Rapat Paripurna DPR RI, Kamis (7/10/2021), mengesahkan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Pajak (RUU HPP) menjadi Undang-Undang. Dari 13 fraksi di DPR RI, hanya fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) yang menyatakan menolak.
Pengesahan RUU HPP dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar, usai Wakil Ketua Komisi XI DPR, Dolfie membacakan hasil pembahasan RUU HPP. "Apakah RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dapat disetujui untuk menjadi undang-undang?," tanya Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar, dalam Rapat Paripurna di DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (7/10).
Usai mendengar jawaban "ya" dari seluruh anggota DPR yang hadir, Cak Imin, sapaan akrab Muhaimin, langsung mengetok palu tanda disahkannya RUU HPP menjadi UU.
Dalam laporannya terkait pembahasan RUU HPP, Wakil Ketua Komisi XI DPR, Dolfie, membacakan alasan penolakan fraksi PKS terhadap RUU HPP. Pertama, Fraksi PKS tidak sepakat dengan rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%. Fraksi PKS berpendapat bahwa kenaikan tarif PPN akan kontraproduktif dengan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Fraksi PKS juga menolak pengenaan pajak terhadap jasa yang sangat dibutuhkan oleh rakyat seperti jasa kesehatan medis, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan jasa layanan keagamaan menjadi barang jasa kena pajak (BJKP). Walau saat ini tarif PPN masih 0%, namun menjadi BJKP barang dan jasa tersebut satu saat dikenakan pajak.
"Fraksi PKS juga menolak pasal-pasal terkait dengan program pengungkapan sukarela harta wajib pajak sebagaimana yang dipahami para ahli dan publik sebagai program Tax Amnesty Jilid II. Pada 2016 Fraksi PKS secara resmi menolak UU Pengampunan Pajak," ujar Dolfie.
Dolfie mengatakan, RUU HPP terdiri dari sembilan bab dan 19 pasal yang secara garis besar memuat tujuh peraturan atau ketentuan. Pertama, terkait judul yakni RUU Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Pajak.
Menurutnya, RUU HPP mengubah sejumlah undang-undang, di antaranya UU KUP, UU Pajak Penghasilan, UU Pajak Pertambahan Nilai, UU Cukai, UU Nomor 2 Tahun 2020, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengatur program pengungkapan sukarela wajib pajak dan peraturan mengenai pajak karbon.
Kedua, ketentuan tata umum dan tata cara perpajakan berisi mengenai ketentuan: a. Penggunaan NIK sebagai Nomor Wajib Pajak Pribadi (NPWP). Dengan terintegrasinya NIK, akan memudahkan memantau administrasi wajib pajak (WP) Indonesia, khususnya WP pribadi.
b. Terkait asistensi wajib pajak global. Kerja sama bantuan penagihan pajak antarnegara dilakukan dengan kerja sama negara mitra secara resiprokal.
Ketiga, ketentuan mengenai pajak penghasilan, memuat ketentuan sebagai berikut:
a. Adanya perbaikan pengaturan lapisan tarif PPh orang pribadi yang berpihak pada lapisan penghasilan terendah yang saat ini sebesar Rp60 juta.
b. Adanya penambahan lapisan tarif PPh WP sebesar 35% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar.
c. penambahan reshold peredaran untuk tidak kena pajak untuk UMKM, pengaturan ulang tarif PPh badan sebesar 22% untuk mendukung penguatan basis pajak dan pengaturan penyusutan dan amortisasi. Kebijakan ini diambil merupakan bentuk perlindungan kepada UMKM dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Keempat, ketentuan mengenai pajak pertambahan nilai (PPN). Memuat pengaturan mengenai komitmen keberpihakan pada masyarakat bawah dengan pemberian fasilitas pembebasan PPN atas barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa keuangan dan jasa pelayanan sosial.
Kelima, ketentuan mengenai program pengungkapan sukarela WP, mengatur ketentuan untuk mendorong peningkatan kepatuhan sukarela. UU ini mengatur program pengungkapan sukarela WP yang memfasilitasi WP yang punya itikad baik untuk patuh dan terintegrasi dalam sistem perpajakan dengan tetap memperhatikan rasa keadilan bagi seluruh WP.
"Program ini diharapkan untuk mendorong WP secara sukarela mematuhi kewajiban pajaknya," ungkap politikus PDI Perjuangan itu.
Keenam, ketentuan pajak karbon, mengatur tentang susunan peta jalan pajak karbon dan perdagangan emisi karbon bersama DPR, penetapan subjek, objek dan tarif pajak karbon sehingga intensif bagi WP yang berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon.
Ketujuh, terkait ketentuan cukai. Mengatur mengenai penegasan ranah pelanggaran administrasi dan prinsip ultimum remedium pada pihak tindak pidana cukai untuk kepentingan penerimaan negara dan kepastian hukum.