Dunia pendidikan seolah jadi panggung politik baru untuk Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Teranyar, Gibran mengusulkan agar materi coding, artificial intellegence (AI) dan pemrograman dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah tingkat dasar dan menengah.
Menurut Gibran, Indonesia bisa tertinggal dari negara-negara tetangga seperti India jika generasi mudanya telat menguasai teknologi. Ia meminta usulan itu dikaji Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti.
"Demi mencapai Indonesia Emas, kita butuh generasi emas yang memiliki keterampilan di bidang coding, AI, machine learning, dan lainnya,” ujar Gibran dalam sambutannya di rapat koordinasi evaluasi pendidikan di Gandaria, Jakarta Selatan, Senin (11/11).
Sebelumnya, Gibran juga meminta agar penerimaan peserta didik baru (PPDB) sistem zonasi dievaluasi. Ia mengaku sudah pernah mengirim surat kepada mantan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim terkait masalah zonasi hingga Merdeka Belajar. Namun, surat komplain yang dilayangkan pada 11 Juli 2024 itu tidak dibalas.
Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Rakhmat Hidayat menilai Gibran sedang memanfaatkan momentum absennya Prabowo agar tidak sekadar dicap jadi ban serep. Menurut Rakhmat, Gibran sedang memainkan dramaturgi politik dengan tujuan membangun citra sebagai sosok yang punya perhatian besar di dalam dunia pendidikan.
"Jadi, dia sedang mainkan politik panggung depan yang tampak konsen dunia pendidikan sebab di panggung belakangnya dia memiliki citra sebagai orang yang memiliki IPK 2,3 dan tidak suka membaca buku," kata Rakhmat kepada Alinea.id, Rabu (13/11).
Gibran, kata Rakhmat, tengah memainkan politik dramaturgi sebagaimana dikonsepkan sosiolog Erving Goffman. Erving berteori manusia kerap menampilkan sosok yang berbeda atau bahkan bertolak belakang saat berinteraksi di ruang publik.
"Dia (Gibran) mempertontonkan panggung depan. Panggung depan itu penuh dengan kamuflase, dipoles sana dan sini. Dia merasa peduli dengan pendidikan karena dia punya citra buruk masalah pendidikan," kata Rakhmat.
Politik pencitraan, kata Rakhmat, juga dijalankan Gibran dengan membuka kanal aduan Lapor Mas Wapres. Menurut Rakhmat, kanal semacam itu tidak perlu lantaran sudah ada lembaga-lembaga negara yang mengurusi keluhan publik sesuai tugas masing-masing.
"Seharusnya kalau lembaga-lembaga negara lain tupoksinya (tugas pokok dan fungsinya) berjalan dengan baik dan mekanismenya untuk pelayanan publik sudah ada, harusnya enggak ada Lapor Mas Wapres," kata Rakhmat.
Lapor Mas Wapres adalah kanal pengaduan masyarakat yang digagas Gibran. Semua persoalan masyarakat bisa dilaporkan ke kanal itu. Layanan ini terbuka untuk umum bagi seluruh warga negara Indonesia saban Senin-Jumat pada pukul 08.00-14.00 WIB.
Gibran, kata Rakhmat, tak semata mencoba menghapus citra wapres sebagai ban serep. Ada kepentingan elektoral yang jadi motif Gibran memainkan dramaturgi. "Permainan panggung depan ini adalah investasi dia sebenarnya untuk proyeksi 2029 nanti," imbuhnya.
Sosiolog Universitas Nasional (Unas) Nia Elvina mengatakan publik sebenarnya sadar jika sirkus politik yang dilakukan Gibran sebenarnya kurang tepat dalam posisinya sebagai Wapres. Gibran, kata dia, seolah mengkritisi kebijakan sebagai orang di luar pemerintahan.
"Posisi Gibran adalah sebagai policy maker (pembuat kebijakan), dan duduk didalam pemerintahan. Langkah yang diambil Gibran, masyarakat menilainya seolah-olah Gibran berada di luar pemerintahan dan bukan pembuat kebijakan," kata Nia kepada Alinea.id, Kamis (14/11).
Nia sepakat ada kesan Gibran berlebihan memanfaatkan absennya Prabowo selama beberapa pekan karena lawatan ke luar negeri. Menurut dia, Gibran semestinya bisa menahan diri dan tak sibuk memoles citra.
"Wapres itu posisi prestisius. Gibran harus mampu memiliki peran yang sesuai dengan posisi atau status tersebut. Bertingkah laku sesuai dengan statusnya tadi. Mungkin bisa meneladani peran wakil presiden sebelumnya seperti Bung Hatta," kata Nia.