Hasil survei elektabilitas para kandidat di Pilgub DKI Jakarta yang digarap Poltracking Indonesia dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) memicu polemik. Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) bakal memanggil para petinggi kedua lembaga tersebut karena menghasilkan hasil survei yang jauh berbeda.
Anggota Dewan Etik Persepi Saiful Mujani mengatakan bakal mengklarifikasi hasil survei kepada Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan dan Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yudha. Ia menegaskan tak akan segan-segan mengeluarkan lembaga survei yang terbukti memanipulasi data survei.
"Bila ditemukan bukti melakukan pelanggaran etik berat, misalnya sengaja memanipulasi data, maka ia akan dikeluarkan dari keanggotaan dan direkomendasikan tidak menjadikan hasil surveinya sebagai rujukan," kata Saiful kepada wartawan di Jakarta, Senin (28/10).
Sigi LSI dirilis pada Rabu (23/12). Hasil survei menunjukkan pasangan Pramono Anung-Rano Karno (Pram-Rano) bertengger di posisi puncak dengan elektabilitas 41,6%. Pasangan Ridwan Kamil-Suswono (RK-Suswono) di posisi kedua dengan tingkat keterpilihan 37,4%, sedangkan pasangan Dharma Kun-Kun Wardana (Dharma-Kun) di posisi paling buncit dengan elektabilitas 6,6%.
Dilakoni pada periode pada 10-17 Oktober 2024, LSI menggunakan metode multistage random sampling. Sebanyak 1.200 warga Jakarta yang punya hak pilih dilibatkan sebagai responden. Tingkat kepercayaan survei sebesar 95% dengan batas galat sekitar 2,9%.
Dirilis sehari setelah LSI, Poltracking mencatat elektabilitas RK-Suswono sebesar 51,6%. Pasangan Pram-Rano terpaut jauh di urutan kedua dengan elektabilitas sebesar 36,4%. Melibatkan 2.000 responden, survei digelar pada 10-16 Oktober 2024 atau hanya beda sehari jika dibandingkan LSI.
Kepala Pusat Studi Komunikasi, Media, dan Budaya Fikom Universitas Padjadjaran (Unpad) Kunto Adi Wibowo mengaku tak aneh menyaksikan perbedaan hasil survei yang mencolok antara LSI dan Poltracking. Menurut dia, hasil survei kedua lembaga survei itu mencerminkan para sponsor di balik survei.
"Perbedaan survei itu lebih kepada kepentingan siapa yang diwakili dari survei itu. Karena itu, penting untuk kemudian lembaga survei ini untuk mendeklarasikan atau bilang siapa pendananya. Jelas melakukan survei itu mahal. Dua ribu responden di DKI itu mahal banget, bisa ratusan juta," kata Kunto kepada Alinea.id, Sabtu (26/10).
Kunto mengatakan hasil survei lembaga-lembaga kerap berbeda bukan karena disebabkan perbedaan metodologi yang digunakan. Menurut dia, daftar pertanyaan yang ditanyakan kepada responden juga turut berpengaruh. Dalam daftar pertanyaan itu bisa dicermati kepentingan siapa yang terwakili pada survei.
"Sebelum ada komitmen mendeklarasikan siapa mendanai. Semua patut dicurigai secara etik. Menurut saya, yang penting untuk kemudian memeriksa tidak hanya dari sisi metodologi, tetapi juga melacak urutan pertanyaan yang janggal. Kita bisa melacak pergantian responden," kata Kunto.
Lembaga-lembaga survei, lanjut Kunto, saat ini rentan melanggar etika karena bekerja dalam godaan konflik kepentingan politik. Oleh karena itu, Kunto menilai segala hal yang berkaitan dengan konflik kepentingan harus dideklarasikan.
"Harus diungkap. Salah satunya siapa yang bayar survei itu. Kalau ini sudah dilakukan saya yakin publik lebih aware dan tidak ada keuntungan apa pun buat lembaga survei untuk mengubah hasil atau memanipulasi hasil," kata Kunto.
Analis politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Zaki Mubarak mengapresiasi langkah cepat Dewan Etik Persepi. Menurut dia, publik berhak tahu siapa yang keliru dalam menghasilkan survei elektabilitas di Pilgub DKI.
Ia mencontohkan lompatan elektabilitas Pram-Rano yang sangat signifikan dalam waktu singkat. Dari sisi kampanye dan penampilan debat, menurut Zaki, Pram-Rano tergolong tak menghadirkan terobosan yang berpengaruh kuat meningkatkan elektabilitas.
"Wajar publik ingin tahu penjelasan faktor pendorong lompatan itu apa. Di lain sisi, hasil survei Poltracking menunjukkan ada kenaikan dari RK dan Suswono, tapi moderat saja. Enggak ada kejutan," kata Zaki kepada Alinea.id, Jumat (25/10).
Di antara LSI dan Poltracking, Zaki menduga ada lembaga survei yang terjebak konflik kepentingan. Kemungkinan salah satu lembaga survei tersebut "nyambi" menjadi konsultan politik salah satu pasangan kandidat.
"Kami minta Persepi tegas dan berani saja. Jangan lupa ada juga sanksi moral dari publik. lembaga survei abal-abal yang hasilnya suka ngawur, ngikutin pesanan sponsor, akhirnya mati sendiri karena tidak dipercaya masyarakat," kata Zaki.