Sebelum hari pencoblosan Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak, pasangan Ganjar Pranowo dan Taj Yasin banyak diunggulkan oleh lembaga survei. Mereka digadang-gadang akan menang telak menggulung pasangan Sudirman Said dan Ida Fauziyah. Tak tanggung-tanggung, beberapa lembaga survei memprediksi rata-rata persentase kemenangan telak Ganjar-Yasin sebesar 70% berbanding 30% dari pasangan Sudirman-Ida.
Alasannya, tak lain karena pasangan Ganjar-Yasin lebih dikenal dan populer ketimbang pasangan Sudirman-Ida. Hal ini tak mengherankan, karena Sudirman dan Ida sendiri selama ini lebih sering berada di Jakarta daripada Jawa Tengah.
Sudirman dulunya adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dari Oktober 2014 sampai Juli 2016. Sementara Ida adalah anggota DPR-RI di komisi I dan anggota Badan Anggaran di periode 2014-2019.
Namun, prediksi lembaga-lembaga survei tersebut dimentahkan hasil hitung cepat yang dilakukan saat hari pencoblosan. Ganjar-Yasin yang sebelumnya diprediksi menang telak hanya menang tipis dari pasangan Sudirman-Ida.
Dari hasil hitung cepat SMRC misalnya, Ganjar-Yasin mendapatkan 58,6% suara, sementara Sudirman-Ida memperoleh suara sebanyak 41,4%. Ganjar sendiri mendulang suara dominan di 31 dari 35 kabupaten dan kota se-Jawa Tengah. Sementara Sudirman mendapatkan suara di daerah-daerah seperti Brebes, Kebumen, Purbalingga, dan Tegal.
Tak hanya hasil hitung cepat. Belakangan, saat rapat pleno KPU sementara, kendati dikatakan menang, namun Ganjar gagal jadi kampiun dengan suara telak. Data KPU menyebutkan, dari perhitungan sepuluh kota/ kabupaten hingga Minggu pukul 10.00 WIB, Ganjar masih unggul.
Sudirman memang memiliki rumah dan lahir di Brebes, sebuah kota di Pantai Utara (Pantura) Jawa Tengah. Saat Pilkada berlangsung, ia hanya memantau Pilkada dari rumahnya. Ia tak bisa mencoblos karena KTP-nya masih KTP DKI Jakarta. Faktor Sudirman yang lahir dan memiliki rumah di Brebes menjadi salah satu alasan mengapa suaranya bisa terdongkrak di Brebes.
Sementara di daerah Tegal, suara Sudirman unggul karena basis massa PKB, salah satu partai pengusung Sudirman-Ida. Sebelumnya, PKB mendapatkan dua belas kursi pada Pemilihan Legislatif (Pileg) tahun 2014 di Tegal.
Yang mengejutkan, Ganjar-Yasin kalah di lumbung suara PDIP, Purbalingga. Padahal, dalam pilkada 2013 lalu, berdasarkan data yang diolah dari KPU, pasangan Ganjar-Heru mendapatkan suara 68% dan PDIP memperoleh sebelas kursi pada Pileg 2014 di daerah Purbalingga.
Purbalingga selama ini dikenal sebagai kandang banteng. Hal ini dibuktikan dengan perolehan suara PDIP di Purbalingga selama tiga periode berturut-turut. Sejak Pileg 2004, PDIP memperoleh suara terbanyak di Purbalingga.
Rontoknya suara Ganjar di Purbalingga bisa dilihat sebagai respons masyarakat atas OTT yang dilakukan KPK pada Bupati Tasdi yang merupakan kader PDIP, partai tempat Ganjar bernaung. Tasdi menjabat sebagai Bupati Purbalingga sejak 2014 dan diciduk oleh KPK pada 4 Juni 2018, kurang dari sebulan sebelum hari pencoblosan di Pilkada.
Ali Munhanif, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menyebutkan, jika dibanding dengan kepala daerah yang lain, sebenarnya prestasi ganjar tak terlalu membanggakan. “Bahkan nama dia tersalip oleh kepala daerah tingkat dua. Di situlah, masalah-masalah yang jadi PR Ganjar tak terselesaikan,” kata Ali.
Selama lima tahun kepemimpinannya, Ganjar memang memiliki beberapa masalah terkait kebijakannya pada warga Jawa Tengah. Seperti misalnya kebijakan Ganjar untuk memberikan izin pada PT Semen Indonesia yang digugat oleh petani Kendeng yang berada di Rembang.
Ganjar dan istri menggunakan hak pilihnya dalam Pilgub Jateng./ Antarafoto
Dalam kasus tersebut, Mahkamah Agung telah mengabulkan gugatan warga Kendeng untuk membatalkan izin pabrik semen yang dikeluarkan Ganjar tersebut. Namun, alumni UGM ini tak kehabisan akal. Ia mengeluarkan lagi izin pembangunan baru dengan sedikit perubahan wilayah.
Petani Kendeng pun memprotes Ganjar sampai ke Jakarta. Mereka melakukan aksi menyemen kedua kaki mereka sebagai ekspresi menolak pembangunan pabrik PT Semen Indonesia yang akan menghancurkan gunung karst dan merusak sumber mata air mereka. Walau begitu, Ganjar tetap keras kepala dan kukuh memberikan izin bagi PT Semen Indonesia untuk membangun pabriknya.
Menariknya, dari berbagai aksi protes petani Kendeng tersebut, saat Pilkada berlangsung Ganjar berhasil mengalahkan Sudirman di wilayah Rembang. Kemenangan Ganjar di Rembang tersebut bisa terjadi karena ia menggandeng Taj Yasin sebagai wakil gubernurnya.
Taj Yasin adalah anak dari ulama kharismatik Jawa Tengah, KH Maimoen Zubair. Ia sendiri lahir dan besar di Rembang. Figur Yasin merupakan anak kiai dari Rembang tersebut, pada akhirnya mendongkrak suara Ganjar-Yasin untuk memenangkan suara di wilayah Rembang.
Selain kasusnya dengan petani Kendeng, namanya juga disebut oleh terdakwa kasus korupsi pengadaan KTP-el Setya Novanto, sebagai salah satu penerima jatah duit proyek KTP-el. Ganjar disebut menerima uang sebesar US$ 500 ribu.
“Menurut saya, problem Ganjar disebut oleh KPK dalam KTP-el sangat berpengaruh pada mobilisasi lawan,” ucap Ali Munhanif. Disebutnya nama Ganjar dalam korupsi KTP-el dimanfaatkan lawan politiknya di pemilihan Gubernur Jawa Tengah, Sudirman Said dengan baik.
Dalam berbagai kesempatan, Sudirman beserta tim suksesnya terus memanfaatkan isu KTP-el tersebut sebagai bahan untuk menjatuhkan Ganjar. “Mengapa lawan politik Ganjar lebih berhasil mendongkrak suara dalam waktu cepat? Kasus korupsi KTP-el yang menyeret nama Ganjar, saya kira menjadi tolak ukur mengapa proses politik Jawa Tengah sangat merugikan Ganjar,” kata Ali.