Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak permohonan uji materi yang diajukan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold/PT). Menurut hakim MK, Gatot tak memenuhi kualifikasi untuk melakukan uji materi PT, sehingga permohonannya ditolak.
Gatot melakukan uji materi Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 yang menyatakan pasangan calon (paslon) diusulkan partai politik (parpol) atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilihan legislatif (pileg) sebelumnya.
Menurut pemohon, dengan berlakunya presidential threshold, telah mengakibatkan terbatasnya pilihan calon-calon pemimpin rakyat di masa depan (calon presiden).
Pemohon juga merasa berhak untuk mendaptkan hak dari pemilu yang jujur dan adil (jurdil) yang tertuang dalam Pasal 22 ayat 1 UUD 1945, guna melahirkan pemimpin yang kredibel berdasarkan pilihann rakayt yang sebelumnya telah terseleksi secara selektif.
Dengan demikian, menurut pemohon, pemilu jurdil yang menjadi hak pemohon adalah pelaksanaan pemilu yang memberikan kesempatan kepada semua, baik parpol peserta pemilu untuk mengusung capres/cawapres tanpa adanya ambang batas pencalonan.
Setelah memeriksa fakta hukum dan dalil pemohon, menurut majelis hakim MK, Gatot tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo sebagaimana diatur dalam Putusan MK Nomor 66/PUU-/19/2021 bertanggal 24 Februari 2022. Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan tidak mempertimbangkan pokok permohonan yang didalilkan Gatot.
Kendati demikian, dari sembilan hakim MK, empat diantaranya yakni Manahan Malontinge Pardamean Sitompul, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo dan Saldi Isra memiliki pandangan yang berbeda atau disenting opinion.
"Berdasarkan UUD 1945, dan seterusnya, amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," kata Hakim Ketua Anwar Usman saat membacakan putusan dalam sidang yang digelar secara daring, Kamis (24/2).
Anwar menjelaskan, berdasarkan pertimbangan Putusan Nomor 66/PUU-/19/2021 terkait kualifikasi pemohon sebagai perseorangan WNI yang memiliki hak untuk memilih, menurut Mahkamah, pemohon telah mengetaui bahwa hasil Pileg 2019 akan digunakan juga sebagai bagian dari persyaratan ambang batas pencalonan pasangan presiden/wapres pada Pemilu 2024. Bahwa pencalonan hanya dapat diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol perserta pemilu.
Dengan demikian, kata Anwar, Gatot tidak memiliki kerugian secara konstitusional
Kemudian, Anwar mengatakan, persolaan jumlah capres/cawapres yang akan berkontestasi dalam pilpres tidak berkorelasi dengan Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 dengan norma a quo tidak membatasi capres/cawapres. Sehingga, selain pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional dengan berlakunya norma Pasal 222, juga tidak terdapat hubungan sebab akibat norma a quo dengan hak konstitusional pemohon sebagai pemilih dalam pemilu.
"Karena itu pemohon, tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Karena itu, Makhamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan," ujar Anwar saat membacakan kesimpulan fakta hukum.
Adapun Hakim Suhartoyo dan Saldi Isra berpendapat, pemohon perseorangan memiliki kedudukan hukum dan dalam pokok permohonan berpendapat, beralasan menurut hukum, sehingga mengabulkan permohonan pemohon.