close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Tim Asistensi Hukum Menko Polhukam dibentuk untuk melakukan kajian menyoal ucapan atau tindakan melawan hukum. Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Tim Asistensi Hukum Menko Polhukam dibentuk untuk melakukan kajian menyoal ucapan atau tindakan melawan hukum. Alinea.id/Oky Diaz.
Politik
Senin, 13 Mei 2019 18:47

Tim hukum Wiranto, upaya redam lawan politik gaya Orba?

Salah satu tugas Tim Asistensi Hukum Menko Polhukam adalah melakukan kajian dan asistensi hukum menyoal ucapan dan tindakan melanggar hukum.
swipe

Pada Kamis (9/5) Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengumumkan terbentuknya Tim Asistensi Hukum Menko Polhukam. Tim ini terdiri dari pakar hukum, kepolisian, dan kementeriannya.

“Sejak hari ini mereka sudah bekerja. Kan hari ini sudah rapat,” kata Wiranto usai rapat koordinasi terbatas tingkat menteri membahas koordinasi pelaksanaan tugas Tim Asistensi Hukum Kemenko Polhukam di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Kamis (9/5).

Pembentukan tim ini berdasarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 38 Tahun 2019 tentang Tim Asistensi Hukum Kemenko Polhukam. Surat keputusan ini sendiri sudah diteken Wiranto pada 8 Mei 2019.

Berdasarkan surat keputusan tersebut, ada tiga hal yang akan dikerjakan Tim Asistensi Hukum Kemenko Polhukam. Pertama, melakukan kajian dan asistensi hukum menyoal ucapan dan tindakan yang melanggar hukum setelah Pemilu 2019, untuk menentukan bisa atau tidak dilakukan penegakan hukum.

Kedua, menyampaikan perkembangan pelaksanaan tugas tim kepada Menko Polhukam selaku ketua pengarah. Ketiga, memberikan rekomendasi kepada aparat penegak hukum guna menindaklanjuti kajian hukum sesuai kewenangan.

“Jadi, jangan ada tuduhan Wiranto kembali ke Orba, Pak Jokowi diktator, enggak ada. Justru kehadiran ahli hukum ini membantu kami menjamin bahwa kami bukan diktator. Kami hanya menegakkan hukum yang sudah kita sepakati bersama,” kata Wiranto seperti dikutip dari Antara, Kamis (9/5).

Tim Asistensi Hukum Menko Polhukam ini akan bekerja sejak 8 Mei hingga 31 Oktober 2019.

Cegah perpecahan

Ada 24 orang yang masuk ke dalam Tim Asistensi Hukum Menko Polhukam. Guru besar Universitas Krisnadwipayana Indriyanto Seno Adji merupakan salah seorang anggotanya.

Sejak pelaksanaan pemilu medio bulan lalu, aksi dan ucapan bernada politis dan inkonstitusional marak terjadi. Maka, kata Indriyanto, kerja tim ini untuk meredam pernyataan-pernyataan yang berpotensi memberikan dampak buruk bagi masyarakat. Menurut Indriyanto, tim ini sudah bekerja untuk menelisik beberapa aksi massa yang belakangan terjadi dalam perspektif konstitusional.

"Posisi para pakar dalam Tim Asistensi Hukum adalah membantu mengadvis (memberikan pendapat) hukum kepada aparat penegak hukum pascapilpres, agar tidak menimbulkan kesan adanya kriminalisasi politik terhadap siapa pun," kata Indriyanto saat dihubungi reporter Alinea.id, Minggu (12/5).

Lebih lanjut, Indriyanto menuturkan, di media sosial bertebaran pernyataan yang mengarah ke rusaknya persatuan bangsa. Selain itu, ada beberapa tokoh dan aksi yang terindikasi akan memperpanas suasana politik. Atas dasar itu, pembentukan Tim Asistensi Hukum, kata Indriyanto, memiliki tujuan mencegah benih-benih perpecahan.

Indriyanto mengingatkan, meski Indonesia menganut sistem demokrasi, tetapi demokrasi yang dianut Indonesia bukan kebebasan tanpa batas. Demokrasi Indonesia, sebut Indriyanto, merupakan demokrasi yang berbatas. Meski begitu, ruang kritik terhadap pemerintah tetap dibuka, asal disalurkan melalui mekanisme konstitusional.

"Negara juga tetap menjamin dan tidak boleh mengabaikan kebebasan dalam sistem demokrasi ini," ucap mantan pelaksana tugas Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini.

Ia mengatakan, tindakan untuk menjamin prinsip keadilan di dalam hukum, tak boleh dipandang sebagai langkah represi pemerintah. Upaya pendekatan politis-sosiologis, menurut Indriyanto, harus dimaknai sebagai usaha pencegahan agar aksi dan pernyataan yang disebar ke publik tak melenceng dari etika politik dan demokrasi.

"Sekali lagi, pendekatan penegakan hukum dengan basis due process of law (dasar proses hukum) tidak bisa dipersepsikan sebagai tindakan represi," kata dia.

Menko Polhukam Wiranto (tengah depan) bersama Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto (ketiga kiri depan), Kapolri Jenderal Tito Karnavian (keempat kanan depan), Mendagri Tjahjo Kumolo (ketiga kanan depan), Ketua Bawaslu RI Abhan (kedua kanan depan), Jaksa Agung Jaksa Agung Muhammad Prasetyo (kanan depan), Menkominfo Rudiantara (kiri depan) dan Ketua KPU Arief Budiman (kiri) serta pejabat lainnya berpose bersama saat mengikuti rapat koordinasi kesiapan akhir pengamanan tahapan pemungutan dan perhitungan suara Pileg dan Pilpres Tahun 2019 di Jakarta, Senin (15/4). /Antara Foto.

Bias

Pembentukan Tim Asistensi Hukum Menko Polhukam mendapatkan respons dari publik. Sejumlah organisasi ikut melontarkan pendapatnya terhadap pembentukan tim tersebut.

Salah satunya datang dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komisioner Mediasi Komnas HAM Munafrizal Manan tak setuju dengan langkah Wiranto membentuk Tim Asistensi Hukum. Menurut Munafrizal, tim itu terlampau jauh mengurusi tugas lembaga negara lain, yang menjalankan fungsi serupa.

"Tugas yang diamanatkan kepada Tim Asisten Hukum bentukan Menko Polhukam seperti melaksanakan tugas kuasi penyelidikan. Artinya, Tim Asisten Hukum juga seolah-olah sebagai kuasi penyidik," kata Munafrizal dalam konferensi pers di Kantor Komnas HAM Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat, Jumat (10/5).

Komnas HAM juga mempersoalkan dasar hukum membentuk Tim Asistensi Hukum. Tugasnya yang mirip dengan fungsi penyelidikan dan penyidikan, kata Munafrizal, tak cukup bila hanya dibentuk atas dasar keputusan Menko Polhukam.

Jika pemerintah serius, kata Munafrizal, seharusnya dibentuk melalui aturan setingkat undang-undang (regeling). "Tidak tepat jika hanya dibentuk melalui keputusan Menko Polhukam," kata Munafrizal.

Munafrizal melanjutkan, dalam konteks ini, ia menyarankan agar kerja tim asistensi hukum tak terlalu jauh mencampuri fungsi penegak hukum. Apalagi, kasus yang disidik juga masih sangat sumir. Misalnya, ajakan people power.

Menurutnya, meski ada tindakan yang mengarah pada kekuatan politik untuk mendelegimasi kekuasaan yang sah, tetapi hal itu menjadi kewenangan penegak hukum.

"Soal people power sendiri ada perbedaan tafsir. Supaya kita tidak terlalu jauh dari prinsip demokrasi dan HAM, people power itu nanti biarlah menjadi tugas penegak hukum," ucap Munafrizal.

Senada dengan Munafrizal, dihubungi terpisah, pengamat sosial politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun melihat, tim bentukan Wiranto membuat kerja penyidikan penegak hukum jadi bias. Sebab, kerja penyidik akan dibayang-bayangi Tim Asistensi Hukum, yang merupakan ahli hukum terkemuka.

Menurutnya, pola relasi kerja antara penegak hukum dan tim asistensi tak baik untuk penegakan hukum. Alasannya, kata Ubedilah, keduanya menjalankan tugas yang hampir sama, yakni tugas yudikatif.

Presiden Joko Widodo (tengah) dan Menkopolhukam Wiranto (kiri) bersiap mengikuti rapat terbatas tentang ketersediaan anggaran dan pagu indikatif tahun 2020 di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (22/4). /Antara Foto.

Mirip Orde Baru

Ubedilah Badrun merupakan mantan aktivis gerakan mahasiswa 1998 dan pendiri Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ). Ia tentu mengalami represi dan kontrol rezim pemerintah Orde Baru. Dengan pembentukan Tim Asistensi Hukum Kemenko Polhukam, Ubedilah mengatakan, respons pemerintah menyikapi perbedaan pendapat mirip dengan yang dilakukan Orde Baru.

Ubedilah menuturkan, Tim Asistensi Hukum dikemas seolah-olah sangat konstitusional. Namun, tujuannya sama-sama membungkam kritik terhadap kekuasaan.

"Tentu berbeda dengan Orba, tapi agak mirip. Yang sama adalah substansinya bahwa upaya yang dilakukan Menko Polhukam adalah upaya membungkam kelompok kritis," kata Ubedilah saat dihubungi, Senin (13/5).

Lebih jauh lagi, kata Ubedilah, keputusan Menko Polhukam membetuk Tim Asistensi Hukum juga akan berimbas pada indeks demokrasi. Sebab, menurutnya, yang akan muncul di benak publik, ada pembatasan untuk menyampaikan pendapat di muka umum.

Cara pemerintah mengelola perbedaan pendapat, kata Ubed, salah kaprah. Tindakan pemerintah terlalu berlebihan, sehingga pikiran mesti diawasi.

"Selain itu Menko Polhukam merendahkan para profesor karena ditugasi mengawasi kata-kata yang dilontarkan tokoh. Ini seperti satpam kata-kata," kata dia.

Tim Asistensi Hukum Menko Polhukam terdiri dari 24 orang pakar hukum, kepolisian, dan kementerian.

img
Armidis
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan