close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Para komedian kerap dirisak dan dipersekusi karena lelucon mereka yang  dianggap berbahaya. Ilustrasi Alinea.id/Dwi Setiawan
icon caption
Para komedian kerap dirisak dan dipersekusi karena lelucon mereka yang dianggap berbahaya. Ilustrasi Alinea.id/Dwi Setiawan
Politik
Kamis, 06 Februari 2020 18:55

Tatkala komika 'dilarang' bicara politik dan SARA

Para komedian kerap dirisak dan dipersekusi karena lelucon mereka yang 'berbahaya'.
swipe

Hampir satu dekade berkarier sebagai komedian stand-up alias komika, Pandji Pragiwaksono mengaku sudah terbiasa dirisak warganet. Beragam cara sudah ia gunakan untuk menghindari perundungan. Salah satunya dengan "menyensor" materi lelucon yang ia sampaikan di panggung. 

Namun demikian, menurut Pandji, masih ada saja kelompok audiens yang tersinggung dengan lelucon-lelucon yang meluncur dari mulutnya. Padahal, kelakar itu tidak dimaksudkan untuk menghina. Hingga akhirnya, Pandji pasrah menerima nasib.

"Stand-up comedy itu makanannya majas. Majas sarkasme, majas alegori, majas personifikasi, majas hiperbola. Majas artinya bisa bersayap. Tidak bermakna tunggal. Jadi, kami bisa pahami kenapa orang bisa tersinggung," ujar Pandji saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, belum lama ini. 

Panji mafhum materi apa pun yang disampaikan komika di panggung potensial bakalan membuat seseorang terbawa perasaan alias baper. Apalagi, kini eranya media sosial. Di jejaring medsos, setiap orang bisa dengan seenak udel mengkritik dan menghujat.

"Masyarakat kita itu selalu tersinggung. Lihat saja saat (grup lawak) Bagito menyinggung Tutut Soeharto. Terus Warkop menyinggung orang Islam. Lalu, Srimulat menyinggung Orde Baru. Jadi, ini sudah ada sejak dulu," ujar mantan penyiar Hard Rock FM itu.

Meski begitu, Pandji tak menganggap persoalan itu hal sepele. Itulah kenapa ketersinggungan bakal jadi tema utama tur stand-up comedy yang rencana digelar Panji dan rekan-rekan komika di berbagai kota di Tanah Air tahun ini. 

Menurut Pandji, tema itu diambil demi membiasakan publik tersinggung dengan bijak. Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir, banyak rekan komikanya yang dipersekusi kelompok masyarakat lantaran materi-materi lelucon mereka. 

"Enggak apa-apa sebenarnya tersinggung. Cuma yang mesti diakali adalah bagaimana menunjukkan ketersinggungannya, semisal dia tersinggung lalu ingin melakukan tindakan kekerasan terhadap orang yang nyinggung. Itu enggak boleh," ujarnya.

Perkara ketersinggungan yang berujung perundungan dan persekusi memang kerap menimpa para komika. Pada Oktober 2018 misalnya, Tretan Muslim dan Coki Pardede dirisak karena vlog "Memasak Babi Campur Kurma" yang mereka tayangkan di akun Youtube, The Last Hope Kitchen. 

Dalam video itu, Tretan dan Coki memparodikan memasak daging yang dianggap haram oleh umat Islam dengan bahan-bahan yang khas Arab. Maksud hati mereka ialah mengkritik budaya kearab-araban yang mewabah di masyarakat Indonesia. 

Namun, kritik itu tak sampai ke telinga audiens. Alih-alih diapresiasi, keduanya dianggap menista agama. Choki dan Trestan bahkan mengaku dihujat dan diancam dibunuh. Buntutnya, keduanya memutuskan mundur dari Majelis Lucu Indonesia, manajemen mereka saat itu.

Pengalaman serupa dialami komika Ge Pamungkas dan mantan penyanyi cilik yang kini mendalami profesi sebagai stand-up comedian Joshua Suherman pada 2018. Joshua bahkan dilaporkan ke polisi karena dianggap melecehkan Islam. 

Saat open mic di sebuah panggung stand-up, Joshua membandingkan nasib Anisa Rahma dengan Cherly, dua mantan anggota girl band Cherrybelle. Menurut Joshua, Anisa lebih tenar karena memeluk agama mayoritas. "Makanya Cher, Islam," kata dia. 
 
Jauh sebelum Choki dan Trestan, perundungan juga dialami Sacha Stevenson, komedian yang kini berkarier sebagai Youtuber. Pada 2014, Sacha memparodikan fenomena politikus yang menjual agama demi meraup suara di pemilu. 

Vlog bertajuk "Agama Jualan" itu dihujat warganet. Sacha pun terpaksa meminta maaf dan menyensor sebagian besar isi video. Ketika itu, Sacha mengatakan, kian sulit bagi komedian di Indonesia untuk membuat lelucon soal agama. 

"Tetapi memungkinkan untuk membuat lelucon itu, misalnya, kalau lihat ceramahnya Abdul Somad. Dia komedian sebetulnya. Dia buat lelucon terus soal agama, semua orang terima dan tertawa. Kalau saya yang melakukan itu sekarang, saya malah dimarahi," katanya seperti dikutip BBC Indonesia

Komika Pandji Pragiwaksono. Foto Instagram @pandji.pragiwaksono

Indikasi nyata turunnya kualitas demokrasi

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Jati mengatakan perundungan terhadap kaum komedian merupakan indikasi nyata menurunnya kualitas demokrasi. Menurut dia, persekusi kerap terjadi karena kritik yang dibalut humor tidak bisa dicerna oleh audiens. 

"Yang dilakukan Tretan Muslim dan Coki Pardede itu kan lebih kritik sosial yang dibalut humor dan cara mereka itu sangat cerdas. Artinya, kalau ada orang yang melakukan persekusi terhadap seorang komika, berarti orang itu tidak cerdas dalam melihat suatu isu. Dan, saya jamin orang itu tidak memahami esensi kritik sosial," jelas Warsisto kepada Alinea.id, Selasa (4/2).

Wasisto mengatakan, perundungan juga terjadi karena pengaruh polarisasi politik yang terjadi di kalangan komedian pada era pemilu. Ia mencontohkan kedekatan komedian Lies Hartono (Cak Lontong) dengan Presiden Joko Widodo dan Pandji dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Menurut dia, kedekatan berbau kepentingan politis itu mempengaruhi cara pandang publik terhadap lelucon-lelucon kritis para komika. Padahal, belum tentu materi yang disampaikan komika saat open-mic berbasis kepentingan politik. 

"Sekarang kita lagi miskin seorang komika yang idealis secara prinsip. Beberapa perundungan itu (terjadi) karena sekarang masyarakat menangkap kritik yang disampaikan para komika itu sebagai bahan kompetisi dan bukan bahan koreksi," ujar dia. 

Namun demikian, pandangan Wasisto dibantah oleh Panji. Menurut Pandji, masih banyak komika yang rajin mengkritik kinerja pemerintahan. Ia mencontohkan nama komika Sammy Notaslimboy dan Abdur Arsyad. 

"Orang-orang ini sering mengkritisi pemerintah. Jadi, anggapan itu bisa benar, tapi sebenarnya enggak juga. Karena mungkin kebanyakan komedian yang dikenal adalah yang pro-Jokowi saja," ujarnya.

Warga melintas di depan mural wajah-wajah Presiden Indonesia dari Sukarno hingga Joko Widodo di Kota Bogor, Jawa Barat, Minggu (19/1). Foto Antara/Yulius Satria Wijaya

Humor penting bagi demokrasi 

Komika Reza Rahasia menilai perundungan yang dialami para komedian merupakan pertanda masyarakat belum bisa dewasa menghadapi kritik. Apalagi, materi-materi dalam stand-up comedy cenderung lebih "bebas" ketimbang jenis lawak lainnya. 

"Saya melihat ini soal beberapa orang yang belum berdamai dengan dirinya dan belum open minded. Karena stand-up comedy adalah komedi untuk orang-orang dengan karakter terbuka," ujarnya kepada Alinea.id, Selasa (4/2).

Reza mengawali karier komedi tunggalnya di berbagai cafe di Kemang Jakarta Selatan. Meskipun belum pernah dirisak, ia mengaku, kini lebih selektif dalam menyampaikan materi. Ia tak ingin bernasib serupa dengan Trestan dan Coki. 

"Lebih kreatif lagi untuk membalut kritik secara halus dan cerdas. Kasus Coki dan Muslim membuat saya lebih berhati-hati membuat materi dan lebih selektif melihat crowd. Saya dituntut lebih cerdas dalam mengangkat tema atau hal lain yang tidak membuat demokrasi orang lain terganggu," tuturnya. 

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Pernyataan serupa diutarakan komedian senior Indrodjojo Kusumonegoro alias Indro Warkop. Menurut dia, perundungan yang dialami para komika merupakan potret bahwa masyarakat Indonesia belum sepenuhnya paham pentingnya humor bagi demokrasi.

"Gampangnya, intinya, kita semua belum paham betul apa arti demokrasi yang sebenarnya. Sebenarnya stand-up comedy itu agak liberal. Tapi, kami memberi mereka pegangan juga terkait sifat-sifat audience di Indonesia itu seperti apa," ujarnya kepada Alinea.id, Rabu (5/2).

Sebagai sebuah seni, Indro menjelaskan, materi stand-up comedy cenderung tak dibatasi. Namun demikian, kebebasan mengkritik itu kerap tak sejalan dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang memegang kuat adat ketimuran. 

Alhasil, lanjut Indro, konflik kerap muncul saat komika mengulas hal-hal yang dianggap tabu dalam materi lelucon mereka. "Terkadang komikanya juga agak memaksakan kehendak, meskipun sebenarnya niat atau bahan-bahannya baik," imbuh dia.

Soal preferensi politik para komika, Indro mengatakan, hal itu tak perlu dipersoalkan. "Semuanya sangat tergantung bagaimana cara kita memandang materi yang disampaikannya," ujar mantan juri Stand Up Comedy Indonesia itu. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan