Ugal-ugalan lembaga survei: Serang kandidat lawan, unggulkan 'klien'
Juru bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo dan Mahfud MD (Ganjar-Mahfud) Sunanto mengaku heran melihat isi hasil survei Indo Barometer yang dirilis belum lama ini. Pria yang akrab disapa Cak Nanto itu kaget lembaga survei itu mencoba mengukur intelektualitas seseorang dengan menggunakan persepsi publik.
"Sehingga, menurut saya, survei semacam itu sangat membunuh karakter. Saya yakin masyarakat juga sudah memahami kapasitas sekelas profesor memiliki integritas dan tidak rendah intelektualnya," ucap Cak Nanto kepada Alinea.id, Rabu (22/11).
Sigi Indo Barometer merekam sejumlah alasan publik memilih cawapres. Kepintaran tokoh jadi salah satu alasan yang diungkap sekitar 16,6% responden. Pada aspek ini, Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, unggul ketimbang cawapres lainnya.
Gibran dipersepsikan 37,6% responden punya atribut kecerdasan dan intelektualitas tertinggi. Menkopolhukam Mahfud MD yang kini jadi pendamping Ganjar Pranowo nongkrong pada posisi kedua dengan 23,3%. Mahfud meraih gelar profesor saat usia 41 tahun. Di posisi paling bontot, Muhaimin Iskandar, pendamping Anies Baswedan, meraup 18%.
Indo Barometer merupakan lembaga survei besutan Muhammad Qodari. Pada 2021, bersama Seknas JokPro, Qodari mengusulkan perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga tiga periode. Ia meyakini wacana itu bisa direalisasikan lewat amandemen konstitusi.
Di sigi Indo Barometer, elektabilitas pasangan Prabowo-Gibran mencapai 34,2%, diekor Ganjar-Mahfud (26,2%), Anies-Muhaimin (18,3%). Hasil survei Indo Barometer relatif serupa dengan hasil survei Poltracking dan Populi Center yang dirilis awal November lalu. Keduanya menempatkan pasangan Prabowo-Gibran di posisi teratas dengan raihan elektabilitas lebih dari 40%.
Soal elektabilitas pasangan Ganjar-Mahfud yang ambrol di sejumlah survei, Cak Nanto menjawab secara diplomatis. Ia menyebut lembaga-lembaga survei punya metode dan model-model pertanyaan sendiri dalam membedah persepsi publik. "Data survei yang menempatkan Ganjar-Mahfud kami jadikan bahan kajian," jelas dia.
Meski begitu, Cak Nanto mengingatkan supaya lembaga survei berlaku imparsial dan menjaga integritas. Lembaga survei semestinya menjadi penyangga demokrasi dan berperan mengedukasi publik. "Jangan mengarahkan masyarakat pada asumsi yang mendiskreditkan... Bukan lembaga untuk pemenangan," cetus dia.
Hasil survei yang berbeda ditunjukkan Charta Politika. Merekam persepsi publik pada periode 26-31 Oktober, lembaga yang dipimpin Yunarto Wijaya itu menemukan Ganjar-Mahfud unggul dengan elektabilitas 36,8% dalam simulasi tiga pasang kandidat. Namun, pasangan itu masih kalah tipis jika disimulasikan berhadap-hadapan dengan Prabowo-Gibran.
Saat merilis hasil survei ke publik pada 6 November 2023, Yunarto sesumbar bahwa Gibran jadi beban bagi Prabowo. Gibran dideklarasikan sebagai cawapres pada 22 Oktober 2023 atau hanya kisaran empat hari sebelum Charta melakoni survei.
"Kita bisa berspekulasi dan membuat hipotesa bahwa masukya nama Mas Gibran sebagai cawapres malah menjadi liabilities (kelemahan), bukan menjadi aset," kata Toto, sapaan akrab Yunarto.
Hasil survei "mengejutkan" lainnya diluncurkan Indonesia Political Opinion (IPO), beberapa hari lalu. Lembaga survei pimpinan Dedi Kurnia Syah itu menemukan pasangan Prabowo-Gibran meraup 36,2%. Namun, Anies-Muhaimin (34,1%) menyalip Ganjar-Mahfud (27,1%) di sigi IPO.
"Prabowo yang semula sudah tinggi 37,5%, dengan kehadiran Gibran justru membebani. Ya, mungkin kecil memang, sekitar satu persen, sehingga (elektabilitas) turun menjadi 36,2%,” ucap Dedi seperti dikutip dari situs resmi IPO.
Tak logis dan terfragmentasi
Analis politik dari Universitas Airlangga (Unair) Airlangga Pribadi Kusman menyebut banyak lembaga survei yang kini merilis hasil berbasis kepentingan politik pendana survei. Rekayasa dimungkinkan lewat pemilihan metodologi dan utak-atik sampel responden.
Ia mencontohkan lembaga survei yang mencoba merekam persepsi publik terkait perpanjangan masa jabatan presiden. "Sudah jelas-jelas demokrasi menghendaki pembatasan kekuasaan, malah disurvei," ucap Airlangga kepada Alinea.id.
Airlangga juga mengomentari hasil survei yang berupaya memprediksi kualitas intelektual kandidat di Pilpres 2024. Ia menegaskan kualitas intelektual seseorang tak bisa dinilai sembarangan lewat opini masyarakat.
"Pakai logika saja. Masa ukur kemampuan intelektual seseorang pakai survei? Untuk menguji intelektual itu harus oleh banyak profesor. Jadi, melalui forum akademik. Tema intelektual kok diuji dengan survei?" ucap Airlangga.
Lebih jauh, Airlangga berpendapat lembaga survei seharusnya tidak boleh partisan dan mempermainkan nalar publik. "Masalah etika dan integritas lembaga survei ini memang menjadi tantangan demokrasi sekarang ini," imbuhnya.
Peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof Firman Noor menilai terjadi fragmentasi lembaga survei pada pemilu 2024 dan pemilu-pemilu sebelumnya. Ada yang masih memegang teguh prinsip akademis dan ada pula yang memang menerima jasa pembentukan opini publik.
"Di sini, ada satu masalah dalam demokrasi kita yang tampaknya muncul seiring dengan gelaran pemilu-pemilu pasca-Reformasi... Jadi, mereka (merilis hasil survei) sedemikan rupa walaupun mungkin berlawanan dengan realitasnya," kata Firman kepada Alinea.id.
Perilaku yang menyimpang dari lembaga survei, kata Firman, harus dikikis. Lembaga survei perlu jujur menyampaikan hasil dan mengedukasi publik. Jika perlu, lembaga survei juga bisa memberikan saran yang adil terhadap seluruh calon yang bertarung dalam kompetisi elektoral.
"Jadi, kasih saran dan solusi yang adil. Semisal ditemukan kelemahan dari masing-masing calon, beri tahu mereka. Mereka lemah di mana dan apa yang harus mereka lakukan, bukan malah memojokkan salah satu calon," kata Firman.
Firman juga mengingatkan agar media massa tidak ikut-ikutan "mengamini" lembaga survei yang memang ingin membentuk opini publik dan merekayasa realita. "Pembaca survei diajak memahami bila survei itu dinamis. Agar hasilnya tidak dijadikan sebagai pembentuk opini publik," ucap Firman.