close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ketua MPR RI sekaligus politikus Golkar Bambang Soesatyo. /Foto dok. DPR RI
icon caption
Ketua MPR RI sekaligus politikus Golkar Bambang Soesatyo. /Foto dok. DPR RI
Politik
Kamis, 11 Juli 2024 14:17

Untuk apa politikus Senayan dan pejabat berburu gelar guru besar?

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo sedang memburu gelar guru besar dari Universitas Borobudur.
swipe

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) tengah mengajukan diri sebagai calon guru besar dari Universitas Borobudur. Selain ngantor di Senayan, politikus Golkar itu mengajar di Universitas Pertahanan (Unhan). Sejak Maret 2023, Bamsoet juga jadi dosen tetap pada program studi doktor (S3) ilmu hukum di Universitas Trisakti. 

Namun, pengajuan gelar profesor oleh Bamsoet itu memicu polemik. Dalam laporannya, Tempo menyebut riwayat pendidikan Bamsoet bermasalah. Berbasis penelusuran di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Bamsoet lulus S2 sebelum lulus S1. 

Bamsoet tercatat lulus S2 di Institut Management Newport Indonesia (Imni) atau Sekolah Tinggi Manajemen Imni pada 1991. Padahal, Bamsoet baru menyelesaikan S1 pada 1992 di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Jakarta.

Dalam sebuah siaran pers yang dirilis pekan lalu, Bamsoet menjelaskan situasi yang dialaminya lazim sebelum Undang-Undang No 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi berlaku. Seseorang bisa kuliah program pascasarjana (S2) dengan menggunakan ijazah sarjana muda plus pengalaman kerja.

"Orang hanya melihatnya saya lulus S2 terlebih dahulu dibanding S1. Hal ini dapat saya pertanggungjawabkan. Tidak ada penyimpangan yang dilakukan," ujar Bamsoet. 

Berbeda dengan Bamsoet, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad sudah terlebih dulu merengkuh gelar guru besar. Dasco dikukuhkan sebagai guru besar ilmu hukum Universitas Pakuan di Sentul International Convention Center, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada Desember 2022. 

Di kalangan pejabat, Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Reda Manthovani kini juga sudah bergelar profesor. Gelar guru besar juga direngkuh Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha periode 2018-2023 Muhammad Afif Hasbullah. 

Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi dari Universitas Negeri Semarang (Unnes), Edi Subkhan mengatakan gelar guru besar tak hanya prestisius bagi kalangan pengajar. Melekat pada gelar itu, ada tunjangan yang nilainya hingga belasan juta. 

“Selain, itu ada juga dorongan dari pemerintah dan kampus yang melihat jumlah profesor kita yang kurang. Sehingga (pengangkatan profesor baru) sering didukung secara semberono dengan menafikan kaidah-kaidah ilmiah,” katanya kepada Alinea.id, Selasa (9/7).

Pada kasus gelar guru besar milik Dasco dan Reva, laporan Tempo mengindikasikan adanya dugaan keduanya menggunakan jasa jurnal predator guna mencapai angka kredit yang ditetapkan sebagai prasyarat gelar profesor. 

Ihwal itu, Edi tak kaget. Itu tak lepas dari kebijakan Kemdikbudristek terkait indeks kinerja utama (IKU) yang mendorong setiap kampus untuk meningkatkan jumlah publikasi yang terindeks pada lembaga pengindeks internasional.

“Kombinasi hal-hal itulah yang menjadi dorongan oknum dosen dan kampus untuk mencari jalan terabas mempublikasikan karya ilmiah di jurnal-jurnal predator,” ujarnya.

Ia berharap Kemendikbud turut turun tangan jika menemukan adanya kecurangan dalam proses pengajuan gelar profesor. Sanksi bisa diberlakukan kepada calon guru besar yang terbukti melanggar aturan. 

"Misal diturunkan pangkat dan jabatan akademiknya, tidak boleh mengajukan kenaikan pangkat dan jabatan selama beberapa tahun, tidak diberikan tunjangan fungsional, dan lainnya," jelas dia. 

Guru besar ilmu politik dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Cecep Darmawan "menyalahkan" kultur di masyarakat sebagai salah satu faktor yang menyebabkan maraknya perburuan gelar guru besar yang melanggar aturan. 

Masyarakat Indonesia, kata Cecep berkarakter simbolik. Artinya, publik lebih menghargai simbol ketimbang substansi. Itulah kenapa gelar profesor diburu kalangan pejabat dan politikus. Gelar itu menyimbolkan kepakaran. 

“Orientasinya hanya pada gelar. Kadang-kadang enggak dilihat juga kualitas yang punya gelarnya,” kata Cecep saat dihubungi Alinea.id, Senin (8/9).

Cecep menjabarkan sejumlah syarat untuk diangkat sebagai guru besar. Salah satunya ialah publikasi yang terverifikasi dan terindeks Scopus. Kuantitas dan kualitas publikasi juga harus sesuai persyaratan.

“Biasanya jurnal yang melanggar ini discontinued. Walaupun awalnya terindeks, tapi akhirnya asal masuk naskah aja. Kualitasnya tidak dipertahankan. Maka, jadilah dia jurnal predator," jelas Cecep. 
 

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan