Tokoh profesional berebut tahta Cawapres Jokowi
Kinerja pemerintahan Joko Widodo-Muhammad Jusuf Kalla di bidang ekonomi tak begitu mengesankan.
Empat tahun Jokowi memegang tampuk kekuasaan. Namun, sejumlah target pemerintah di sektor ekonomi yang dikampanyekan saat Pilpres 2014 belum kunjung terwujud.
Misalnya saja, janji pertumbuhan ekonomi bakal digenjot naik 7% belum terealisir selama empat tahun masa jabatan. Angka pertumbuhan ekonomi beringsut pelan di level plus minus 5%.
Memang, tak dapat dipungkiri, kondisi ekonomi global sangat menentukan pergerakan roda bisnis di Tanah Air. Namun, pembangunan infrastruktur yang masif menjadi obat bagi rakyat saat janji-janji lain belum terbukti.
Sayangnya seiring begitu gencar Jokowi mengejar pembangunan infrastruktur, meroketnya posisi utang luar negeri Indonesia mendapat sorotan tajam dari masyarakat. Catatan saja, utang luar negeri Indonesia melonjak dari Rp2,604 triliun pada 2014 menjadi Rp4.849 triliun.
Saat Jokowi-JK terpilih pada 2014 silam, utang luar negeri Indonesia terbilang aman dengan rasio 24,2% dari gross domestic bruto (GDP). Sekarang, rasio utang luar negeri meningkat menjadi 34% dari PDB, meskipun masih jauh di bawah level tidak aman, yakni 60% dari PDB.
Pada sisi lain, keputusan Jokowi yang mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan mengalihkan ke sektor produktif, termasuk untuk infrastruktur dan pendidikan, berbuah pujian. Tiga lembaga pemeringkat internasional yang kredibel akhirnya menaikkan rating Indonesia menjadi investment grade setelah beberapa dekade.
Kondisi ekonomi pada pemerintahan Jokowi-JK direspons oleh masyarakat. Berdasarkan survei Media Survei Nasional (Median), menyatakan 37,9% dari 1000 responden menyebut Presiden Jokowi tak mampu mengatasi masalah ekonomi.
Pun begitu dengan Alvara Research Center yang merilis hasil survei kepuasan terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-JK. Bidang ekonomi menjadi titik lemah pemerintah dengan kepuasan penyediaan lapangan kerja 59,8%, pengentasan kemiskinan 58,1%, dan stabilitas harga 55,7%.
Terpisah, Saiful Mujani Research Consulting (SMRC), merilis tingkat kepuasan masyarakat terhadap kondisi ekonomi nasional mencapai 48,4%. Secara keseluruhan, SMRC merilis kepuasan masyarakat kepada kinerja pemerintah mencapai 74,3%.
Hasilnya, survei Indobarometer yang rilis pertengahan Februari 2018 menunjukkan, elektabilitas Jokowi masih di posisi tertinggi. Hal ini tak bisa dilepaskan dari figur Jokowi yang dinilai merakyat, humanis, dan tegas. Jokowi juga dianggap bisa menunjukkan kinerja nyata, lewat berbagai pembangunan infrastruktur yang telah dan tengah dilakoninya.
Ekonom Cawapres Jokowi
Berkaca pada Pilpres 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggandeng mantan Gubernur Bank Indonesia Budiono menjadi wakilnya. Saat itu, kondisi ekonomi Indonesia tengah menghadapi situasi krisis akibat kondisi ketidakpastian global.
Tentu saja, tokoh profesional dari bidang ekonomi menjadi salah satu dari sekian banyak latar belakang tokoh sebagai bahan pertimbangan. Tokoh profesional ekonomi menjadi kebutuhan yang penting apabila menilik kondisi Tanah Air saat ini.
Saat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mendeklarasikan Joko Widodo untuk kembali bertarung pada Pilpres 2019, partai itu belum menyebutkan calon wakil presiden pendampingnya. Sejumlah nama calon pendamping Jokowi pun bermunculan.
Tokoh yang diproyeksi dapat mendampingi Jokowi dari kalangan profesional terutama bidang ekonomi sangat sedikit muncul. Bahkan, pada hasil survei dari lembaga kredibel tidak muncul sama sekali nama tokoh berlatar belakang profesional bidang ekonomi.
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA yang merilis hasil survei pada Februari 2018, menyebut tokoh profesional sektor ekonomi berada pada posisi buncit sebagai pilihan Cawapres. Nama-nama tersebut di antaranya Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menteri Keuangan Sri Mulyani, pengusaha Chairul Tanjung dan pengusaha Aksa Mahmud.
IndoBarometer dalam survei awal Januari lalu mengungkapkan, Sri Mulyani berada di posisi enam dengan angka 1,8% dari simulasi 15 nama cawapres. Posisinya di bawah Anies Baswedan (10,0%), Gatot Nurmantyo (9,0%), AHY (8,7%) dan Ridwan Kamil (6,7%).
Adapun jika dia dipasangkan Jokowi, posisinya berada di urutan lima dari 11 pasangan lainnya, menurut IndoBarometer dalam survei awal tahun ini.
Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristianto pada Senin (26/3), mengaku belum membicarakan Cawapres Jokowi. Hingga kini, sudah ada lima parpol yang secara resmi merapat ke Jokowi, yaitu PDI Perjuangan, PPP, Partai Hanura, Partai Nasdem, dan Partai Golkar.
Sekretaris Jenderal DPP Partai Nasdem Jhonny G Plate menegaskan bahwa Jokowi sudah mengantongi nama calon wakil presiden untuk mendampinginya pada Pilpres 2019, namun menunggu momentum yang tepat untuk diumumkan.
"Saat ini sudah ada nama calon wakil presiden di Jokowi dan akan diumumkan pada saat yang tepat," kata Jhonny seperti dilansir Antara, Jumat (13/4).
Wakil Presiden Jusuf Kalla memutuskan untuk tidak ikut dalam perhelatan Pilpres 2019. Meski akan mendukung Jokowi pada periode kedua, JK ingin calon pendamping Jokowi dapat menambah elektabilitas.
"Ada kriteria pokok, menambah elektabilitas. Artinya tidak mengikuti elektabilitas Jokowi, tapi menambah konstituen. Harus baik, harus ada pemilihnya, dan harus ada yang dikenal," kata JK belum lama ini.
Pengamat Sosial Politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun, menilai Cawapres paling tepat untuk mendampingi Jokowi adalah tokoh yang memiliki rekam jejak di bidang ekonomi. Sebab, pekerjaan rumah yang besar ke depan adalah sektor ekonomi.
“Cawapres yang tepat mendampingi Jokowi adalah mereka yang memiliki kapasitas dan mampu menyelesaikan problem ekonomi Indonesia saat ini,” ujarnya.
Kendati demikian, Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, menilai tokoh profesional seperti Menkeu Sri Mulyani Indrawati belum tentu mendapatkan ruang di kancah politik.
Menurut dia, Sri Mulyani yang mendapatkan penghargaan sebagai menteri terbaik dunia pada 2018 itu belum tentu dapat diterima oleh partai politik. Terutama oleh Golkar yang memiliki latar belakang hubungan tak harmonis antara SMI dan mantan Ketum Golkar Aburizal Bakrie.
Selain itu, Sri Mulyani juga diperkirakan dapat memicu perlawanan dari partai utama pendukung Jokowi, yakni PDIP karena dinilai tidak pro ekonomi kerakyatan. Terlebih lagi, Sri Mulyani dinilai tak memiliki basis masa yang kuat.
Bertolak belakang, nama Sri Mulyani sebagai kandidat Wakil Presiden mendampingi Jokowi pada Pilpres 2019 justru muncul saat Rakornas Partai Golkar di Jakarta belum lama ini. Adalah Ketua Pemenangan Pemilu DPD Partai Golkar Jambi, Gusrizal yang mengusulkan agar Golkar mulai mendaftar Calon Wakil Presiden untuk mendampingi Jokowi.
Salah satu nama yang diusulkan adalah Sri Mulyani yang saat ini menjabat Menteri Keuangan. "Bisa Sri Mulyani, Bu Khofifah Indar Parawansa, atau Sri Sultan Hamengku Buwono X," kata Gusrizal.
Pendaftaran calon presiden dan wakil presiden 2019 akan dibuka Agustus 2018. Tersisa waktu kurang dari empat bulan bagi partai politik untuk menentukan koalisi dan mengajukan nama calon RI 1 dan RI 2. Kita tunggu saja.
Bersambung ke tulisan 4
Baca juga tulisan 1, Tokoh militer mengintip peluang RI-2,
dan tulisan 2, Menimbang calon pemimpin dari tokoh agama.