Ujaran kebencian, hoaks, dan pesan yang lekat sentimen SARA masih menghantui, jelang pelaksanaan pemilu mendatang. Terbukti berdasarkan data dari Kominfo, jumlah aduan mengenai SARA meningkat pada Februari 2018 sejumlah 135 aduan. Kemudian pada Maret ada pertambahan menjadi 648 aduan. Sejumlah aduan tersebut dilaporkan melalui email, Aduankonten.id, Whats App aduan konten, dan lapor.go.id.
Merespons itu, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) M. Afifuddin menjelaskan dalam upaya penanganan hoaks yang merajalela, pihaknya saat ini tidak hanya melakukan penindakan dan pengawasan. Namun mereka juga melakukan pencegahan demi mengantisipasi meningkatnya hoaks dan ujaran kebencian.
Dalam hal antisipasi, Bawaslu meneken MoU dengan beberapa pihak di antaranya Kominfo dan Dewan pers.
“Dalam konteks ujaran kebencian, kami memang sedang menggaungkan perihal ujaran kebencian ini pada sisi pencegahannya,” katanya saat gathering media di Hoten Lorin, Sentul, Bogor, jawa Barat, pekan lalu.
Afif melanjutkan, seringkali ujaran kebencian dan hoaks mucul saat kampanye, karena itu Bawaslu mencoba masuk untuk melakukan pencegahan bergulirnya fitnah atau pesan bermuatan SARA.
“Kita ingin mendekatinya dari sisi pencegahan terlebih dahulu agar masyarakat tahu, mana yang boleh dan yang tidak boleh,” ujarnya.
Setelah dilakukan pencegahan, namun masih dijumpai indikasi ujaran kebencian dan hoaks dalam kampanye, maka akan ada penindakan tegas, sesuai aturan yang berlaku.
Komitmen ini sendiri, imbuhnya, tidak cukup dilakukan oleh penyelenggara pemilu saja, Oleh karena itu ia juga ingin menggandeng para petinggi dan anggota partai politik. Ajakan itu disampaikan lewat himbauan dan surat-surat pencegahan yang dikirim ke sejumlah partai. Langkah ini menurutnya menjadi penting, untuk menekan potensi ujaran kebencian yang menguar di publik.
Sebaliknya, jika elit partai tidak berkomitmen terhadap hal itu, maka tugas Bawaslu akan terasa berat. Hingga kini Bawaslu memang telah mendeklarasikan pesan tersebut di seluruh daerah yang menggelar pilkada. Pesan untuk menolak politisasi SARA, politik uang, dan menepis ujaran kebencian terus disalurkan.
Tak hanya elit politik, pesan ini sedianya juga disosialisasikan kepada organisasi masyarakat sipil dan keagamaan pekan ini.
Mengikutsertakan andil media
Komisioner Korbid Pengawasan Isi Siaran Hardly Stefano mengatakan, saat ini ada tren media mengambil sumber berita dari media sosial. Menurutnya, ini bergeser dari zaman dulu ketika fakta bisa membentuk opini, sementara sekarang opini yang bisa diolah sebagai fakta baru di media.
Hal ini menjadi rawan, selain bisa terjebak sebagai media corong, mengambil informasi dari media sosial juga belum tentu bisa dipertanggungjawabkan muatannya. Oleh karena itu lembaga penyiaran, imbuhnya, harus mampu menjadi instrumen dalam memperkuat demokrasi. Pun media perlu menjaga suasana tetap kondusif, mengingat masyarakat Indonesia relatif majemuk.
Caranya dengan senantiasa menyampaikan informasi yang benar dan berkualitas. Seperti termaktub dalam UU Penyiaran Pasal 6 ayat (1) disebutkan, program siaran dilarang merendahkan atau melecehkan, suku agama, rasa tau golongan, dan individu atau kelompok karena perbedaan suku, agama, ras, antar golongan, usia, dan kehidupan sosial ekonomi.
Berangkat dari aturan tersebut, penting menurutnya, bagi wartawan untuk berpegang teguh pada kode etik jurnalistik guna menjaga mutu pemberitaan.