close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi aksi Kamisan di depan Istana Negara. /Foto Antara
icon caption
Ilustrasi aksi Kamisan di depan Istana Negara. /Foto Antara
Politik - Hukum
Kamis, 24 Oktober 2024 15:57

Tragedi 1998 dan upaya mendorong penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu

Penyelidikan Komnas HAM pada 2003 terhadap peristiwa kerusuhan Mei 1998, ditemukan terjadi pelanggaran HAM berat.
swipe

Usai dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto pada Senin (21/10), Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menuai polemik karena pernyataannya bahwa peristiwa 1998 bukan pelanggaran HAM berat.

Tak lama, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (22/10), Yusril mengklarifikasi pernyataannya itu. Menurutnya, tragedi 1998 yang menandai lengsernya Presiden Soeharto dan awal reformasi itu, tidak ada genosida dan ethnic cleansing atau pembersihan etnis, yang termasuk kategori pelanggaran HAM berat.

Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah membantah pernyataan Yusril yang menyebut tragedi 1998 bukan pelanggaran HAM berat. Alasannya, berdasarkan penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM pada 2003 terhadap peristiwa kerusuhan Mei 1998, ditemukan terjadi pelanggaran HAM berat berupa serangan sistematis yang meluas berwujud pembunuhan dan kekerasan.

“(Terjadi) penganiayaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, perampasan kemerdekaan, dan penderitaan fisilk. Hasil penyelidikan tersebut, sudah disampaikan Kejaksaan Agung,” kata Anis kepada Alinea.id, Selasa (22/10).

Menyoal Kementerian HAM yang baru dibentuk, Anies menilai, tidak memiliki kewenangan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Sebab, bila merujuk Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang punya kewenangan penyelidikan dugaan pelanggaran Ham adalah Komnas HAM.

“Sementara penyidikan adalah jaksa agung dan peradilan atau memutus perkara itu adalah hakim-hakim ad hoc, melalui mekanisme pengadilan HAM,” ujar Anis.

Menurut Anis, Komnas HAM mendorong agar pemerintahan baru bisa menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM, melalui penegakan hukum lewat pengadilan HAM. Tujuannya, agar tidak terjadi impunitas atau kejahatan tanpa penghukuman.

“Selain itu, untuk memastikan bahwa korban mendapatkan hak atas keadilan, korban mendapatkan hak atas kebenaran, dan mendapatkan hak agar peristiwa yang sama tidak berulang kembali, serta mendapatkan hak atas pemulihan,” ucap Anis.

Untuk diketahui, pada 2023 lalu, mantan presiden Joko Widodo sudah mengakui 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu. Selain kerusuhan 1998, 11 pelanggaran HAM berat lainnya adalah peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari (Lampung) 1989, peristiwa Rumah Geudong (Aceh) 1989, peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998, peristiwa Trisakti dan Semanggi I dan II 1998-1999, peristiwa pembunuhan "dukun santet" (Banyuwangi) 1998-1999, peristiwa Simpang KKA (Aceh) 1999, peristiwa Wasior (Papua) 2001-2002, peristiwa Wamena (Papua) 2003), dan peristiwa Jambo Keupok (Aceh) 2003.

Sementara itu, dosen hukum HAM Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Manunggal Kusuma Wardaya sepakat bila Komnas HAM lebih berwenang menyelidiki dugaan pelanggaran HAM berat. Sedangkan dari sisi pemerintah, yang diberi ruang penyidikan adalah Kejaksaan Agung. Dia merasa, pernyataan Yusril yang menyarakan tragedi 1998 bukan pelanggaran HAM berat, telah keluar dari domain wewenang Kemenko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan.

“Seharusnya, kalau dalam hal ini, porsinya kementerian Yusril ini yang untuk mendorong Kejaksaan Agung melakukan penyidikan demi kepentingan pro justisia untuk penuntutan,” tutur Manunggal, Selasa (22/10).

Di sisi lain, keberadaan Kementerian HAM, kata Manunggal, bisa menjadi “tameng” pemerintah dalam komitmen penyelesaian dugaan pelanggaran HAM berat, jika turut mengemban kewenangan Komnas HAM dalam penyelidikan.

“Kalau Kementerian HAM mau mendorong itu, maka dia mendorong Kejaksaan Agung. Karena sama-sama bagian dari pemerintah untuk segera melakukan penyidikan atas penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM,” ucap Manunggal.

Manunggal berpandangan, Kementerian HAM lebih baik tidak cawe-cawe atau bertindak di luar domain, seperti yang dilakukan Yusril. Sebaiknya, Kemenko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan serta Kementerian HAM mendorong Kejaksaan Agung menindaklanjuti ke tahap penyidikan dari penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu, yang sudah diselesaikan Komnas HAM. Hal itu perlu dilakukan agar tidak terjadi “perang dingin” antara Komnas HAM dengan Kemenko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, serta Kementerian HAM.

"Penyelidikan Komnas HAM sudah diselesaikan, tapi dari tahun 2012 sudah enggak ada follow up. Bahkan di pemerintahan Jokowi 10 tahun ini  juga enggak ada," ucap Manunggal.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan