Wacana menempatkan Polri di bawah naungan TNI atau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyeruak di parlemen. Anggota Komisi III DPR RI Deddy Sitorus berpendapat Polri perlu berada di bawah kendali Kemendagri lantaran kerap dilanda persoalan internal dan sudah terlibat terlalu jauh dalam politik praktis.
"Institusi Polri tidak saja cawe-cawe di bidang politik, tapi hal-hal terkait dengan institusinya sendiri dan pelayanan terhadap masyarakat mengalami degradasi luar biasa," ujar Deddy di kantor DPP PDI-Perjuangan di Jalan Dipenogoro, Jakarta Pusat, Minggu (1/12).
TNI dan Polri dipisahkan pada tahun 2000 oleh Presiden ke-5 RI yang juga Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri. Tujuannya untuk menjadikan Polri sebagai lembaga sipil bersenjata yang independen dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Namun, menurut Deddy, Polri semakin tidak independen.
"Apakah mau seperti ini? Lembaga Polri yang menjadi benteng masyarakat sipil malah menjadi institusi yang melanggar peraturan, hukum, dan ikut mengintimidasi masyarakat, serta cawe-cawe di bidang politik," kata politikus PDI-P itu.
Sebelumnya, Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto menyebut aparat penegak hukum ikut bermanuver di Pilkada Serentak 2024. Di Banten, menurut Hasto, ada institusi yang bergerak memobilisasi massa layaknya partai politik.
Belakangan, istilah partai cokelat atau parcok viral di media sosial. Istilah itu mengacu pada dugaan keterlibatan personel Polri dalam berbagai pilkada. Polri identik dengan warna cokelat.
Guru besar ilmu politik dan keamanan Universitas Padjadjaran (Unpad) Muradi menilai wacana menepatkan Polri di bawah naungan TNI atau Kemendagri keliru. Polisi di negara demokratis tidak mengedepankan pendekatan bersenjata.
"Wacana yang diusulkan kader PDI-P untuk menempatkan Polri di bawah TNI atau Kemendagri itu bisa mengingkari agenda reformasi. Saya melihat wacana ini lebih kepada kemarahan PDI-P yang tidak terbendung karena polisi terlibat dalam pemenangan pilkada di Jateng, Sumut dan Sulut," kata Muradi kepada Alinea.id, Senin (2/11).
Muradi menilai ada dua upaya yang bisa dilakukan untuk membentengi Polri dari dunia politik praktis. Pertama, memberi kesempatan kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit untuk menata kembali institusinya. Kedua, jika gagal, maka Presiden Prabowo Subianto mesti mencopot Listyo Sigit dari jabatan Kapolri.
"Karena masalah ini akarnya bukan pada institusi, tetapi oknum polisi di pucuk pimpinan yang masih menjalin relasi dengan presiden sebelumnya. Sebab, Listyo Sigit adalah orang terdekat Jokowi. Saya kira Listyo Sigit harus dievaluasi oleh Prabowo," kata Muradi.
Selain itu, Muradi menilai perlu ada undang-undang lembaga kepresidenan untuk menjaga agar presiden tetap netral di pilkada. Dengan begitu, institusi negara tidak terseret dalam kepentingan politik praktis penguasa.
"Karena potret cawe-cawe Polri dalam Pilpres 2024 dan Pilkada Serentak 2024 sangat nyata terjadi. Kalau presiden tidak dibentengi, akan terus terjadi apa yang terjadi di Pilpres 2024 dan Pilkada 2024," kata Muradi.
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan Polri kini menjelma lembaga sosial politik. Situasi itu muncul lantaran struktur organisasi Polri yang menyebar di seluruh pelosok penjuru negeri.
Dengan jumlah anggota mencapai 450 ribu personel plus anggota keluarga mereka, menurut Bambang, Polri bisa digerakan menjadi mesin politik yang berdampak di pentas pemilu. Sejak Pemilu 2004, kasus-kasus keterlibatan Polri dalam pemenangan kandidat rutin dilaporkan.
"Dan, ini berulang di setiap pemilu. Hanya saja semakin signifikan di tahun 2019 dengan dibentuknya Satgas Merah Putih yang ternyata sangat efektif. Kemudian dilanjutkan lebih terstruktur dan massif lagi di tahun 2024. Karena itulah perlu upaya untuk membatasi hubungan politik kekuasaan dengan Polri," kata Bambang kepada Alinea.id, Senin (2/11).
Bambang sepakat bila Polri sebaiknya ditempatkan di bawah kementerian agar pengawasan terhadap Polri lebih maksimal. Namun, Bambang tidak sepakat bila Polri ditempatkan di bawah TNI karena mengingkari amanat reformasi, melanggar TAP VI/MPR/2000, sekaligus mengingkari kultur dan paradigma Polri sebagai institusi sipil.
"Ironisnya, saat ini kepolisian dirasakan semakin besar dalam berperan dalam politik. Wacana penempatan Polri di bawah kementerian adalah upaya membatasi kepolisian secara langsung dari upaya politisasi kekuasaan," jelasnya.
Jika tidak di bawah Kemendagri, menurut Bambang, pemerintah sebaiknya membentuk Kementerian Keamanan untuk menaungi Polri. Gagasan pembentukan kementerian keamanan tertera pada amanat TAP VI/MPR/ 2000. Hubungan Kementerian Keamanan dengan Polri serupa hubungan Kementerian Pertahanan dengan TNI, yakni antara perumus kebijakan dan pelaksana kebijakan.
"Jadi, tidak seperti saat ini, kepolisian sebagai pelaksana teknis juga menjadi perumus strategi kebijakan maupun merumuskan anggaran. Pembatasan kewenangan kepolisian memang menjadi keharusan agar Polri tak menjadi alat politik," ucap Bambang.