biasanya akan memberikan hasil yang lebih akurat, dan tidak melebihi angka margin of error. Sayang, dalam praktiknya sejumlah lembaga survei abal-abal mencari celah dari hal ini dengan merekayasa responden. Tujuannya untuk mendapatkan hasil yang sudah dipatok sebelumnya.

Cermat melihat survei

Untuk mengukur kredibilitas lembaga survei, Direktur Center for Election and Political Party (CEPP) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) Reni Suwarso mengatakan, jika hal tersebut bisa dibuktikan dengan waktu.

“Seharusnya bisa diukur dengan keberhasilan mereka memprediksi bagaimana output dan outcome pemilu. Dengan data dan info di lapangan yang mereka kumpulkan, dengan teknik dan metode analisis yang benar, lembaga survei bisa melakukan prediksi-prediksi,” ucap Reni saat dihubungi Alinea, Selasa (22/6).

Sementara itu, untuk membedakan lembaga survei yang kredibel dan abal-abal, Reni menyarankan untuk melihat rekam jejak dan profesionalisme kerja, termasuk di dalamnya pilihan metode dan kredibilitas tim. “Tapi yang paling penting, lihat siapa yang bayar mereka,” kata Reni.

Ilustrasi transaksi pemesanan survei politik pada lembaga survei./ Pixabay

Reni menganggap wajar saja survei bayaran tersebut terjadi. “Ini sangat biasa. Di negara lain sekalipun sama. Parpol atau kandidat akan membayar lembaga-lembaga survei untuk menaikkan dukungan dan suara. Seolah-olah banyak yang pilih mereka,” katanya.

Adam Geller, seorang pelaku survei untuk partai Republikan yang bekerja untuk kampanye Trump mengatakan, survei publik adalah salah satu berita yang mudah untuk ditulis bagi wartawan, tapi hanya ada sedikit yang melihat dengan cermat metodologi yang digunakan saat survei. “Untuk sebagian besar jurnalis, sebuah survei ya hanya sebuah survei,” ucap Adam Geller dikutip dari FiveThirtyEight.

Menurut Geller, survei juga bisa memengaruhi donor. Para pendonor tentunya tidak mau mendanai orang yang kalah. Selain itu, pemilih juga bisa dipengaruhi oleh hasil survei. Selain donor, Reni mengatakan hasil survei bisa digunakan untuk memengaruhi swing voters atau undecided voters untuk memilih kandidat tertentu.

Harry Enten dalam tulisannya berjudul "Fake Polls are A Real Problem" menuturkan, tidak sulit untuk mencuri perhatian dari media dengan menyebarkan hasil survei abal-abal. Jaringan kepercayaan antarmedia menjadi kunci. Artinya, ketika sebuah berita muncul di satu tempat, maka berita dengan sudut pandang serupa akan muncul di media-media lain. Hal ini karena orang-orang percaya jika media kredibel tidak akan terjatuh dalam jebakan survei abal-abal.

Di Indonesia sendiri, televisi swasta TV One pernah terjatuh dalam jebakan survei abal-abal ini pada pilpres 2014 lalu. Sebuah tulisan berjudul "Indonesia Predict Prabowo Will Be Next Indonesian President" menyebutkan 52% masyarakat Indonesia memperkirakan Prabowo akan menang. Dalam tulisan itu disebutkan survei dilakukan oleh Gallup Indonesia.

Gallup sendiri adalah lembaga survei kredibel di AS. Gallup selalu menjadi rujukan setiap pemilihan umum di AS. Survei Gallup tersebut berbeda dengan mayoritas hasil survei beberapa lembaga survei di Indonesia yang diterbitkan pada Juni 2014.

Namun, tulisan di laman CNN ternyata tulisan palsu. Tulisan tersebut adalah gubahan atas artikel Lydia Saad yang pernah diterbitkan Gallup pada 16 Juni 2008. Tulisan survei Gallup palsu itu bukanlah artikel yang diterbitkan oleh CNN, melainkan tulisan yang ditulis oleh pembaca. Tulisan itu sendiri diunggah di laman iReport.

Enten menjelaskan dalam tulisannya tidak ada cara yang bisa dilakukan untuk menghentikan penyebaran hasil survei palsu itu. “Kita hanya bisa membatasi efeknya saja,” kata Enten.

Sementara itu untuk menghindari survei abal-abal tersebut, Indonesia belum memiliki regulasi atau payung hukum yang mengatur hal tersebut. “Belum diatur detail seperti itu. Masih sebatas kode etik saja. ini menyebabkan lembaga survei menjadi raja-raja kecil yang mengabdikan dirinya kepada yang punya duit. Beberapa malah enggak peduli dengan idealisme dan ideologi,” jelas Reni.

Reni menambahkan, marwah sebuah lembaga survei adalah objektivitas, karena angka-angka statistik itu multitafsir dan bisa dianalisis dengan beberapa sudut pandang. “Jadi apapun temuan lapangan, data, dan info, jangan dimanipulasi untuk kepentingan yang punya uang,” tandasnya

img
Ayu mumpuni
Reporter
img
Annisa Saumi
Reporter
img
Purnama Ayu Rizky
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan