Ajakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia untuk jor-joran mengeksploitasi batu bara dianggap kontradiktif dengan rencana pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran) untuk beralih ke energi baru dan terbarukan (EBT). Bahlil terkesan tak serius menjalankan transisi energi.
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Madan (UGM) Fahmy Radhi menilai Bahlil seolah sedang mengikuti jejak Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) yang gemar mengeksploitasi energi fosil namun disertai slogan energi bersih. Ia menduga Bahlil juga sedang ditekan pengusaha batu bara untuk memberi kepastian bisnis tersebut.
"Bahlil masih atau memprioritaskan energi fosil. Ini jelas sangat bertentangan. Memang EBT itu mahal, tetapi itu (pengembangan EBT) kan harus dimulai," kata Fahmy kepada Alinea.id, Kamis (5/12).
Sebelumnya, Bahlil meminta agar para pengusaha tidak ragu-ragu mengembangkan industri batu bara. Ia berdalih energi berbasis fosil masih dibutuhkan meskipun pemerintahan Prabowo-Gibran menargetkan swasembada energi dengan dominasi energi berbasis EBT.
"Paradigma si Bahlil ini sama dengan Jokowi. Dia sama dengan Jokowi, dia ingin melakukan eksploitasi terhadap energi fosil, dalam hal ini, adalah batu bara. Kedua, ditekan oleh pengusaha batu bara yang sangat powerful," kata
Transisi energi, lanjut Fahmy, harus dimulai perlahan untuk mencapai target net zero emission (NZE) pada 2060. Memprioritaskan pengembangan EBT dalam bauran energi penting lantaran bahan bakar berbasis fosil kian langka.
"Tapi, kalau alasan teknologi itu mahal kemudian tidak mulai pengembangan EBT, nanti pada saatnya akan terjadi krisis energi. Di sisi lain, EBT kita belum siap," kata Fahmy.
Jika memiliki komitmen menghasilkan energi bersih, menurut Fahmi, Bahlil semestinya mewajibkan pengusaha batu bara 'menyulap' batu bara menjadi produk energi bersih seperti energi gas dalam tabung. Hal ini lebih tepat dibanding membiarkan menjual produk batu bara mentah hasil tambang.
"Semisal dia melarang ekspor batu bara kalau tidak diolah, seperti pelarangan ekspor biji nikel. Mereka (pengusaha) kan enggak bisa apa-apa sehingga pembangunan smelter berjalan. Hal yang sama bisa dilakukan dengan batu bara. Jadi, bisa dimanfaatkan menjadi energi bersih," kata Fahmy.
Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia (MITI) Mulyanto sepakat pengembangan teknologi menghasilkan EBT perlu dimulai meskipun biaya awal pengembangannya bakal mahal. Pemerintah tak semestinya memberi jaminan ke pengusaha untuk melanjutkan bisnis energi kotor.
"Faktanya bahwa EBT itu masih mahal, kecuali solar sel. Ini memang demikian. Namun, tidak berarti Indonesia belum mampu melaksanakan transisi energi," kata Mulyanto kepada Alinea.id, Kamis (5/12).
Mulyanto mengingatkan pemerintah sudah berkomitmen untuk ikut menurunkan emisi hingga nol pada 2060. Pernyataan Bahlil, menurut dia, kontradiktif dengan rencana tersebut.
"Kita sudah berkomitmen untuk itu, bahkan secara internasional. Kita khawatir kalau menteri ESDM ini tidak berniat atau tidak punya semangat untuk menjalankan komitmen EBT," kata Mulyanto.