Di balik tajamnya taring deretan petisi daring
Manajer Kampanye Change.org Dhenok Pratiwi sedang pusing bukan kepalang. Dalam sebulan terakhir, tak terhitung berapa kali Dhenok dan rekan-rekannya berkumpul di meja rapat. Bahasan mereka serius: bagaimana bikin petisi daring lebih membumi.
"Tapi inovasi itu seperti apa bentuknya, belum bisa kami buka sekarang," ujar Dhenok saat berbincang dengan Alinea.id di kantor Change.org di Kompleks Buncit Indah, Jakarta Selatan, Selasa (11/2) lalu.
Dhenok sudah lebih dari enam tahun bekerja di Change.org, situs petisi online terbesar di Indonesia. Mengaku sempat "suntuk", semangat kerja Dhenok kini sedang tinggi-tingginya. Itu tak lepas dari kian populernya platform petisi di Change.org.
Ia mencontohkan petisi untuk membebaskan NN yang diduga dijebak oleh politikus Gerindra Andre Rosiade dalam kasus prostitusi online di Sumatera Barat, akhir Januari lalu.
Dirilis sekitar sepekan setelah kasus NN terungkap ke publik, petisi bertajuk "Bebaskan NN, Kami Bersamanya" itu sudah ditandatangani lebih dari 2.000 warganet. Padahal, target awalnya hanya 500 tanda-tangan.
"Wadah ini tak lagi hanya digunakan oleh para aktivis untuk melakukan advokasi tapi juga oleh masyarakat umum yang memang memiliki masalah dan membutuhkan dukungan banyak pihak," ujar alumnus Universitas Gajah Mada itu.
Menurut catatan Change.org, terjadi lonjakan jumlah pengguna yang cukup fantastis setahun terakhir. Pada Desember 2019, tercatat ada lebih dari 13 juta pengguna Change.org. Tahun sebelumnya, tercatat ada enam juta pengguna.
Selain itu, tercatat lebih dari 2,5 juta pengguna yang petisinya mereka tanda-tangani menang. "Bagi kami, ini menunjukkan trend positif dari partisipasi masyarakat dalam menyuarakan aspirasinya melalui petisi daring," ujarnya.
Sepanjang 2019, tercatat ada 14 petisi yang menang. Sebagian besar di antaranya petisi yang menyoroti isu kontroversial yang tengah bergulir di masyarakat, semisal penolakan RKHUP yang digagas Tunggal Pawestri, amnesti untuk Nuril yang diinsiasi Erasmus Napitupulu, dan penolakan RUU Permusikan yang digagas Danilla Riyadi.
Meski secara kuantitas mengalami kenaikan jumlah pengguna, Dhenok mengatakan, tak semua petisi daring di Change.org berkualitas. Pasalnya, masih banyak pengguna yang masih menggagas petisi untuk hal-hal yang kurang berfaedah.
"Contohnya masih ada yang buat petisi buat nembak orang, menyatakan cinta ke seseorang. Terus juga bongkar aib orang bahwa si A selingkuh dengan si B. Itu kan enggak ada efek secara luas buat masyarakat," ujar dia.
Tak hanya minim faedah, Dhenok mengungkapkan, banyak petisi daring "berbahaya" yang dibuat pengguna dan kerap berpolemik. Ia mencontohkan pertarungan ide dalam dua kategori petisi, yakni yang menolak RUU Penghapus Kekerasan Seksual (PKS) dan menerima.
Untuk petisi semacam itu, Change.org menggelar kajian khusus. "Dan ternyata apa yang disuarakan oleh pihak yang menolak itu tidak benar. Maka, kami tidak promote ke email para pengguna Change.org," ujarnya.
Platform Change.org juga sering dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk kepentingan politis, semisal bertujuan untuk menyerang salah satu tokoh politik. Petisi-petisi semacam itu biasanya dicopot oleh Change.org.
"Jadi, masyarakat kami harap juga hati-hati bila melihat sebuah petisi. Bandingkan dengan perspektif lain sebelum memberikan dukungan," ujar Dhenok.
Efektivitas petisi daring
Tuah petisi online diakui aktivis perempuan dan hak asasi manusia Tunggal Pawestri, penggagas petisi bertajuk "Presiden Jokowi, Jangan Setujui RKUHP di Sidang Paripurna DPR" di Change.org.
Petisi itu diunggah menyemarakkan gelombang aksi unjuk rasa mahasiswa menolak revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada September 2019. Menurut Tunggal, petisi yang ia bikin efektif untuk mengenalkan bahaya pasal-pasal dalam draf revisi KUHP.
"Melihat masyarakat belum mengetahui banyak terkait bahayanya RKHUP kontroversial. Saya memilih petisi online karena saya tahu Change.org. Sebab, mereka punya kemampuan untuk mengirimkan pesan-pesan pribadi ke email-email banyak orang," ujarnya kepada Alinea.id, Senin (10/2).
Petisi daring, lanjut Tunggal, dipilih lantaran banyak yang ingin mendukung penolakan revisi KHUP, namun tak bisa berbuat banyak, semisal karena harus bekerja dan karena alasan-alasan lainnya.
"Mereka terbatas. Misalnya tidak bisa turun aksi langsung. Akhirnya, petisi online menjadi salah satu mekanisme untuk menyuarakan pendapat mereka," ujarnya.
Namun demikian, Tunggal mengakui, petisi daring hanya satu dari sekian banyak instrumen kampanye. Ia mengatakan, harus ada kerja-kerja off-line alias luring untuk memastikan tujuan kampanye tercapai.
"Kami terus melakukan konsolidasi dengan siapa pun untuk melakukan penolakan. Karena saya bekerja di banyak jaringan, saya memanfaatkan jaringan itu untuk memperluas sebaran isu," ujarnya.
Petisi yang digagas Tunggal meraup lebih dari satu juta tanda-tangan. Menurut Tunggal, aksi demonstrasi bertajuk "Reformasi Dikorupsi" mengerek jumlah pengguna yang menandatangani petisi itu.
"Ketika ada aksi, petisi itu langsung naik satu juta. Jadi, aksi mahasiswa itu yang membuat petisi ini naik. Ada banyak orang yang enggak bisa ikut aksi, akhirnya berkontribusi lewat petisi online," ujarnya.
Kamu mau bantu @lbhpadang bebaskan Sudarto?https://t.co/uxGgSZri52
— Change.org Indonesia (@ChangeOrg_ID) January 8, 2020
Efektivitas petisi daring sebagai platform sosialisasi isu ke publik juga diakui Direktur Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu. Ia mencontohkan petisi untuk membebaskan Baiq Nuril yang digagasnya pada 2019.
Dalam petisi itu, Erasmus meminta Nuril--yang dikriminalisasi karena kasus percakapan mesum--dibebaskan dari jerat hukum lewat pemberian amnesti oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Awalnya kita memang sudah advokasi kasus itu dari awal dan putusannya memang buruk. Lalu, kemudian vonisnya tidak memungkinkan untuk upaya hukum lain. Kita saat itu sudah tahu bahwa enggak mungkin grasi, mungkinnya amnesti," ujarnya kepada Alinea.id, Selasa (11/1).
Erasmus dan rekan-rekan aktivis dari Indonesia Coruption Watch (ICW) sepakat memilih tajuk "Amnesti untuk Nuril" karena pemberian amnesti langka untuk kasus-kasus seperti yang dialami Nuril. Amnesti lazimnya diberikan kepada tahanan yang kasusnya berkaitan dengan politik.
"Kami tahu bahwa amnesti itu asing. Tapi, kami butuh dorongan agar masyarakat itu perhatian. Maka, kita doronglah untuk buat amnesti," kata dia.
Dituturkan Erasmus, petisi itu berhasil karena melonjaknya dukungan setelah kalangan selebritas ikut terlibat mempopulerkan. "Sampai masuk ke akun gosip. Jadi, orang itu pahamnya bukan masalah Erasmus, tapi karena ada artis yang dukung," kata dia.
Namun demikian, Erasmus mengatakan, petisi online bukan satu-satunya penentu. Ia dan tim advokasi Nuril tetap perlu "kerja rodi" agar amnesti diberikan untuk Nuril oleh Jokowi.
"Tulang punggungnya adalah advokasi. Petisi itu bagian dari medium saja. Kami perlu ketemu beberapa pihak untuk melakukan lobi kepada pemerintah. Kita bersurat ke KemenkumHAM, kita datang ke Kantor Staf Presiden," ujarnya.
Kerja daring saja tak cukup
Pengamat media sosial Ismail Fahmi menilai petisi daring kini kian populer sebagai platform alternatif memperjuangkan keadilan. Apalagi, aspirasi publik kerap tidak sampai ke telinga para wakil rakyat di Senayan.
"Dengan petisi online, warga itu bisa langsung menyuarakan. Jadi, sebelum ke DPR itu mereka bisa punya nilai tawar. Ketimbang langsung ke DPR itu biasanya sangat bergantung dari deal-deal-nya," ujarnya kepada Alinea id, Minggu (9/2).
Menurut Fahmi, petisi daring efektif dalam menyebarluaskan isu dan memperkuat tuntutan, khususnya untuk kasus-kasus yang mengusik rasa keadilan di kalangan masyarakat. "Contoh kayak pengesahan revisi KHUP, lalu terbaru kasus NN yang diduga dijebak," ujarnya.
Meskipun isu yang diangkat penting dan substansial, Fahmi melihat, kekuatan petisi daring terkadang berhenti di jagat maya saja. "Untuk menunjukkan sentimen publik, petisi online itu bagus. Bahkan, ada yang dapat dukungan sampai jutaan. Tapi, belum semuanya meraih kemenangan," tuturnya.
Pendapat serupa diutarakan pengamat media sosial Aribowo Sasmito. Menurut dia, perubahan kebijakan tak akan terjadi bila para aktivis dan masyarakat pada umumnya hanya asyik menyuarakan tuntutan di petisi daring.
"Signifikannya tergantung didukung kegiatan luring. Spesifik misalnya soal hukum, kayak isu revisi KUHP, itu harus didukung ahli hukum juga. Bila petisi daring saja, efektifnya ya di daring juga," kata dia.
Aribowo mengatakan maraknya petisi daring yang muncul di jagat maya merupakan hal yang wajar. Pasalnya, publik kian malas untuk terlibat langsung dalam gerakan di lapangan di era digital seperti sekarang.
"Era daring memang serba memanjakan. Enggak beda jauh dengan petisi daring, memanjakan juga," ujar Aribowo.