Tiga skenario pilpres 2019, siapa ‘Kuda Hitam’?
Januari lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak uji materi pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal ini mengatur tentang ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang harus dipenuhi parpol atau gabungan parpol saat mengusung calon presiden (capres), yakni minimal 20% kursi DPR. Karena tahun ini pilpres dan pilkada digelar serentak, maka penentuan kursi menggunakan hasil dari pemilihan legislatif 2014. Alhasil, dari sekarang sudah bisa dipetakan skenario yang mungkin terjadi pada pilpres 2019 mendatang.
Lembaga survei Indobarometer menyusun tiga skenario yang terjadi, berdasarkan survei teranyarnya tanggal 23 sampai 30 Januari 2018. Survei ini sekaligus memotret konstelasi calon ditinjau dari aspek psikologis, ideologis, dan kompetensi khusus yang dimiliki masing-masing kandidat. Yang menarik, tiga skenario ini selalu menempatkan presiden incumbent sebagai opsi utama.
Skenario pertama yakni pilpres hanya akan mengulang pertandingan usang layaknya pesta demokrasi 2014 lalu. Jokowi dan Prabowo diperkirakan akan bertanding ulang dengan mengusung cawapres dengan 11 varian simulasi. Skenario ini muncul seiring dengan perang wacana dan koalisi pilkada yang sudah mulai teraba. Sejumlah nama yang diperkirakan bersanding dengan Jokowi antara lain Gatot Nurmantyo (38,4%), Tito Karnavian (37%), Budi Gunawan (34,6%), Sri Mulyani Indrawati (36,8%), dan Agus Harimurti Yudhoyono (38,6%). Sementara Prabowo diduga akan berkongsi dengan Anies Baswedan, dengan rata-rata keterpilihan sebanyak 22%.
Dalam skenario pertama, Prabowo memang lebih condong menggandeng Gubernur Jakarta tersebut. “Figur Anies dipandang paling kuat jika ingin menjegal Jokowi di kontestasi pilpres. Alasannya, ia diuntungkan dari posisinya sebagai orang nomor satu di Jakarta, di mana semua media berburu berita tentangnya, semua kebijakan pun disorot. Ini semakin menguatkan hipotesis kami, bahwa kuda hitam yang dimaksud dalam pilpres 2019 adalah Anies Baswedan,” ujar Direktur Eksekutif Indobarometer, Muhammad Qodari, Kamis (15/2) di Hotel Century Park, Jakarta.
Hal ini dibantah Aryo Djojohadikusumo, anggota komisi VII DPR, sekaligus politisi Gerindra. Menurutnya skenario apapun masih dimungkinkan, tak harus sosok Anies Baswedan yang mendampingi. Pun bisa jadi, Prabowo tak maju lagi dalam pilpres 2019.
“Tentu akan banyak kejutan di pilpres 2019 nanti. Apalagi dengan sistem ambang batas presiden, maka Gerindra bisa berkoalisi dengan siapapun. Partai lain pun bisa berkoalisi dan memang harus berkoalisi, jika akan mengusung capres. Akan lebih menarik lagi, jika ada partai dalam lingkaran kekuasaan yang lompat pagar, konstelasinya mungkin bisa berubah,” tuturnya.
Skenario kedua yang mungkin terjadi adalah pilpres akan diikuti dua pasangan calon (paslon). Pertama paslon Jokowi-Prabowo, dengan keterpilihan rata-rata di atas 55%. Lawannya yang paling kuat adalah Anies Baswedan (12,1%), Gatot Nurmantyo (7,8%), Agus Harimurti Yudhoyono (5,3%), Budi Gunawan (2,5%). Yang menarik, nama Jusuf Kalla (JK) menyeruak sebagai capres, jika Jokowi dan Prabowo memutuskan berkongsi di pilpres nanti. JK muncul karena ia dipandang sebagai sosok yang sudah teruji kinerjanya, lihai dalam lobby politik, dan dekat dengan kalangan Muslim. Namun keterpilihan JK tetap tak bisa mengungguli Jokowi, karena hanya sekitar 3,6%.
Baiknya persepsi dan elektabilitas tinggi Jokowi ini menurut Nusron Wahid, politisi Golkar, tak bisa dilepaskan dari figur dan kinerjanya sebagai pemimpin. “Pak Jokowi ini sosok yang berbeda dengan SBY, yang sibuk berburu voters dengan menggulirkan kebijakan jangka pendek seperti bantuan langsung tunai (BLT). Jokowi justru memikirkan rencana jangka panjang dengan pembangunan infrastruktur,” tuturnya.
Hal itu ditempuh Jokowi untuk meningkatkan daya saing negara di berbagai bidang, khususnya ekonomi. Seperti yang jamak dimafhumi, isu yang menjegal Jokowi kebanyakan memang tak jauh dari isu ekonomi. “Popularitas Jokowi sempat merosot pada September 2015, karena ia menelurkan kebijakan tak populis, menaikkan harga BBM. Ini juga terjadi di era SBY pada 2008, yang membuat popularitasnya akhirnya kalah dengan Mega di survei setelahnya,” ujar Qodari.
Harga BBM naik, sembako belum stabil, lapangan pekerjaan tak merata, jadi isu penting yang membayangi Jokowi dalam perhelatan pesta demokrasi 2019. Kendati ini merupakan isu ekonomi makro yang berkelindan dengan kondisi makro internasional, namun Aryo melihatnya sebagai problem yang krusial. “Riset Bank Dunia menyatakan, dengan kondisi ekonomi yang demikian, lalu diikuti kasus gizi buruk yang menyerang 38% anak Indonesia, bagaimana mungkin Jokowi masih memikirkan pembangunan fisik,” timpal Aryo.
Wajar, lanjutnya, jika elektabilitas Jokowi di mata koresponden tak pernah meroket di angka 90-an% seperti angka popularitasnya. “Sementara jika Prabowo hendak maju, saya kira peluang untuk naik elektabilitasnya masih terbuka. Jarang tampil di media, belum terlihat kinerjanya, namun persepsi masyarakat terhadapnya sudah 22%. Bagaimana kalau berbuat sesuatu,” imbuh Aryo berseloroh.
Elektabilitas Jokowi dan Prabowo yang selalu dikaitkan ini, akhirnya menimbulkan skenario ketiga, di mana lagi-lagi Jokowi akan melawan Prabowo sebagai capres. Yang berbeda, menurut riset Indobarometer, akan ada satu lagi capres yang bertanding dan menjadi competitor Jokowi dan Prabowo. ‘Siapa orangnya kita belum tahu, yang pasti ini ditentukan dari para ‘king maker’ yakni Megawati, SBY, dan JK,” ungkap Qodari.
Para ‘king maker’ mungkin akan memunculkan nama pesaing Jokowi dan Prabowo, jika mereka belum diwadahi dua kandidat kuat ini dalam koalisi yang dibentuk. “PDIP memiliki 109 kursi atau setara 19% di legislatif. Jika ia mau mengusung calon di luar Jokowi masih sangat mungkin. Dengan catatan ia harus menggandeng dua partai medioker, seperti PAN dan PKB. Demikian halnya dengan Demokrat peraih kursi 11%, yang bisa mengajukan calon sendiri, dengan menggandeng sejumlah partai lain. Untuk JK, ia disebut ‘king maker’ karena kekuatan komunikasi politiknya. Tak heran jika pencalonan Anies Baswedan tiba-tiba muncul di pilkada Jakarta tempo lalu, berkat lobby JK,” pungkas Qodari.
Riset penentuan tiga skenario Indobarometer sendiri dilakukan dengan menggunakan metode wawancara tatap muka terhadap 1.200 responden, dari 34 provinsi. Riset ini memiliki tingkat kepercayaan sekitar 95%, dengan margin of error sebesar 2,83%.