close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sejumlah anggota masyarakat adat Sihaporas melaporkan kekerasan yang mereka alami dan trauma anak-anak mereka ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Jakarta, September 2024. /Foto Ist.
icon caption
Sejumlah anggota masyarakat adat Sihaporas melaporkan kekerasan yang mereka alami dan trauma anak-anak mereka ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Jakarta, September 2024. /Foto Ist.
Politik
Minggu, 08 September 2024 12:27

Trauma anak-anak Sihaporas di tengah konflik masyarakat adat vs TPL

Anak-anak ketakutan jika bertemu dengan patroli personel polisi di Sihaporas.
swipe

BA dan AA, dua anak pasangan Jhony Ambarita dan Nurinda Napitu, tak pernah lagi bisa tenang saat bertemu atau berpapasan dengan personel TNI atau Polri. Jika melihat polisi berseragam lengkap atau personel TNI di sekitar rumah mereka, kedua anak itu langsung kabur atau bersembunyi. 

"Anak saya yang (usianya) sepuluh tahun itu kelas 5 SD dan yang delapan tahun itu kelas 4 SD. Tetapi, (mereka) masih ketakutan kalau di jalan ketemu aparat," ujar Nurinda saat berbincang dengan Alinea.id via telepon, Kamis (4/9) lalu. 

Menurut Nurinda, ketakutan terhadap aparat membekas di benak BA dan AA setelah menyaksikan ayah mereka digelandang polisi pada 22 Juli 2024. Dini hari itu, rumah Jhony dan Nurinda di Lamtoras Sihaporas, Simalungun, Sumatera Utara, digeledah orang-orang tak dikenal. 

Pintu rumah mereka dijebol. Suami Nurinda bahkan sempat ditodong pistol. BA, putra Nurinda yang berusia 10 tahun, juga mengalami kekerasan. Kepalanya dibenturkan ke tembok oleh salah satu personel berbaju preman. 

"Anak saya juga dipiting lehernya oleh aparat sambil bilang, 'Diam kamu! Mau mati kamu?' Sejak itu, dia murung sampai sekarang," tutur perempuan berusia 38 tahun itu. 

Baru belakangan Nurinda tahu bahwa orang-orang berbaju preman itu adalah polisi dari Polres Simalungun. Mereka "berkunjung" untuk menangkap Jhony, Thomson Ambarita, Giovani Ambarita, Prado Tamba, dan Dosmar Ambarita. 

Kelima orang itu dikenal sebagai warga Sihaporas yang vokal menolak eksistensi PT. Toba Pulp Lestari (TPL) di wilayah mereka. Mereka menganggap perusahaan terus-menerus mencaplok lahan adat Sihaporas. Polisi melabeli Jhony dan kawan-kawan sebagai provokator. 

Trauma serupa, kata Nurinda, juga dialami anaknya yang berusia 8 tahun. Ketika Jhony ditangkap, AA berteriak-teriak histeris dan menangis. Selama dua hari setelah peristiwa itu, AA tak berani keluar rumah. "Setelah dibujuk baru mau sekolah," kata Nurinda. 

Guru-guru di sekolah juga tak membantu. Nurinda bercerita anak-anaknya kerap pulang dalam keadaan murung. Ada guru yang kerap menyindir ayah mereka yang kini dibui lantaran berani melawan PT TPL. 

"Saya akhirnya mengadu kepala sekolah kalau anak saya setiap pulang sekolah sering mengadu disindir guru sehingga dia malas sekolah. Akhirnya, kepala sekolah menegur guru itu," ucap Nurinda. 

Menurut Nurinda, ketakutan terhadap aparat menjalar di kalangan anak-anak di kampungnya. Ia meyakini anak-anak yang orangtuanya ditangkap polisi berbarengan dengan Jhony juga mengalami apa yang dirasakan BA dan AA. 

"Terlalu sering aparat masuk ke wilayah kami. Anak-anak jadi sangat takut. Situasi di tempat kami menjadi sangat mencekam bagi anak-anak kami. Kondisi kami makin terdesak," ucap Nurinda. 

Khawatir situasinya tambah parah, Nurinda kini telah mengadu ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). "Mereka akan bersurat ke Mabes Polri untuk memberi perhatian pada cara-cara kekerasan yang terjadi di Polres Simalungun. 

Konflik lahan antara masyarakat adat, perusahaan, dan pemerintah sudah terjadi di Sihaporas sejak 1913. Ketika itu, lahan adat Sihaporas sempat dipinjam pemerintahan kolonial Belanda untuk dijadikan perkebunan pinus. 

Saat Indonesia merdeka pada 1945, tanah adat Sihaporas tidak dikembalikan. Pemerintah Indonesia mengambil alih penguasaan atas lahan adat Sihaporas dan menjadikannya hutan negara. Sejak dikuasai PT TPL pada 1998, warga kesulitan berburu dan menjalankkan ritual. 

Komisioner Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengungkap pengacara masyarakat adat Sihaporas sudah mengirim surat pengaduan kepada Kompolnas. Ia berharap apa yang dialami anak-anak di Sihaporas jadi perhatian serius kepolisian.

"Kami sedang menunggu respons Polda (Sumatera Utara). Kami meminta Polda menindaklanjuti pengaduan masyarakat adat Sihaporas yang melaporkan dugaan kekerasan berlebihan aparat Polres Simalungun kepada masyarakat adat Sihaporas," ucap Poengky kepada Alinea.id, Kamis (5/9).

Selain persekusi yang berlebihan oleh personel Polres Simalungun, Poengky mengatakan Kompolnas juga mendapatkan laporan adanya dugaan diskriminasi. Laporan masyarakat adat kerap tak ditanggapi, sedangkan keluhat PT. TPL segera direspons Polres Simalungun. 

"Jika benar ada anggota Polres Simalungun yang melakukan kekerasan berlebihan dan diskriminasi, maka kami berharap para pelaku harus diproses pidana dan kode etik," ucap Poengky.
 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan